"Setiap kali ada calon yang katanya bersih gak korup, eh tahunya terbukti korupsi juga. Jadi, untuk apa memilih?" ujar Danu, seorang pedagang di pasar tradisional di Medan. Pernyataan ini memperlihatkan bagaimana kasus korupsi telah meruntuhkan kepercayaan rakyat pada seluruh sistem pemerintahan.
Kebijakan yang Tidak Pro-Rakyat
Rasa kecewa juga muncul akibat kebijakan yang dinilai tidak berpihak pada rakyat kecil. Contohnya, pengesahan undang-undang yang kontroversial seperti Omnibus Law, yang dianggap lebih menguntungkan korporasi daripada buruh. Selain itu, lambannya penanganan krisis ekonomi pascapandemi membuat banyak masyarakat merasa tidak diprioritaskan.
"Saat kami berjuang untuk makan dan kebutuhan setiap hari, para pejabat malah sibuk mengurus politik dan bagi-bagi jabatan. Kebijakan mereka sering kali tidak terasa manfaatnya bagi kami," kata Lila, seorang buruh pabrik.
Ketidakpercayaan pada Proses Pilkada
Masalah lain adalah ketidakpercayaan pada proses pemilu itu sendiri. Banyak orang percaya bahwa Pilkada hanyalah formalitas belaka, di mana hasilnya telah ditentukan oleh oligarki politik. Praktik politik uang yang masih marak juga membuat masyarakat skeptis terhadap integritas proses pemilu.
"Saya tahu siapa pun yang menang, dia pasti didukung oleh orang-orang kaya di belakang layar. Suara saya tidak ada artinya," ujar Yusuf, seorang petani.
Dampak Serius dari Fenomena Golput
Meningkatnya angka golput bukanlah sekadar masalah statistik. Fenomena ini memiliki dampak serius bagi demokrasi Indonesia. Ketika banyak orang memilih untuk tidak memilih, legitimasi pemimpin yang terpilih menjadi dipertanyakan. Ini bisa memperlemah kepercayaan masyarakat pada pemerintahan di masa mendatang.