Meningkatnya pengangguran di Indonesia belakangan ini menjadi sorotan serius, terutama di tengah krisis yang melanda sektor industri tekstil. Salah satu perusahaan tekstil terbesar di Indonesia, PT Sri Rejeki Isman Tbk atau yang lebih dikenal dengan Sritex, tengah menghadapi tantangan yang berdampak luas, tidak hanya bagi perusahaan itu sendiri tetapi juga bagi ribuan pekerja yang menggantungkan hidupnya di sana.Â
Krisis yang dialami Sritex menjadi gambaran nyata dari kondisi industri tekstil dalam negeri yang tengah berada di ujung tanduk, berhadapan dengan berbagai persoalan seperti utang yang menumpuk, tekanan produk impor, hingga dampak berkepanjangan dari pandemi COVID-19.
Sejarah Singkat dan Peran Sritex dalam Industri Tekstil Indonesia
Sritex berdiri sejak tahun 1966 dan berkembang menjadi salah satu pilar utama dalam industri tekstil Indonesia. Perusahaan ini memproduksi berbagai jenis kain berkualitas, termasuk seragam militer untuk dalam dan luar negeri.Â
Produk-produk Sritex dikenal luas dan bahkan diekspor ke berbagai negara, membuktikan kemampuannya dalam bersaing di pasar internasional. Hingga beberapa tahun lalu, Sritex menjadi salah satu penyedia lapangan kerja terbesar di daerah Solo dan sekitarnya, yang sangat mendukung perekonomian lokal.
Namun, reputasi besar yang dibangun selama puluhan tahun mulai terguncang akibat krisis keuangan yang mendera. Masalah ini dimulai dengan akumulasi utang perusahaan yang menumpuk hingga mencapai miliaran rupiah.Â
Pada 2021, perusahaan mengajukan permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU), sebuah langkah yang menunjukkan bahwa Sritex kesulitan untuk memenuhi kewajibannya. Kondisi ini diperparah dengan situasi ekonomi global yang semakin kompleks, memaksa perusahaan untuk mengurangi skala produksi dan melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) besar-besaran.
Faktor Penyebab Krisis Sritex dan Dampaknya pada Pekerja
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi krisis Sritex dan mendorong meningkatnya angka pengangguran di Indonesia. Pertama, persaingan dengan produk impor yang semakin kuat. Produk tekstil dari negara lain seperti China, yang memiliki harga lebih murah, masuk ke pasar Indonesia dengan harga yang sulit disaingi oleh perusahaan tekstil lokal.Â
Ditambah dengan rendahnya biaya produksi di negara-negara tersebut, barang impor sering kali menjadi pilihan utama bagi konsumen lokal, membuat permintaan terhadap produk lokal berkurang drastis.