Minimnya Perlindungan Sosial
Sebagai tenaga kerja tidak tetap, guru honorer hampir tidak mendapatkan perlindungan sosial. Ketika mereka jatuh sakit atau mengalami kecelakaan, biaya pengobatan harus ditanggung sendiri. Tidak ada jaminan kesehatan atau dana pensiun yang bisa menjadi pegangan di masa tua.
Kondisi ini menciptakan ketidakstabilan yang luar biasa. Banyak guru honorer yang terpaksa mencari pekerjaan sampingan untuk mencukupi kebutuhan hidup. Hal ini sering kali mengorbankan kualitas pengajaran karena mereka harus membagi waktu dan energi.
Mengapa Guru Honorer Terus Bertahan?
Di balik segala keterbatasan, banyak guru honorer tetap bertahan. Mereka mengajar bukan semata-mata demi uang, tetapi karena panggilan hati. Keinginan untuk melihat anak-anak Indonesia mendapatkan pendidikan yang layak adalah motivasi utama mereka. Namun, semangat ini tidak bisa terus-menerus menjadi alasan untuk membiarkan ketidakadilan terjadi.
Ibu Siti, misalnya, pernah berkata, "Saya tidak pernah mengeluh mengajar di sini. Tetapi, kadang saya bertanya-tanya, apakah ada yang peduli dengan nasib kami?" Pertanyaan sederhana ini mencerminkan kekecewaan mendalam yang dirasakan oleh para guru honorer.
Peran Pemerintah dan Masyarakat dalam Mengatasi Masalah
Masalah yang dihadapi guru honorer bukanlah hal baru. Pemerintah telah berupaya memberikan solusi, tetapi langkah-langkah yang diambil masih jauh dari cukup. Beberapa kebijakan yang bisa menjadi perhatian adalah:
Kenaikan Upah Minimum Guru Honorer
Pemerintah perlu menetapkan standar upah minimum khusus untuk guru honorer, yang disesuaikan dengan kebutuhan hidup layak di setiap daerah. Penetapan ini harus dilandasi riset komprehensif agar sesuai dengan realitas ekonomi setempat. Dengan upah yang layak, guru honorer tidak hanya bisa memenuhi kebutuhan dasar mereka, tetapi juga dapat lebih fokus dalam menjalankan tugas tanpa tekanan finansial yang berat.Peningkatan Kuota PPPK
Program seleksi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) harus direformasi agar lebih inklusif dan adil. Kuota seleksi perlu ditingkatkan secara signifikan, mengingat jumlah guru honorer yang jauh lebih besar dibandingkan jumlah formasi yang tersedia. Selain itu, kriteria seleksi harus mempertimbangkan pengalaman kerja dan dedikasi guru honorer, bukan semata-mata hasil tes akademis yang sering kali tidak mencerminkan kompetensi nyata di lapangan.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!