Di tengah hiruk-pikuk kemajuan ekonomi global terutama di indonesia, kesenjangan penghasilan menjadi salah satu isu yang semakin sulit diabaikan. Di satu sisi, kita melihat orang-orang yang menikmati gaya hidup mewah dengan kendaraan mahal, rumah megah, dan liburan ke luar negeri. Namun, di sisi lain, masih banyak masyarakat yang harus berjuang memenuhi kebutuhan pokok, seperti makanan, tempat tinggal, dan pendidikan. Kenyataan ini tidak hanya memperlihatkan ketimpangan ekonomi, tetapi juga mengungkap tabir ketidakadilan struktural yang sudah lama tertanam di masyarakat.
Mengapa Kesenjangan Penghasilan Semakin Lebar?
Salah satu penyebab utama dari kesenjangan penghasilan adalah ketidaksetaraan akses terhadap pendidikan. Pendidikan seharusnya menjadi alat untuk mengentaskan kemiskinan, tetapi sayangnya, hal ini belum sepenuhnya terjadi. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa hanya 20% masyarakat dari kelompok ekonomi terbawah yang berhasil menyelesaikan pendidikan menengah atas. Kondisi ini membuat mereka kurang memiliki keterampilan yang diperlukan untuk bersaing di pasar kerja formal. Sebaliknya, kelompok masyarakat kaya memiliki akses ke institusi pendidikan terbaik yang membekali mereka dengan keterampilan unggul, membuka pintu ke pekerjaan bergaji tinggi.
Selain itu, globalisasi dan digitalisasi turut memperbesar jurang penghasilan. Profesi yang berbasis teknologi, seperti programmer, analis data, dan pengembang perangkat lunak, menawarkan gaji tinggi. Namun, lapangan pekerjaan ini sering kali hanya dapat diisi oleh individu dengan latar belakang pendidikan tinggi dan akses teknologi yang memadai. Sementara itu, mayoritas pekerja di sektor informal seperti buruh pabrik, petani, dan pedagang kecil harus puas dengan pendapatan yang jauh lebih rendah, meskipun mereka bekerja lebih keras dan lebih lama.
Kebijakan ekonomi juga menjadi sorotan utama dalam masalah ini. Misalnya, insentif pajak dan bantuan finansial sering kali lebih banyak diberikan kepada perusahaan besar yang dianggap berkontribusi besar pada pertumbuhan ekonomi. Namun, UMKM yang menjadi tulang punggung perekonomian dan menyerap banyak tenaga kerja justru sering kali diabaikan. Kesenjangan kebijakan seperti ini memperkuat posisi dominan kelompok elit ekonomi, sementara kelompok kecil terus terpinggirkan.
Dampak Kesenjangan Penghasilan yang Makin Nyata
Kesenjangan penghasilan bukan hanya masalah angka, tetapi juga menyentuh aspek sosial dan psikologis masyarakat. Ketimpangan ini dapat memicu perasaan frustrasi, ketidakadilan, dan bahkan konflik sosial. Contoh konkret dapat kita lihat dalam kasus demonstrasi buruh yang sering kali menuntut upah layak. Mereka merasa diabaikan oleh sistem yang lebih menguntungkan pihak perusahaan besar dan investor.
Selain itu, jurang penghasilan yang besar juga memengaruhi kualitas hidup. Data dari Oxfam Indonesia mengungkapkan bahwa 1% orang terkaya di Indonesia memiliki kekayaan setara dengan gabungan 50% populasi termiskin. Hal ini berimplikasi pada akses terhadap fasilitas kesehatan, perumahan, dan infrastruktur yang memadai. Masyarakat dengan penghasilan rendah cenderung tinggal di daerah yang kurang layak dengan risiko kesehatan yang lebih tinggi, seperti banjir, sanitasi buruk, dan polusi udara.
Kesenjangan ini juga menghambat pembangunan ekonomi secara keseluruhan. Ketika mayoritas masyarakat tidak memiliki daya beli yang cukup, roda ekonomi akan melambat. Sebaliknya, jika kesenjangan penghasilan dapat dipersempit, masyarakat akan memiliki lebih banyak uang untuk dibelanjakan, yang pada akhirnya mendorong pertumbuhan ekonomi.
Bukti Nyata dari Kesenjangan Penghasilan