Bayangkan kamu adalah seorang peneliti berbakat di Indonesia, lulusan universitas ternama dengan berbagai penghargaan di bidang ilmiah. Kamu memiliki ide-ide segar yang dapat membawa perubahan besar, baik dalam dunia ilmu pengetahuan maupun kehidupan masyarakat. Namun, alih-alih mendapat dukungan, kamu justru berhadapan dengan realitas yang menyakitkan: minimnya dana penelitian, fasilitas yang tidak memadai, serta lingkungan kerja yang kurang menghargai. Akhirnya, kamu memilih mencari peluang di luar negeri, di mana jerih payahmu lebih dihargai dan potensimu lebih dihormati.
Kisah di atas bukan sekadar fiksi. Ini adalah gambaran nyata dari fenomena brain drain yang terjadi di Indonesia. Banyak peneliti berbakat memilih meninggalkan tanah air untuk mengembangkan karier mereka di luar negeri. Ironisnya, keputusan mereka bukan hanya soal mencari penghidupan yang lebih layak, tetapi karena mereka merasa tidak dihargai di negeri sendiri. Mengapa ini terjadi, dan apa dampaknya bagi Indonesia? Mari kita telaah lebih dalam.
Cerminan Krisis Sistemik
Fenomena migrasi ilmuwan dari Indonesia ke negara lain telah berlangsung selama beberapa dekade. Menurut laporan Bank Dunia pada 2022, lebih dari 9% lulusan Indonesia yang bekerja di luar negeri memiliki gelar pendidikan tinggi. Banyak di antara mereka adalah akademisi, peneliti, dan profesional di bidang teknologi. Negara-negara seperti Amerika Serikat, Jerman, Singapura, hingga Australia menjadi tujuan utama karena mereka menawarkan lingkungan kerja yang mendukung pengembangan intelektual.
Penting untuk dipahami bahwa keputusan para peneliti ini bukanlah pilihan yang diambil dengan mudah. Bagi sebagian besar, meninggalkan tanah air berarti melepaskan kedekatan dengan keluarga, budaya, dan identitas nasional. Namun, mereka menghadapi dilema: bertahan di sistem yang membelenggu atau mencari ruang untuk berkembang di negeri orang.
Minimnya Dukungan terhadap Penelitian
Salah satu akar masalahnya adalah minimnya investasi pemerintah Indonesia dalam bidang penelitian dan pengembangan (research and development atau R&D). Institute for Statistics menunjukkan bahwa alokasi anggaran R&D Indonesia hanya sekitar 0,23% dari PDB, jauh tertinggal dari negara tetangga seperti Malaysia (1,44%) atau Singapura (2,1%). Padahal, anggaran yang memadai adalah fondasi untuk menciptakan inovasi.
Minimnya pendanaan ini berdampak pada berbagai aspek, seperti keterbatasan fasilitas laboratorium, sulitnya mengakses bahan penelitian berkualitas tinggi, hingga kurangnya insentif bagi para peneliti. Bahkan, banyak institusi penelitian di Indonesia yang masih mengandalkan peralatan usang, sehingga hasil penelitian sering kali kalah kompetitif di tingkat global.
Bandingkan dengan fasilitas di negara-negara maju yang memberikan dukungan penuh kepada peneliti. Di Jerman, misalnya, lembaga seperti Max Planck Society menyediakan dana melimpah, peralatan canggih, serta akses luas ke publikasi internasional. Lingkungan seperti ini menciptakan ekosistem penelitian yang produktif dan inovatif, sesuatu yang masih menjadi mimpi bagi banyak peneliti di Indonesia.
Birokrasi yang Rumit dan Tidak Efisien