Mohon tunggu...
Frans Leonardi
Frans Leonardi Mohon Tunggu... Akuntan - Freelace Writer

Sebagai seorang introvert, Saya menemukan kekuatan dan kreativitas dalam ketenangan. Menyukai waktu sendirian untuk merenung dan mengeksplorasi ide-ide baru, ia merasa nyaman di balik layar ketimbang di sorotan publik. seorang amatir penulis yang mau menyampaikan pesannya dengan cara yang tenang namun , menjembatani jarak antara pikiran dan perasaan. Salam dari saya Frans Leonardi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Angka Pernikahan di Indonesia Turun, Apa yang Terjadi?

6 November 2024   16:09 Diperbarui: 6 November 2024   16:13 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Pasangan Harmonis.Pixabay.com/IqbalStock

Tren pernikahan di Indonesia beberapa tahun terakhir memperlihatkan pola yang cukup mengejutkan. Jika sebelumnya menikah di usia muda dianggap sebagai suatu keharusan dan harapan masyarakat, kini pandangan tersebut perlahan-lahan mulai berubah. Semakin banyak orang yang memilih untuk menunda pernikahan atau bahkan tidak menikah sama sekali. Fenomena ini tidak hanya mengundang perhatian para ahli, tetapi juga memunculkan diskusi panjang di tengah masyarakat. Namun, apa sebenarnya yang menyebabkan angka pernikahan di Indonesia turun? Apakah ini hanya tren sesaat atau ada faktor-faktor mendalam yang memengaruhi? Mari kita ulas bersama.

1. Pendidikan dan Karir Jadi Prioritas Utama

Seiring dengan perkembangan zaman, semakin banyak anak muda yang memiliki akses ke pendidikan tinggi dan bercita-cita memiliki karir yang mapan. Saat ini, perempuan dan laki-laki di Indonesia sama-sama memiliki kesempatan untuk mengejar pendidikan yang tinggi, bahkan hingga ke luar negeri. Hal ini tentu merupakan kemajuan besar, tetapi juga membawa konsekuensi terhadap angka pernikahan.

Banyak orang berpendapat bahwa untuk membangun rumah tangga yang stabil, diperlukan fondasi ekonomi yang kuat. Alhasil, banyak generasi muda yang memilih untuk menunda pernikahan demi mencapai kestabilan finansial terlebih dahulu. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), usia menikah rata-rata di Indonesia semakin bertambah setiap tahunnya. Jika sebelumnya usia 20-an dianggap ideal untuk menikah, kini usia 30-an semakin umum ditemui, terutama di perkotaan.

Selain itu, tidak sedikit yang menganggap bahwa menyelesaikan pendidikan tinggi dan membangun karir membutuhkan waktu dan dedikasi penuh. Pernikahan sering kali dianggap sebagai komitmen yang menuntut perhatian besar, sehingga banyak yang memilih fokus pada karir terlebih dahulu sebelum memutuskan untuk menikah.

2. Biaya Pernikahan yang Kian Melambung

Momen pernikahan di Indonesia sering kali dirayakan dengan mewah, baik dalam bentuk pesta besar-besaran maupun acara adat yang membutuhkan banyak biaya. Bagi sebagian orang, menggelar pernikahan yang sederhana mungkin cukup, tetapi tidak sedikit pula yang merasa perlu mengikuti standar tertentu sesuai adat atau tuntutan keluarga. Hal ini membuat biaya pernikahan di Indonesia sering kali sangat besar.

Laporan dari berbagai survei menyebutkan bahwa biaya pernikahan di perkotaan Indonesia bisa mencapai puluhan hingga ratusan juta rupiah. Besarnya dana yang dibutuhkan untuk acara pernikahan ini membuat pasangan muda sering kali menunda pernikahan hingga mereka merasa cukup memiliki simpanan yang aman. Ditambah lagi dengan kondisi ekonomi yang semakin menantang, banyak orang lebih memilih menabung untuk kebutuhan lain yang juga dianggap penting, seperti membeli rumah atau kendaraan.

3. Pergeseran Nilai Sosial dan Gaya Hidup

Bagi generasi muda saat ini, pernikahan bukan lagi satu-satunya tujuan hidup. Banyak orang yang merasa bahwa kebahagiaan tidak harus didapatkan melalui pernikahan. Hal ini berbeda dengan pandangan masyarakat Indonesia di masa lalu, di mana menikah di usia muda adalah hal yang sangat diharapkan oleh keluarga dan lingkungan.

Pergeseran nilai sosial ini juga memunculkan gaya hidup baru yang lebih individualis. Tidak sedikit yang memilih untuk fokus pada pengembangan diri, mengembangkan hobi, dan menikmati hidup tanpa harus terikat dalam pernikahan. Fenomena ini juga dipengaruhi oleh perkembangan media sosial dan tren hidup mandiri yang banyak dipromosikan oleh tokoh-tokoh publik. Kebebasan pribadi dan pencapaian diri menjadi hal yang semakin diapresiasi, membuat banyak orang menunda bahkan mempertanyakan kembali tujuan mereka untuk menikah.

4. Ketidakstabilan Ekonomi dan Tantangan Finansial

Selain biaya pernikahan yang tinggi, kondisi ekonomi secara umum juga memengaruhi keinginan orang untuk menikah. Ketidakstabilan ekonomi, termasuk inflasi dan meningkatnya biaya hidup, menjadi tantangan tersendiri bagi generasi muda. Menikah dan membangun keluarga memerlukan biaya yang tidak sedikit, mulai dari kebutuhan sehari-hari hingga pendidikan anak di masa depan. Dengan situasi ekonomi yang tidak pasti, banyak yang merasa lebih aman untuk menunda pernikahan hingga mereka benar-benar siap.

Sebagai contoh, sebuah studi dari BPS menunjukkan bahwa daerah dengan angka pengangguran yang tinggi juga memiliki angka pernikahan yang lebih rendah. Hal ini menunjukkan bahwa situasi ekonomi suatu daerah secara langsung memengaruhi angka pernikahan di wilayah tersebut.

5. Tingkat Perceraian yang Semakin Meningkat

Faktor lain yang turut berkontribusi terhadap penurunan angka pernikahan adalah meningkatnya angka perceraian di Indonesia. Banyak orang yang takut gagal dalam pernikahan, terutama setelah melihat banyak contoh pasangan di sekitar mereka yang mengalami masalah atau bahkan perceraian. Menurut data Kementerian Agama, angka perceraian di Indonesia mengalami kenaikan dalam beberapa tahun terakhir, terutama selama pandemi.

Hal ini membuat banyak orang ragu untuk terikat dalam pernikahan, karena mereka tidak ingin mengalami kegagalan dalam rumah tangga. Ketakutan akan perceraian dan stres emosional yang ditimbulkan membuat beberapa orang lebih memilih hidup sendiri atau menjalin hubungan tanpa menikah. Persepsi ini, meskipun belum tentu benar untuk semua orang, turut memengaruhi keputusan untuk menunda pernikahan.

6. Meningkatnya Kesadaran Akan Kesehatan Mental dan Kebahagiaan Pribadi

Kesadaran akan pentingnya kesehatan mental juga memengaruhi keputusan untuk menikah. Banyak orang yang menyadari bahwa sebelum membangun rumah tangga, mereka perlu terlebih dahulu mencapai kebahagiaan individu dan kestabilan emosi. Fenomena ini menjadi semakin umum, terutama di kalangan generasi muda yang memiliki akses lebih mudah ke informasi tentang kesehatan mental.

Bagi banyak orang, pernikahan bukan lagi dianggap sebagai langkah yang wajib diambil, melainkan sebagai pilihan. Banyak yang merasa bahwa mereka lebih bahagia ketika mereka dapat mencapai kebahagiaan individu tanpa perlu tergantung pada pasangan. Pandangan ini menciptakan ruang bagi generasi muda untuk lebih selektif dalam memilih pasangan hidup dan mempertimbangkan faktor kesehatan mental sebagai bagian penting dalam keputusan menikah.

7. Pandangan Baru Terhadap Hubungan dan Keluarga

Generasi muda saat ini juga memiliki pandangan yang lebih fleksibel terhadap hubungan dan konsep keluarga. Kini, semakin banyak orang yang merasa nyaman hidup bersama tanpa harus melalui ikatan pernikahan formal. Meski budaya Indonesia masih cukup konservatif dalam hal ini, perlahan-lahan pandangan tersebut mulai berubah, terutama di kalangan anak muda di perkotaan.

Beberapa pasangan memilih untuk menjalani kehidupan bersama tanpa pernikahan demi menghindari tanggung jawab hukum dan sosial yang mungkin berat. Meski pilihan ini masih belum sepenuhnya diterima di masyarakat luas, fenomena ini menunjukkan bahwa pandangan generasi muda terhadap hubungan dan keluarga semakin beragam. Mereka cenderung lebih pragmatis dalam mengambil keputusan hidup yang sesuai dengan kebahagiaan dan kenyamanan pribadi.

Kesimpulan

Penurunan angka pernikahan di Indonesia merupakan fenomena kompleks yang melibatkan berbagai faktor, mulai dari pendidikan dan karir, biaya pernikahan, hingga pergeseran nilai sosial dan tantangan ekonomi. Masing-masing individu memiliki alasan dan prioritas hidup yang berbeda, sehingga tren ini tidak dapat disederhanakan hanya sebagai sesuatu yang negatif atau positif.

Bagi generasi muda, keputusan untuk menikah adalah pilihan yang tidak hanya dipengaruhi oleh tradisi, tetapi juga oleh keinginan untuk mencapai kestabilan finansial, kebahagiaan pribadi, dan kesehatan mental. Penting bagi masyarakat untuk memahami perubahan ini dan tidak melihatnya sebagai ancaman bagi nilai-nilai tradisional, melainkan sebagai bagian dari dinamika sosial yang berkembang di era modern. Dengan memahami dan menerima perubahan ini, diharapkan masyarakat dapat mendukung generasi muda untuk membuat pilihan yang tepat bagi kehidupan mereka.

Fenomena ini memberikan banyak pelajaran tentang bagaimana perubahan sosial memengaruhi institusi pernikahan di Indonesia. Di tengah perubahan ini, kebahagiaan dan kesejahteraan individu tetap menjadi tujuan yang harus dihargai oleh semua pihak.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun