Di sebuah sekolah kecil di pelosok Indonesia, seorang guru honorer bernama Ibu Siti memulai harinya dengan senyum meski penuh keprihatinan. Ia mengajar lebih dari 40 murid di kelas yang fasilitasnya jauh dari memadai. Dengan dedikasi penuh, Ibu Siti mengajar anak-anak itu membaca, menulis, dan menghitung, berharap bisa membentuk generasi yang cerdas dan berdaya saing. Namun, ironisnya, upah yang ia terima tidak cukup untuk membeli kebutuhan pokok keluarganya. Ibu Siti adalah gambaran nyata dari ribuan guru honorer di Indonesia yang hidup dalam bayang-bayang ketidakpastian.
Profesi guru selalu dijunjung tinggi sebagai pilar pendidikan. Namun, bagi guru honorer, peran tersebut tidak sebanding dengan apresiasi yang mereka terima. Data dari Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) menunjukkan bahwa hingga tahun 2023, terdapat sekitar 1,6 juta guru honorer yang tersebar di berbagai pelosok negeri. Sebagian besar dari mereka hanya digaji antara Rp200.000 hingga Rp700.000 per bulan, jauh di bawah standar hidup layak.
Kondisi ini bertolak belakang dengan beban kerja yang mereka emban. Guru honorer kerap mengisi kekosongan tenaga pengajar di sekolah-sekolah, terutama di daerah terpencil. Mereka mengajar dengan tanggung jawab yang sama seperti guru tetap, tetapi tanpa mendapatkan hak yang setara. Mirisnya, banyak dari mereka tidak memiliki akses terhadap asuransi kesehatan, tunjangan, atau jaminan pensiun.
Ketimpangan Upah dan Ketidakadilan Sistem
Seorang guru honorer di sebuah desa terpencil  pernah bercerita bahwa ia hanya mendapatkan upah Rp400.000 per bulan. Jumlah tersebut harus ia gunakan untuk kebutuhan sehari-hari, biaya transportasi ke sekolah, dan keperluan keluarganya. Dengan gaji serendah itu, sulit membayangkan bagaimana ia bisa bertahan.
Ketimpangan ini tidak hanya terjadi di daerah terpencil. Di kota-kota besar sekalipun, guru honorer kerap mengalami diskriminasi upah. Padahal, pendidikan berkualitas membutuhkan tenaga pengajar yang sejahtera. Guru yang menghadapi tekanan finansial sulit untuk sepenuhnya fokus mengajar.
Status yang Tidak Menentu
Masalah utama lain yang dihadapi guru honorer adalah status kerja yang tidak pasti. Banyak dari mereka bekerja bertahun-tahun tanpa kejelasan akan diangkat menjadi pegawai tetap. Pemerintah memang telah meluncurkan program seleksi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK), tetapi program ini belum mampu menyelesaikan masalah secara menyeluruh.
Seleksi PPPK sering kali dianggap tidak adil karena hanya membuka peluang bagi sebagian kecil guru honorer. Banyak yang gagal lolos seleksi karena keterbatasan kuota atau persyaratan administratif yang rumit. Akibatnya, sebagian besar guru honorer tetap berada dalam kondisi serba tidak pasti, meski telah mengabdi selama puluhan tahun.