Pernikahan idealnya menjadi tempat berlindung bagi seluruh anggota keluarga, terutama anak-anak yang sedang tumbuh dan belajar memahami dunia. Namun, tidak semua pernikahan berjalan dengan mulus. Konflik, ketidaksepahaman, hingga ketidakmampuan untuk berkomunikasi dengan baik sering kali membuat hubungan pernikahan berujung pada masalah serius, bahkan perceraian. Dalam situasi seperti ini, anak menjadi pihak yang paling terdampak secara emosional, psikologis, dan sosial. Anak yang tumbuh dalam keluarga yang penuh dengan konflik internal mungkin harus menanggung beban dari ketidakstabilan orang tuanya, sesuatu yang seharusnya bukan menjadi tanggung jawab mereka.
Dampak Konflik Pernikahan terhadap Anak
Konflik dalam pernikahan dapat beragam, mulai dari perselisihan kecil hingga pertengkaran besar yang berkepanjangan. Ketika konflik ini tak terselesaikan, anak-anak sering menjadi korban yang tak terucapkan. Mereka mungkin tidak terlihat secara langsung sebagai pihak yang tersakiti, tetapi sebenarnya efeknya dapat sangat besar bagi perkembangan mental dan emosional mereka. Riset menunjukkan bahwa anak-anak yang tumbuh dalam lingkungan keluarga penuh konflik memiliki risiko lebih tinggi mengalami gangguan kecemasan, stres, bahkan depresi.
Misalnya, sebuah studi dari National Institute of Child Health and Human Development (NICHD) menemukan bahwa anak-anak yang hidup dalam keluarga yang sering berselisih memiliki tingkat stres yang lebih tinggi dan menunjukkan perilaku emosional yang tidak stabil dibandingkan anak-anak dari keluarga harmonis. Konflik orang tua juga membuat anak-anak rentan mengalami "emosi campur aduk" atau mixed emotions, di mana mereka bingung antara menyayangi dan kecewa pada orang tua mereka sendiri. Dalam situasi seperti ini, sulit bagi anak-anak untuk merasa aman dan terlindungi.
Anak Menanggung Beban yang Bukan Tanggung Jawabnya
Anak-anak membutuhkan keamanan emosional sebagai pondasi mereka untuk tumbuh dengan baik. Ketika orang tua selalu terlibat dalam konflik, perasaan aman ini sulit mereka dapatkan. Bayangkan seorang anak yang terus-menerus menyaksikan pertengkaran antara orang tuanya, atau bahkan menjadi saksi mata dari kemarahan yang mungkin diungkapkan dengan kata-kata kasar atau tindakan tidak terpuji. Situasi ini dapat membuat anak merasa cemas, khawatir, dan bingung. Mereka mungkin merasa bertanggung jawab untuk "memperbaiki" suasana rumah, padahal tanggung jawab tersebut seharusnya bukan berada di tangan mereka.
Selain itu, anak-anak bisa mulai mengembangkan perasaan rendah diri atau tidak percaya diri, terutama jika konflik keluarga membuat mereka merasa tidak diinginkan atau diabaikan. Ketidakstabilan emosi yang mereka rasakan bisa terus terbawa hingga dewasa, membuat mereka rentan mengembangkan pola pikir atau pola perilaku negatif. Dalam jangka panjang, anak-anak ini mungkin kesulitan menjalin hubungan yang sehat karena pengalaman masa kecil yang dipenuhi konflik telah membentuk persepsi negatif tentang cinta dan komitmen.
Dampak Terhadap Pendidikan dan Prestasi Akademik
Lingkungan keluarga yang harmonis sangat penting untuk mendukung pendidikan anak. Anak-anak yang hidup dalam situasi penuh konflik berisiko mengalami penurunan motivasi dan prestasi akademik. Fokus mereka terpecah antara tugas sekolah dan tekanan emosional di rumah, yang mengakibatkan kurangnya perhatian terhadap pembelajaran. Dalam beberapa kasus, mereka mungkin merasa sekolah bukan lagi prioritas karena masalah di rumah lebih menyita perhatian mereka.
Data dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia menunjukkan bahwa anak-anak dari keluarga dengan konflik atau perceraian cenderung memiliki nilai akademik yang lebih rendah dan lebih banyak mengalami masalah perilaku di sekolah. Mereka mungkin menjadi anak yang pendiam atau, sebaliknya, justru menunjukkan perilaku agresif sebagai bentuk penyaluran stres yang mereka rasakan di rumah. Hal ini menunjukkan bahwa stabilitas emosi dan lingkungan yang aman sangat berpengaruh terhadap perkembangan prestasi akademik anak.