Layanan kesehatan adalah salah satu kebutuhan paling mendasar bagi manusia. Dalam teori ideal, layanan ini semestinya bersifat universal, terjangkau, dan berkualitas tinggi tanpa memandang latar belakang sosial-ekonomi seseorang. Namun, kenyataan sering kali berbicara lain.
Bayangkan kamu seorang pekerja keras yang setiap bulan menyisihkan penghasilan untuk membayar asuransi kesehatan. Kamu berharap, ketika tiba saatnya membutuhkan layanan medis, semua akan berjalan lancar. Namun, kenyataan berkata lain. Tiba-tiba, klaimmu ditolak dengan alasan teknis, atau kamu menghadapi biaya tambahan yang tidak dijelaskan di awal. Situasi seperti ini bukan hanya fiksi. Inilah salah satu potret bagaimana kapitalisme menyusup ke dalam layanan kesehatan.
Kapitalisme yang Menggerus Hak Dasar Manusia
Kapitalisme, dengan prinsip dasarnya yang berorientasi pada keuntungan, telah merambah hampir semua sektor, termasuk layanan kesehatan. Di satu sisi, kapitalisme membawa inovasi teknologi medis, obat-obatan baru, dan perbaikan infrastruktur kesehatan. Namun, sisi gelapnya adalah ketika kesehatan yang seharusnya menjadi hak setiap individu berubah menjadi barang mewah yang hanya bisa dinikmati mereka yang mampu membayar.
Sistem kapitalis mendorong layanan kesehatan untuk berorientasi pada keuntungan. Rumah sakit bersaing mendapatkan pasien dengan menawarkan layanan premium untuk pasien kaya. Perusahaan farmasi berlomba menciptakan obat-obatan mahal dengan paten yang melindungi keuntungan mereka selama bertahun-tahun. Sementara itu, masyarakat miskin harus berjuang mengakses layanan dasar.
Ketimpangan dalam Sistem Kesehatan
1. Harga Obat yang Melambung Tinggi
Kasus harga insulin di Amerika Serikat adalah contoh mencolok. Insulin, obat esensial bagi penderita diabetes, mengalami lonjakan harga yang tidak masuk akal dalam satu dekade terakhir. Pada tahun 2001, harga sebotol insulin sekitar $35. Namun, pada 2020, harganya melesat hingga lebih dari $300. Banyak pasien terpaksa mengurangi dosis, yang berujung pada komplikasi serius seperti gagal ginjal dan kebutaan.
Di Indonesia, situasinya pun tidak jauh berbeda. Meskipun pemerintah telah berupaya menyediakan obat generik dengan harga lebih terjangkau, distribusi yang tidak merata dan kelangkaan obat tertentu sering kali menjadi kendala. Misalnya, pasien dengan penyakit kronis seperti kanker atau hepatitis sering dihadapkan pada pilihan sulit antara membeli obat mahal atau menggunakan tabungan mereka untuk kebutuhan hidup lainnya.
2. Sistem Asuransi yang Tidak Selalu Membantu