Pergeseran nilai sosial ini juga memunculkan gaya hidup baru yang lebih individualis. Tidak sedikit yang memilih untuk fokus pada pengembangan diri, mengembangkan hobi, dan menikmati hidup tanpa harus terikat dalam pernikahan. Fenomena ini juga dipengaruhi oleh perkembangan media sosial dan tren hidup mandiri yang banyak dipromosikan oleh tokoh-tokoh publik. Kebebasan pribadi dan pencapaian diri menjadi hal yang semakin diapresiasi, membuat banyak orang menunda bahkan mempertanyakan kembali tujuan mereka untuk menikah.
4. Ketidakstabilan Ekonomi dan Tantangan Finansial
Selain biaya pernikahan yang tinggi, kondisi ekonomi secara umum juga memengaruhi keinginan orang untuk menikah. Ketidakstabilan ekonomi, termasuk inflasi dan meningkatnya biaya hidup, menjadi tantangan tersendiri bagi generasi muda. Menikah dan membangun keluarga memerlukan biaya yang tidak sedikit, mulai dari kebutuhan sehari-hari hingga pendidikan anak di masa depan. Dengan situasi ekonomi yang tidak pasti, banyak yang merasa lebih aman untuk menunda pernikahan hingga mereka benar-benar siap.
Sebagai contoh, sebuah studi dari BPS menunjukkan bahwa daerah dengan angka pengangguran yang tinggi juga memiliki angka pernikahan yang lebih rendah. Hal ini menunjukkan bahwa situasi ekonomi suatu daerah secara langsung memengaruhi angka pernikahan di wilayah tersebut.
5. Tingkat Perceraian yang Semakin Meningkat
Faktor lain yang turut berkontribusi terhadap penurunan angka pernikahan adalah meningkatnya angka perceraian di Indonesia. Banyak orang yang takut gagal dalam pernikahan, terutama setelah melihat banyak contoh pasangan di sekitar mereka yang mengalami masalah atau bahkan perceraian. Menurut data Kementerian Agama, angka perceraian di Indonesia mengalami kenaikan dalam beberapa tahun terakhir, terutama selama pandemi.
Hal ini membuat banyak orang ragu untuk terikat dalam pernikahan, karena mereka tidak ingin mengalami kegagalan dalam rumah tangga. Ketakutan akan perceraian dan stres emosional yang ditimbulkan membuat beberapa orang lebih memilih hidup sendiri atau menjalin hubungan tanpa menikah. Persepsi ini, meskipun belum tentu benar untuk semua orang, turut memengaruhi keputusan untuk menunda pernikahan.
6. Meningkatnya Kesadaran Akan Kesehatan Mental dan Kebahagiaan Pribadi
Kesadaran akan pentingnya kesehatan mental juga memengaruhi keputusan untuk menikah. Banyak orang yang menyadari bahwa sebelum membangun rumah tangga, mereka perlu terlebih dahulu mencapai kebahagiaan individu dan kestabilan emosi. Fenomena ini menjadi semakin umum, terutama di kalangan generasi muda yang memiliki akses lebih mudah ke informasi tentang kesehatan mental.
Bagi banyak orang, pernikahan bukan lagi dianggap sebagai langkah yang wajib diambil, melainkan sebagai pilihan. Banyak yang merasa bahwa mereka lebih bahagia ketika mereka dapat mencapai kebahagiaan individu tanpa perlu tergantung pada pasangan. Pandangan ini menciptakan ruang bagi generasi muda untuk lebih selektif dalam memilih pasangan hidup dan mempertimbangkan faktor kesehatan mental sebagai bagian penting dalam keputusan menikah.
7. Pandangan Baru Terhadap Hubungan dan Keluarga