Pandemi COVID-19 telah memberikan dampak yang luar biasa terhadap ekonomi global, termasuk Indonesia. Selama masa pandemi, angka kemiskinan melonjak tajam. Banyak masyarakat kehilangan pekerjaan akibat pembatasan sosial, PHK, serta penurunan aktivitas ekonomi. Data BPS menunjukkan bahwa pada Maret 2021, sekitar 27,54 juta orang hidup di bawah garis kemiskinan, meningkat signifikan dari tahun-tahun sebelumnya.
Meski saat ini angka kemiskinan sudah berangsur-angsur menurun kembali seiring dengan pemulihan ekonomi, dampak pandemi tidak dapat diabaikan begitu saja. Banyak masyarakat yang kehilangan aset produktif, seperti usaha kecil yang harus gulung tikar, yang membuat mereka lebih rentan jatuh ke dalam kemiskinan di masa depan. Oleh karena itu, meski angka kemiskinan turun, tantangan yang dihadapi oleh kelompok rentan masih sangat besar.
Apakah Penurunan Angka Kemiskinan Menjamin Penurunan Ketimpangan Sosial?
Jawaban singkatnya adalah tidak. Penurunan angka kemiskinan tidak selalu berbanding lurus dengan penurunan ketimpangan sosial. Meskipun jumlah orang yang hidup di bawah garis kemiskinan menurun, ketimpangan dalam hal distribusi kekayaan, akses terhadap layanan publik, dan kesempatan ekonomi masih sangat terlihat. Misalnya, seorang buruh yang berhasil meningkatkan pendapatannya hingga sedikit di atas garis kemiskinan mungkin tidak merasakan perubahan signifikan dalam kualitas hidupnya jika biaya pendidikan anak, biaya kesehatan, dan kebutuhan hidup lainnya terus meningkat.
Bahkan dalam kelompok masyarakat menengah ke bawah, ketimpangan bisa terjadi. Mereka yang berada di kelas menengah yang lebih tinggi mungkin memiliki akses yang lebih baik ke fasilitas kesehatan atau pendidikan swasta yang berkualitas, sementara kelompok lain yang pendapatannya hampir sama masih kesulitan mendapatkan layanan publik yang memadai. Ketimpangan ini diperparah dengan adanya sistem birokrasi yang sering kali mempersulit akses bagi mereka yang benar-benar membutuhkan.
Solusi untuk Mengatasi Ketimpangan Sosial
Untuk mengatasi ketimpangan sosial, program-program yang sudah ada perlu lebih diperkuat dan diperluas cakupannya. Pertama, redistribusi kekayaan harus menjadi prioritas utama. Kebijakan perpajakan yang lebih progresif, di mana kelompok kaya membayar pajak lebih besar, dapat membantu mengurangi ketimpangan ekonomi. Dana tersebut dapat digunakan untuk memperbaiki infrastruktur pendidikan dan kesehatan di daerah-daerah terpencil yang selama ini kurang mendapat perhatian.
Kedua, pemberdayaan ekonomi masyarakat kecil harus menjadi fokus. Program-program yang memberikan pelatihan keterampilan, akses permodalan, dan pendampingan usaha mikro dapat membantu masyarakat yang berada di ambang kemiskinan agar mampu bertahan dan berkembang. Selain itu, digitalisasi ekonomi juga harus merata ke seluruh pelosok negeri agar masyarakat di pedesaan memiliki akses yang sama dengan masyarakat di perkotaan.
Ketiga, pemerintah perlu memastikan bahwa bantuan sosial tepat sasaran dan terus dimonitor agar benar-benar memberikan dampak positif bagi penerimanya. Banyak laporan yang menyebutkan bahwa bantuan sosial sering kali salah sasaran atau tidak merata, sehingga manfaatnya tidak optimal. Pemanfaatan teknologi digital untuk penyaluran bantuan secara langsung dapat menjadi salah satu solusi untuk meningkatkan akurasi dan efektivitas program bantuan tersebut.
Kesimpulan
Secara statistik, angka kemiskinan di Indonesia memang menunjukkan penurunan, terutama setelah melewati masa sulit pandemi COVID-19. Namun, meski angka tersebut turun, ketimpangan sosial masih menjadi tantangan besar. Realitas di lapangan menunjukkan bahwa distribusi kekayaan, akses terhadap layanan dasar, dan kesempatan ekonomi masih sangat tidak merata. Penurunan angka kemiskinan memang penting, tetapi perlu diiringi dengan upaya lebih besar untuk mengurangi ketimpangan sosial agar seluruh masyarakat Indonesia dapat merasakan manfaat dari pertumbuhan ekonomi yang inklusif.