Generasi Z, yang lahir antara 1997 hingga 2012, dikenal sebagai generasi yang dibesarkan dengan teknologi, selalu terhubung lewat internet, dan bisa mengakses informasi dalam hitungan detik. Generasi ini dipandang sebagai generasi yang inovatif, berani mengambil risiko, dan sangat mengutamakan keberagaman serta keterbukaan. Namun, di balik semua kelebihan tersebut, ada tantangan besar yang sedang mereka hadapi yaitu, krisis kesehatan mental yang mengancam kesejahteraan mereka. Fenomena ini semakin mencuat di tengah semakin kompleksnya tekanan hidup dan sosial yang mereka alami, dan di Indonesia, masalah ini semakin relevan dan butuh perhatian serius.
Mengapa Kesehatan Mental Generasi Z Menjadi Masalah Serius?
Generasi Z tumbuh di era di mana ekspektasi terhadap mereka sangat tinggi. Teknologi dan media sosial membuka banyak peluang, namun di sisi lain juga membawa banyak tekanan. Dulu, kita mungkin mengenal kesehatan mental sebagai sesuatu yang hanya dibicarakan di kalangan orang dewasa atau profesional kesehatan, tetapi kini, masalah ini sudah merambah ke generasi yang lebih muda.
Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Kementerian Kesehatan Republik Indonesia pada tahun 2023, sekitar 18,1% remaja Indonesia mengalami gangguan kesehatan mental. Angka ini semakin meningkat setiap tahunnya. Generasi Z, yang banyak berada dalam rentang usia 12 hingga 26 tahun, menjadi kelompok yang paling rentan. Dengan meningkatnya stres akademik, ekspektasi sosial, serta ancaman akan masa depan yang tidak pasti, mereka harus menghadapi banyak tantangan yang dapat merusak kesehatan mental mereka.
Penyebab utama dari krisis ini tidak hanya datang dari faktor eksternal, tetapi juga internal. Perkembangan teknologi, misalnya, memberikan akses yang begitu luas kepada mereka untuk saling terhubung, namun di sisi lain juga meningkatkan tekanan untuk selalu tampil sempurna di depan publik. Media sosial seperti Instagram, TikTok, dan Twitter memberikan gambaran kehidupan yang ideal, yang akhirnya membuat banyak remaja merasa tidak cukup baik atau tidak cukup memenuhi standar yang ada. Hal inilah yang sering kali memicu perasaan cemas, depresi, dan bahkan gangguan makan.
Dampak Media Sosial pada Kesehatan Mental
Media sosial bisa menjadi pisau bermata dua. Meskipun membawa manfaat besar dalam hal komunikasi dan akses informasi, media sosial sering kali berfungsi sebagai tempat bagi banyak remaja untuk membandingkan diri mereka dengan orang lain. Fenomena ini dikenal dengan istilah "social comparison". Banyak remaja merasa tertekan untuk selalu tampil sempurna, mengikuti tren terbaru, dan hidup sesuai dengan standar yang ditampilkan oleh selebritas atau influencer di media sosial.
Sebuah studi yang dilakukan oleh American Psychological Association (APA) menemukan bahwa terlalu banyak waktu yang dihabiskan di media sosial dapat berkontribusi pada kecemasan dan depresi. Penelitian ini menunjukkan bahwa remaja yang lebih sering menggunakan media sosial lebih cenderung merasa rendah diri dan terisolasi, karena mereka merasa hidup mereka tidak sebanding dengan apa yang mereka lihat di dunia maya.
Di Indonesia, fenomena ini juga semakin mencolok. Banyak remaja yang merasa tertekan untuk selalu menampilkan sisi terbaik mereka, bahkan jika itu hanya ilusi. Tentu saja, ini berdampak langsung pada kesehatan mental mereka.
Tekanan Akademik dan Keluarga yang Tak Kalah Besar