Pernahkah kamu mendapati dirimu menghakimi seseorang tanpa benar-benar mengenalnya? Entah itu dari cara mereka berpakaian, berbicara, atau keputusan yang mereka ambil dalam hidup. Mungkin kamu tidak bermaksud buruk, tetapi prasangka itu muncul begitu saja, seolah sudah tertanam dalam diri kita. Mengapa kita, sebagai manusia, begitu cepat menarik kesimpulan tentang orang lain? Apakah ini bagian dari sifat alami manusia, atau ada sesuatu yang lebih kompleks di baliknya?
Ketergesa-Gesaan Otak dalam Menilai
Bayangkan kamu sedang berjalan di sebuah mal. Dari kejauhan, kamu melihat seorang wanita muda mengenakan pakaian mewah dengan tas bermerek mahal. Pikiranmu langsung menilai, "Dia pasti hidup penuh dengan kemewahan, mungkin keluarganya kaya raya." Namun, apakah kamu tahu cerita di balik penampilannya? Bisa saja tas yang ia bawa adalah hadiah dari temannya, atau ia sudah menabung bertahun-tahun untuk membelinya.
Fenomena ini sering disebut dengan judgment bias, sebuah kecenderungan alami manusia untuk menilai berdasarkan informasi yang minim. Otak kita dirancang untuk cepat mengolah data dan menyimpulkan sesuatu. Dalam situasi darurat, ini sangat membantu, misalnya saat kita harus segera mengenali bahaya. Tetapi dalam interaksi sosial, kecenderungan ini justru bisa merugikan.
Penelitian psikologi menunjukkan bahwa otak kita menggunakan heuristik, yaitu cara berpikir instan yang mengandalkan pengalaman dan stereotip. Proses ini memungkinkan kita mengambil keputusan cepat, tetapi sering kali mengabaikan detail dan konteks yang penting.
Budaya dan Pola Pikir Kolektif
Selain faktor biologis, budaya juga memengaruhi cara kita menilai orang lain. Di banyak masyarakat, termasuk di Indonesia, terdapat norma-norma sosial yang menjadi tolok ukur perilaku. Kita diajarkan untuk menilai seseorang berdasarkan pendidikan, pekerjaan, status sosial, atau penampilan. Standar-standar ini sering kali tertanam begitu dalam sehingga menjadi bagian dari pola pikir kita sehari-hari.
Misalnya, seseorang yang belum menikah di usia tertentu sering dianggap "tidak normal" oleh sebagian masyarakat. Hal ini bukan karena ada sesuatu yang salah dengan orang tersebut, tetapi karena budaya mengajarkan bahwa usia tertentu harus diikuti dengan pernikahan. Pola pikir ini kemudian melahirkan penghakiman yang tidak beralasan.
Media juga berperan besar dalam membentuk persepsi ini. Dalam iklan, film, atau media sosial, kita terus-menerus dibombardir dengan gambaran tentang apa yang dianggap ideal. Standar ini menciptakan ekspektasi yang tidak realistis, baik terhadap diri sendiri maupun orang lain.
Cermin yang Memperbesar Prasangka