Pada awalnya, teh hanya dinikmati oleh kalangan elit kolonial dan orang-orang kaya Eropa. Teh dianggap sebagai simbol status dan kemewahan. Namun, seiring waktu, teh mulai menyebar ke kalangan masyarakat pribumi.
Di Jawa, tradisi minum teh berkembang pesat. Teh tubruk, yang disajikan tanpa penyaring, menjadi minuman khas yang dinikmati oleh berbagai lapisan masyarakat. Di daerah Solo dan Yogyakarta, minum teh bahkan menjadi bagian dari ritual penyambutan tamu. Teh biasanya disajikan bersama makanan ringan tradisional, seperti klepon atau kue lapis, sebagai bentuk penghormatan.
Salah satu tradisi unik adalah nyaneut di Sunda. Dalam tradisi ini, teh disajikan dalam cangkir kecil dan diminum bersama keluarga atau teman. Minum teh dianggap sebagai momen untuk berbagi cerita dan mempererat hubungan. Tradisi ini terus hidup hingga kini, menjadi bagian dari identitas budaya masyarakat Sunda.
Teh Pasca-Kemerdekaan
Setelah Indonesia merdeka pada tahun 1945, perkebunan teh yang sebelumnya dikelola oleh perusahaan Belanda diambil alih oleh pemerintah dan perusahaan swasta nasional. Salah satu perusahaan besar yang mengelola perkebunan teh saat ini adalah PT Perkebunan Nusantara (PTPN). Perusahaan ini memainkan peran penting dalam menjaga keberlanjutan produksi teh di Indonesia.
Pada dekade 1970-an, industri teh Indonesia mengalami kebangkitan. Pemerintah mendorong ekspor teh ke pasar internasional, menjadikan Indonesia sebagai salah satu produsen teh terbesar di dunia. Hasil utama yang dihasilkan adalah teh hitam dan teh hijau, yang diekspor ke negara-negara seperti Rusia, Pakistan, dan Timur Tengah.
Di dalam negeri, berbagai merek teh lokal mulai bermunculan. Produk seperti teh celup mempermudah cara menikmati teh, sehingga teh menjadi minuman yang lebih praktis dan terjangkau bagi masyarakat. Popularitas teh terus meningkat, menjadikannya minuman yang tak hanya dinikmati di rumah, tetapi juga di restoran, kafe, dan tempat kerja.
Tantangan yang Dihadapi Industri Teh Indonesia
Meskipun memiliki sejarah panjang dan potensi besar, industri teh Indonesia menghadapi berbagai tantangan. Salah satu masalah utama adalah persaingan ketat dengan negara-negara produsen teh lainnya, seperti Tiongkok, India, dan Sri Lanka. Negara-negara ini memiliki teknologi lebih maju dan infrastruktur yang lebih baik, sehingga mampu menghasilkan teh dengan kualitas tinggi secara konsisten.
Kualitas teh Indonesia juga menjadi perhatian. Banyak petani teh kecil menghadapi kesulitan dalam memenuhi standar kualitas internasional. Mereka sering kekurangan akses ke teknologi modern, pelatihan, dan pembiayaan. Akibatnya, produksi teh Indonesia sering kali kalah bersaing di pasar global.
Selain itu, perubahan iklim membawa dampak besar pada produksi teh. Perubahan suhu dan pola curah hujan memengaruhi hasil panen, terutama di daerah pegunungan yang rentan terhadap gangguan cuaca. Alih fungsi lahan perkebunan menjadi perumahan atau kawasan industri juga menjadi ancaman serius bagi keberlanjutan industri teh di masa depan.