Mohon tunggu...
Frans Leonardi
Frans Leonardi Mohon Tunggu... Akuntan - Freelace Writer

Sebagai seorang introvert, Saya menemukan kekuatan dan kreativitas dalam ketenangan. Menyukai waktu sendirian untuk merenung dan mengeksplorasi ide-ide baru, ia merasa nyaman di balik layar ketimbang di sorotan publik. seorang amatir penulis yang mau menyampaikan pesannya dengan cara yang tenang namun , menjembatani jarak antara pikiran dan perasaan. Salam dari saya Frans Leonardi

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Sulit Mencari Pekerjaan, Banyak Sarjana Banting Setir jadi Ojol

9 Oktober 2024   08:01 Diperbarui: 9 Oktober 2024   09:05 175
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Fenomena sulitnya mencari pekerjaan bagi sarjana di Indonesia telah menjadi sebuah permasalahan yang semakin akut. Dalam beberapa tahun terakhir, kita bisa melihat semakin banyak lulusan perguruan tinggi yang memilih profesi sebagai ojek online (ojol). Meskipun banyak yang menganggap profesi ini jauh dari ekspektasi seorang sarjana, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa lapangan pekerjaan yang sesuai dengan bidang studi mereka semakin sulit ditemukan. Alhasil, mereka terpaksa banting setir demi memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

Jika kita cermati, masalah ini tidak hanya berdampak pada para sarjana itu sendiri, tetapi juga menimbulkan pertanyaan mendasar tentang kondisi perekonomian dan ketenagakerjaan di Indonesia. Mengapa para lulusan sarjana, yang seharusnya mampu berkontribusi pada sektor-sektor strategis, justru beralih ke pekerjaan yang cenderung dianggap lebih rendah dalam hierarki sosial? Apakah hal ini disebabkan oleh sistem pendidikan yang tidak relevan, atau ada faktor lain yang membuat lulusan sarjana kesulitan mencari pekerjaan?

Kesenjangan antara Pendidikan dan Lapangan Pekerjaan

Salah satu alasan utama mengapa banyak sarjana terpaksa beralih menjadi driver ojol adalah karena adanya kesenjangan yang besar antara pendidikan tinggi dan lapangan pekerjaan yang tersedia. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), tingkat pengangguran terbuka di Indonesia untuk lulusan perguruan tinggi mencapai 6,97% pada tahun 2023. Ini merupakan angka yang cukup tinggi jika dibandingkan dengan pengangguran pada jenjang pendidikan lainnya.

Fakta ini menunjukkan bahwa ada ketidakseimbangan antara jumlah lulusan sarjana yang terus meningkat setiap tahunnya dan ketersediaan lapangan pekerjaan yang sesuai dengan kualifikasi mereka. Banyak perusahaan menuntut pengalaman kerja yang tinggi bagi para pelamar, sesuatu yang sering kali sulit dipenuhi oleh fresh graduate yang baru saja lulus. Akibatnya, para lulusan baru terjebak dalam dilema: mereka tidak memiliki pengalaman untuk mendapatkan pekerjaan, tetapi untuk mendapatkan pengalaman mereka harus bekerja terlebih dahulu.

Di sisi lain, kurikulum pendidikan tinggi di Indonesia juga sering kali tidak selaras dengan kebutuhan industri. Banyak lulusan yang merasa bahwa ilmu yang mereka pelajari di kampus tidak relevan dengan tuntutan pasar kerja saat ini. Kondisi ini memaksa mereka untuk mencari pekerjaan di luar bidang studi mereka, yang sering kali berakhir dengan pilihan menjadi driver ojol karena profesi ini tidak memerlukan keahlian khusus dan bisa segera menghasilkan uang.

Menjadi Driver Ojol, Solusi Sementara atau Pilihan Terpaksa?

Menjadi driver ojek online memang menawarkan solusi yang cepat dan mudah bagi mereka yang kesulitan mendapatkan pekerjaan formal. Dengan sistem yang relatif fleksibel, para sarjana yang memilih jalur ini bisa langsung bekerja tanpa harus melalui proses seleksi yang panjang dan berbelit. Selain itu, pekerjaan ini juga memberikan kebebasan dalam mengatur waktu kerja, yang sering kali dianggap lebih nyaman dibandingkan pekerjaan formal dengan jam kerja yang kaku.

Namun, meskipun terlihat menguntungkan, profesi ini juga memiliki banyak tantangan yang tidak bisa diabaikan. Salah satu masalah utama yang dihadapi oleh para driver ojol adalah persaingan yang semakin ketat. Dengan semakin banyaknya orang yang memilih profesi ini, pendapatan per hari para driver cenderung menurun. Belum lagi biaya operasional yang tinggi, seperti harga bahan bakar, perawatan kendaraan, dan potongan komisi dari platform yang sering kali berubah-ubah tanpa pemberitahuan yang jelas.

Sebagai contoh, beberapa driver ojol yang sebelumnya meraih pendapatan harian yang cukup menjanjikan, kini harus bersaing dengan ribuan driver lainnya di kota-kota besar seperti Jakarta dan Surabaya. Dalam satu hari, mereka mungkin harus bekerja lebih dari 12 jam untuk mendapatkan penghasilan yang layak. Kondisi ini tentu membuat profesi ojol menjadi pilihan yang semakin tidak stabil dan berisiko untuk jangka panjang, terutama bagi mereka yang memiliki tanggungan keluarga.

Dampak Sosial dan Psikologis bagi Sarjana yang Beralih Profesi

Selain dampak finansial, beralihnya para sarjana menjadi driver ojol juga menimbulkan dampak sosial dan psikologis yang cukup signifikan. Bagi sebagian besar sarjana, keputusan untuk menjadi driver ojol sering kali dirasa sebagai sebuah kegagalan. Mereka merasa bahwa usaha mereka selama bertahun-tahun menempuh pendidikan tinggi menjadi sia-sia karena tidak bisa mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan harapan.

Hal ini tentu berdampak pada rasa percaya diri dan harga diri para sarjana tersebut. Mereka sering kali merasa bahwa mereka telah "gagal" dalam memenuhi ekspektasi keluarga dan masyarakat. Stigma sosial yang melekat pada profesi ojol juga menambah beban psikologis ini. Meski profesi ini adalah pekerjaan yang halal dan bermanfaat, banyak sarjana yang merasa malu atau minder karena pekerjaan mereka tidak sebanding dengan gelar yang mereka sandang.

Namun, di balik itu semua, kita juga harus mengapresiasi semangat pantang menyerah para sarjana yang memilih jalan ini. Mereka menunjukkan bahwa mereka tidak takut untuk bekerja keras dan berjuang demi masa depan yang lebih baik, meskipun harus memulai dari nol di luar bidang pendidikan yang mereka pelajari.

Apa Solusinya?

Masalah ini seharusnya menjadi alarm bagi pemerintah, dunia pendidikan, dan industri untuk segera melakukan perubahan. Salah satu solusi yang bisa diterapkan adalah memperbaiki sistem pendidikan tinggi agar lebih selaras dengan kebutuhan industri. Kurikulum di perguruan tinggi harus lebih adaptif dan responsif terhadap perkembangan teknologi dan tren pasar kerja. Selain itu, program magang yang diwajibkan bagi mahasiswa juga bisa menjadi langkah penting untuk memberikan pengalaman kerja sejak dini, sehingga mereka lebih siap bersaing di dunia kerja.

Di sisi lain, pemerintah juga harus lebih serius dalam menciptakan lapangan pekerjaan yang berkualitas bagi para lulusan sarjana. Investasi dalam sektor-sektor strategis yang membutuhkan tenaga ahli, seperti teknologi informasi, energi terbarukan, dan industri kreatif, bisa menjadi solusi jangka panjang untuk mengurangi pengangguran di kalangan lulusan perguruan tinggi.

Selain itu, penting juga bagi para sarjana untuk lebih fleksibel dan terbuka terhadap peluang-peluang baru di luar bidang pendidikan mereka. Dalam dunia yang semakin cepat berubah, kemampuan untuk beradaptasi dan belajar hal-hal baru menjadi kunci kesuksesan. Profesi ojol mungkin bisa menjadi solusi sementara, tetapi para sarjana juga harus terus mengembangkan keterampilan mereka agar bisa meraih peluang yang lebih baik di masa depan.

Kesimpulan:

Fenomena banyaknya sarjana yang beralih menjadi driver ojol adalah cerminan dari tantangan besar dalam dunia ketenagakerjaan di Indonesia. Meski profesi ini menawarkan solusi sementara bagi mereka yang kesulitan mendapatkan pekerjaan formal, ada banyak tantangan yang harus dihadapi, baik dari segi finansial, sosial, maupun psikologis. Oleh karena itu, diperlukan kolaborasi antara pemerintah, dunia pendidikan, dan industri untuk menciptakan sistem yang lebih baik dan lapangan pekerjaan yang lebih relevan bagi para lulusan sarjana.

Hanya dengan solusi yang holistik dan berkelanjutan, kita bisa mengatasi masalah ini dan memastikan bahwa para sarjana dapat bekerja sesuai dengan kualifikasi dan keahlian mereka, sehingga mereka bisa berkontribusi secara optimal bagi pembangunan bangsa. Profesi ojol mungkin adalah pilihan sementara, tetapi kita harus tetap berupaya agar para sarjana bisa mendapatkan peluang yang lebih baik di masa depan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun