Mohon tunggu...
Frans Leonardi
Frans Leonardi Mohon Tunggu... Akuntan - Freelace Writer

Sebagai seorang introvert, Saya menemukan kekuatan dan kreativitas dalam ketenangan. Menyukai waktu sendirian untuk merenung dan mengeksplorasi ide-ide baru, ia merasa nyaman di balik layar ketimbang di sorotan publik. seorang amatir penulis yang mau menyampaikan pesannya dengan cara yang tenang namun , menjembatani jarak antara pikiran dan perasaan. Salam dari saya Frans Leonardi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menolak Telepon Atasan Saat Cuti Hak atau Masalah?

9 Desember 2024   14:26 Diperbarui: 9 Desember 2024   14:39 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Liburan dengan Beban Pekerjaan.(Chatgpt.com)

Bayangkan ini kamu sedang menikmati waktu liburan yang sudah lama direncanakan. Pikiran akhirnya terbebas dari tugas-tugas kantor, dan tubuhmu mulai rileks. Namun, tiba-tiba ponselmu berdering. Nama atasan muncul di layar. Hati berdebar. Haruskah kamu mengangkatnya atau membiarkannya? Dilema ini sering menghantui para pekerja modern, dan menjadi isu yang lebih kompleks daripada sekadar menekan tombol jawab atau abaikan.

Apakah menolak telepon atasan saat cuti adalah pelanggaran etika profesional? Ataukah ini sebenarnya hak karyawan yang sering kali diabaikan dalam dinamika dunia kerja yang serba cepat?

Cuti Hak Fundamental yang Sering Terabaikan

Menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan di Indonesia, setiap pekerja berhak atas cuti tahunan sekurang-kurangnya 12 hari setelah bekerja selama 12 bulan berturut-turut. Cuti ini bukan sekadar formalitas, melainkan hak yang bertujuan untuk menjaga keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi.

Namun, di balik aturan tersebut, kenyataan menunjukkan bahwa hak cuti karyawan sering kali tergerus oleh budaya kerja yang kurang sehat. Studi dari Chartered Institute of Personnel and Development (CIPD) di Inggris, misalnya, mengungkapkan bahwa hampir 60% karyawan merasa sulit benar-benar "memutus koneksi" dari pekerjaan selama liburan. Indonesia tidak jauh berbeda. Banyak karyawan di negara ini merasa bersalah jika tidak merespons panggilan atasan saat cuti, meskipun hal tersebut mengorbankan waktu pribadi mereka.

Ini bukan hanya masalah hukum, tetapi juga persoalan moral dan psikologis. Ketika karyawan tidak diberikan kesempatan untuk sepenuhnya menikmati cuti, mereka kehilangan momen untuk memulihkan energi. Akibatnya, risiko burnout meningkat, yang pada gilirannya mengancam produktivitas mereka dalam jangka panjang.

Antara Loyalitas dan Kewajiban

Dalam banyak perusahaan, menolak panggilan dari atasan selama cuti sering dianggap sebagai tindakan tidak loyal. Paradigma ini memunculkan tekanan besar bagi karyawan. Mereka terjebak antara keinginan untuk menjaga profesionalisme dan kebutuhan untuk menjaga kesehatan mental mereka.

Tekanan ini menjadi semakin parah di era digital. Dengan kemajuan teknologi, karyawan bisa dihubungi kapan saja dan di mana saja. Aplikasi komunikasi seperti WhatsApp atau email korporat memungkinkan atasan menghubungi bawahannya dengan mudah, bahkan saat mereka sedang berlibur di tempat terpencil.

Banyak karyawan merasa tidak berdaya dalam menghadapi situasi ini. Sebuah survei oleh Deloitte menunjukkan bahwa 77% responden merasa keharusan selalu "tersedia" menjadi salah satu penyebab utama stres kerja. Dalam konteks Indonesia, di mana budaya menghormati hierarki sangat kuat, menolak panggilan dari atasan bisa dianggap tidak sopan atau bahkan berisiko terhadap karier.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun