Mohon tunggu...
Frans Leonardi
Frans Leonardi Mohon Tunggu... Akuntan - Freelace Writer

Sebagai seorang introvert, Saya menemukan kekuatan dan kreativitas dalam ketenangan. Menyukai waktu sendirian untuk merenung dan mengeksplorasi ide-ide baru, ia merasa nyaman di balik layar ketimbang di sorotan publik. seorang amatir penulis yang mau menyampaikan pesannya dengan cara yang tenang namun , menjembatani jarak antara pikiran dan perasaan. Salam dari saya Frans Leonardi

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Ujian Nasional, Kesetaraan Pendidikan atau Sekadar Formalitas?

13 November 2024   10:10 Diperbarui: 13 November 2024   10:14 200
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Ujian Nasional. Pixabay/F1Digitals

Sejak lama, sistem pendidikan di Indonesia terus berupaya memberikan pendidikan yang setara bagi semua anak bangsa. Salah satu upayanya adalah dengan memperkenalkan Ujian Nasional (UN) sebagai tolok ukur pencapaian siswa di seluruh negeri. 

Tujuan utama dari UN ini sangat mulia: menciptakan standar kualitas pendidikan yang sama bagi setiap siswa di mana pun mereka berada, dari kota besar hingga pelosok desa. 

Namun, apakah UN benar-benar berhasil menciptakan kesetaraan dalam pendidikan? Atau, alih-alih mencapai kesetaraan, UN justru menjadi tantangan besar yang menambah beban siswa dan memperparah ketimpangan pendidikan?

Latar Belakang Ujian Nasional dan Tujuannya

UN pertama kali diadakan sebagai bentuk evaluasi pencapaian siswa secara nasional. Dengan UN, pemerintah berupaya menetapkan standar pendidikan yang seragam, sehingga siswa yang lulus memiliki kompetensi dasar yang setara. Hal ini juga dimaksudkan untuk mengidentifikasi daerah-daerah yang masih perlu pembenahan dalam segi kualitas pengajaran.

Namun, dalam pelaksanaannya, tantangan besar mulai bermunculan. Kita tidak bisa menutup mata terhadap fakta bahwa Indonesia adalah negara kepulauan yang sangat luas, dengan kondisi geografis, ekonomi, dan sosial yang beragam. Bagi sebagian siswa yang bersekolah di daerah perkotaan, UN mungkin hanya menjadi satu tantangan akademis biasa, tetapi bagi siswa di daerah pedalaman, UN bisa menjadi ujian yang berat dan terasa tidak adil.

Ketimpangan Fasilitas Pendidikan

Bayangkan seorang siswa di Jakarta yang bisa mengakses internet dengan cepat, mendapatkan bimbingan belajar tambahan, dan belajar dengan berbagai perangkat modern. Di sisi lain, ada seorang siswa di pelosok Sumatera atau Papua yang bahkan untuk datang ke sekolah harus berjalan berjam-jam dan belajar dengan fasilitas yang sangat terbatas. 

Bukan hanya soal fasilitas, guru-guru di daerah terpencil juga sering kali tidak mendapatkan pelatihan yang memadai. Akibatnya, terjadi kesenjangan yang cukup besar dalam kualitas pendidikan yang diterima oleh siswa.

Statistik menunjukkan bahwa hasil UN cenderung lebih rendah di daerah-daerah tertinggal. Contohnya, dalam laporan Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP), terlihat bahwa siswa di daerah perkotaan cenderung memperoleh skor yang lebih tinggi dibandingkan siswa di daerah pedesaan. Faktor ketimpangan infrastruktur pendidikan sangat berpengaruh di sini. 

Apakah adil jika siswa di seluruh Indonesia dinilai dengan standar yang sama padahal kondisi pembelajaran mereka sangat berbeda? Tentu hal ini memunculkan pertanyaan besar mengenai keadilan dalam sistem pendidikan kita.

Dampak Psikologis dan Tekanan yang Dihadapi Siswa

Tidak hanya dari aspek akademik, UN juga memberikan tekanan psikologis yang berat bagi siswa. Banyak siswa yang merasa stres dan tertekan karena UN dianggap sebagai penentu masa depan mereka. Bahkan, tidak sedikit yang mengalami kecemasan berlebihan hingga mempengaruhi kesehatan mental mereka. 

Dalam usia muda, tekanan untuk sukses dalam UN bisa menjadi beban yang sangat berat. Mereka merasa bahwa kegagalan dalam UN akan menghancurkan masa depan mereka, membuat sebagian dari mereka merasa takut dan kehilangan kepercayaan diri.

Orang tua dan guru pun, dalam niatnya untuk mendukung, sering kali secara tidak sadar menambah tekanan tersebut. Tuntutan untuk meraih nilai tinggi, harapan orang tua, dan rasa takut mengecewakan sering membuat siswa merasa terjebak dalam lingkaran kecemasan. Padahal, di usia tersebut, siswa seharusnya menikmati proses belajar tanpa terbebani oleh ketakutan berlebihan akan nilai akhir.

Munculnya Wacana Alternatif Penilaian

Melihat dampak negatif dari UN, banyak pakar pendidikan yang mulai mempertanyakan relevansi UN sebagai satu-satunya alat evaluasi. Pendidikan adalah proses panjang yang tidak bisa diukur hanya dari satu kali ujian. 

Untuk menggantikan UN, pemerintah telah memperkenalkan Asesmen Nasional Berbasis Komputer (ANBK) sebagai bentuk reformasi. ANBK dirancang untuk mengukur kemampuan literasi, numerasi, dan karakter siswa, tanpa menjadikannya sebagai penentu kelulusan.

ANBK tidak hanya menilai berdasarkan satu mata pelajaran saja, melainkan mencakup berbagai aspek yang lebih holistik, sehingga memberikan gambaran yang lebih utuh tentang kompetensi siswa. 

Dengan cara ini, siswa tidak hanya belajar untuk lulus ujian, tetapi juga untuk memahami materi secara lebih mendalam. ANBK juga memberikan kebebasan bagi sekolah untuk mengevaluasi siswa berdasarkan perkembangan mereka selama belajar, tidak hanya dari nilai ujian saja.

Solusi untuk Mewujudkan Pendidikan yang Setara

Namun, mengubah sistem ujian saja tidak cukup untuk mencapai kesetaraan pendidikan. Langkah berikutnya yang harus diambil adalah pemerataan fasilitas dan pelatihan guru di seluruh Indonesia. 

Tidak bisa dipungkiri, masih banyak sekolah di daerah terpencil yang kekurangan fasilitas dasar seperti perpustakaan, laboratorium, dan akses internet. Guru-guru di daerah ini pun seringkali tidak mendapatkan pelatihan yang sama dengan guru di kota besar, sehingga metode pengajaran yang mereka gunakan cenderung konvensional dan kurang variatif.

Pemerintah perlu meningkatkan alokasi anggaran untuk pembangunan infrastruktur pendidikan di daerah tertinggal. Dengan fasilitas yang memadai, siswa akan lebih termotivasi untuk belajar dan mampu bersaing dengan siswa di kota. 

Selain itu, pelatihan bagi guru harus ditingkatkan agar mereka dapat mengadopsi metode pembelajaran yang lebih kreatif dan efektif. Dengan pemerataan ini, diharapkan kesenjangan dalam hasil ujian bisa diminimalisir.

Negara Lain dan Sistem Evaluasi yang Lebih Fleksibel

Beberapa negara telah berhasil menerapkan sistem evaluasi yang lebih fleksibel dan inklusif. Finlandia, misalnya, tidak menerapkan ujian nasional yang ketat seperti di Indonesia. 

Sistem pendidikan di Finlandia menekankan pada proses pembelajaran yang interaktif dan menitikberatkan pada kemampuan siswa untuk berpikir kritis. Guru di Finlandia diberikan kebebasan untuk mengembangkan metode pengajaran sesuai kebutuhan siswa, dan evaluasi dilakukan secara menyeluruh tanpa berfokus pada satu kali ujian besar.

Dengan meniru model Finlandia, Indonesia dapat memperkenalkan sistem penilaian yang lebih beragam dan berfokus pada pengembangan karakter siswa. Mengukur kemampuan siswa tidak hanya melalui nilai angka, tetapi juga berdasarkan keterampilan berpikir kritis, kreativitas, dan kemampuan mereka beradaptasi dalam berbagai situasi. 

Jika sistem ini diterapkan, siswa tidak akan lagi merasa terbebani oleh ujian nasional yang menentukan kelulusan, tetapi tetap termotivasi untuk belajar dengan baik.

Menuju Sistem Pendidikan yang Lebih Adil

Pada akhirnya, tujuan dari pendidikan adalah untuk mencetak generasi yang cerdas, kreatif, dan tangguh. Dengan mengutamakan kesetaraan dalam pendidikan, kita memberi setiap anak bangsa kesempatan yang sama untuk meraih masa depan yang cerah, terlepas dari latar belakang sosial atau geografis mereka. Meskipun tantangan masih ada, upaya untuk terus memperbaiki sistem pendidikan harus dilakukan dengan serius dan konsisten.

Ujian Nasional seharusnya menjadi alat bantu, bukan beban. Kita harus memastikan bahwa evaluasi pendidikan dilakukan dengan mempertimbangkan kondisi dan kebutuhan siswa di seluruh daerah. 

Dengan langkah-langkah seperti pemerataan fasilitas, peningkatan pelatihan guru, dan perubahan sistem penilaian, kita bisa mewujudkan sistem pendidikan yang lebih inklusif dan adil. 

Pada akhirnya, pendidikan yang setara bukan hanya soal standar nilai, tetapi tentang memberikan kesempatan yang sama bagi semua siswa untuk berkembang sesuai potensi terbaik mereka.

Masa depan pendidikan Indonesia sangat bergantung pada bagaimana kita, sebagai masyarakat, mendukung kebijakan-kebijakan yang berpihak pada pemerataan pendidikan. Semoga dengan reformasi yang berkelanjutan, kita bisa melihat Indonesia yang lebih maju dan merata di masa depan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun