Mohon tunggu...
Frans Leonardi
Frans Leonardi Mohon Tunggu... Akuntan - Freelace Writer

Sebagai seorang introvert, Saya menemukan kekuatan dan kreativitas dalam ketenangan. Menyukai waktu sendirian untuk merenung dan mengeksplorasi ide-ide baru, ia merasa nyaman di balik layar ketimbang di sorotan publik. seorang amatir penulis yang mau menyampaikan pesannya dengan cara yang tenang namun , menjembatani jarak antara pikiran dan perasaan. Salam dari saya Frans Leonardi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Strategi Memperdaya Petani dalam Upaya Peningkatan Ekonomi Nasional

21 November 2024   13:25 Diperbarui: 21 November 2024   16:31 18
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Indonesia dikenal sebagai negara agraris dengan lahan subur yang melimpah. Sayangnya, julukan ini sering tidak sejalan dengan kesejahteraan petani. Banyak dari mereka masih hidup di bawah garis kemiskinan, bergulat dengan berbagai masalah seperti rendahnya akses pasar, ketergantungan pada tengkulak, hingga keterbatasan modal.

Namun, bukan berarti tidak ada harapan. Di tengah tantangan, sejumlah strategi telah diterapkan untuk memperdaya petani agar mereka mampu berdiri lebih kokoh secara ekonomi. Artikel ini akan mengupas strategi-strategi tersebut, dengan mengangkat kisah nyata dan memberikan wawasan yang relevan untuk memahami masalah ini lebih dalam.

Mengapa Petani Masih Terpinggirkan?

Kamu mungkin pernah mendengar cerita klasik: petani yang bekerja keras sepanjang musim, tapi hasil jerih payahnya tidak sebanding dengan pengorbanannya. Kenapa ini terus terjadi?

  1. Dominasi Tengkulak dalam Rantai Pasar
    Tengkulak sering menjadi perantara utama yang menentukan harga jual hasil panen. Karena petani tidak memiliki akses langsung ke pasar, mereka terpaksa menjual produk mereka dengan harga murah. Tengkulak pun mengambil keuntungan besar dari selisih harga.
    Misalnya, harga gabah di tingkat petani bisa berada di kisaran Rp4.000 per kilogram. Namun, saat masuk ke pasar konsumen, harga beras bisa mencapai Rp12.000 per kilogram. Selisih ini menjadi bukti nyata ketidakadilan dalam rantai distribusi.

  1. Teknologi yang Belum Merata
    Di beberapa daerah, petani masih menggunakan alat tradisional seperti cangkul dan sabit. Padahal, teknologi modern seperti traktor, drone pertanian, atau alat pemantau tanah bisa meningkatkan efisiensi dan produktivitas mereka.
    Ketika petani tidak punya akses ke teknologi ini, hasil panen mereka sering kalah bersaing dengan produk dari negara lain yang sudah menggunakan teknologi canggih.

  1. Minimnya Pendidikan dan Pelatihan
    Banyak petani belum paham teknik bercocok tanam modern. Akibatnya, mereka terus mengandalkan cara-cara lama yang kadang justru merusak tanah atau tidak sesuai dengan kondisi iklim saat ini.
    Misalnya, penggunaan pupuk kimia secara berlebihan dapat mengurangi kesuburan tanah dalam jangka panjang. Padahal, ada alternatif seperti pupuk organik yang lebih ramah lingkungan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun