Mohon tunggu...
Frans Leonardi
Frans Leonardi Mohon Tunggu... Akuntan - Freelace Writer

Sebagai seorang introvert, Saya menemukan kekuatan dan kreativitas dalam ketenangan. Menyukai waktu sendirian untuk merenung dan mengeksplorasi ide-ide baru, ia merasa nyaman di balik layar ketimbang di sorotan publik. seorang amatir penulis yang mau menyampaikan pesannya dengan cara yang tenang namun , menjembatani jarak antara pikiran dan perasaan. Salam dari saya Frans Leonardi

Selanjutnya

Tutup

Politik

Pilkada 2024 Kehilangan Demokrasinya, Ada Apa?

27 September 2024   11:45 Diperbarui: 27 September 2024   11:50 174
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Pemungutan Suara. Pexels.com/Tara Winstead 

Pemilu Pilkada 2024 kian mendekat dan perhatian masyarakat tertuju pada berbagai aspek penyelenggaraannya. Namun, muncul pertanyaan yang sangat relevan: Apakah proses demokrasi dalam Pilkada kali ini benar-benar masih dijalankan sesuai dengan semestinya?, atau justru kehilangan esensi yang seharusnya dijunjung tinggi? Jika dilihat dari berbagai dinamika politik yang terjadi belakangan ini, ada kekhawatiran bahwa demokrasi semakin terkikis, sementara politik transaksional, dominasi oligarki, dan praktik politik uang semakin merajalela. Masalah ini memunculkan kekhawatiran mendalam bahwa pemilu yang seharusnya menjadi instrumen demokrasi justru mengalami degradasi.

Salah satu masalah yang paling nyata adalah maraknya politik uang. Politik uang bukanlah hal baru dalam setiap pemilu, namun pada Pilkada 2024, tampaknya praktek ini semakin masif dan tak terkendali. Berdasarkan laporan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), jumlah pelanggaran terkait politik uang pada Pilkada sebelumnya meningkat pesat. Ini menjadi sinyal buruk bagi demokrasi, di mana pemilih yang seharusnya menentukan pilihan berdasarkan visi dan misi kandidat, justru dihadapkan pada tawaran materi. Akibatnya, integritas pemilu sebagai proses yang adil dan jujur menjadi dipertanyakan.

Bukti dari fenomena ini terlihat dari banyaknya laporan bahwa pemilih cenderung memilih bukan karena alasan program atau gagasan kandidat, melainkan karena adanya iming-iming uang, sembako, atau hadiah lainnya. Pada Pilkada 2018, misalnya, Bawaslu menemukan lebih dari 600 laporan terkait politik uang di berbagai daerah, dan ini hanya puncak gunung es dari masalah yang jauh lebih dalam. Kondisi ini membuat kita bertanya-tanya, apakah Pilkada 2024 benar-benar akan mencerminkan suara rakyat atau hanya menjadi ajang "siapa yang paling kaya" yang memenangi kontestasi?

Selain politik uang, dominasi oligarki juga menjadi ancaman serius bagi demokrasi kita. Partai-partai politik, yang seharusnya berfungsi sebagai penyalur aspirasi rakyat, malah sering kali tersandera oleh kepentingan segelintir elit. Alih-alih memilih calon yang berkualitas dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat, partai politik lebih memilih figur yang memiliki kekuatan finansial atau hubungan dekat dengan elit partai. Hal ini menciptakan jarak yang semakin lebar antara kandidat dengan konstituennya. Bukannya memilih calon yang betul-betul berkompeten dan berintegritas, kandidat yang diusung lebih sering dipilih berdasarkan lobi-lobi politik di balik layar. Fenomena ini semakin memperlihatkan bahwa demokrasi telah terdistorsi oleh kekuatan oligarki.

Contoh nyata dari masalah ini adalah bagaimana partai politik sering kali mengabaikan aspirasi kader-kader di daerah dan lebih memilih calon yang memiliki "akses" ke pusat kekuasaan. Ini menyebabkan proses seleksi calon menjadi tidak transparan dan penuh dengan negosiasi transaksional. Pada akhirnya, masyarakat dipaksa memilih antara beberapa kandidat yang tidak sepenuhnya merepresentasikan aspirasi mereka. Ini tentu saja menjadi masalah besar, karena pemilu seharusnya menjadi sarana bagi rakyat untuk memilih pemimpin yang benar-benar mampu mewakili mereka.

Selain politik uang dan dominasi oligarki, minimnya ruang bagi calon independen juga turut memperparah kondisi demokrasi kita. Padahal, dalam konsep demokrasi, siapa pun yang memiliki kemampuan dan niat untuk membangun daerahnya seharusnya diberi kesempatan yang sama untuk maju sebagai calon kepala daerah. Namun, dalam realitasnya, persyaratan yang dibebankan pada calon independen terlampau berat, sehingga mereka sering kali kalah sebelum bertarung. Persyaratan jumlah dukungan, misalnya, kerap kali menjadi penghalang utama bagi calon independen yang tidak memiliki sumber daya yang besar. Alhasil, masyarakat kembali dihadapkan pada pilihan yang terbatas, yakni calon yang didukung oleh partai besar atau yang memiliki kekuatan finansial.

Sebagai bukti, pada Pilkada 2020, hanya 16,67% dari seluruh calon yang berhasil maju sebagai kandidat independen. Jumlah ini menunjukkan betapa sulitnya jalan yang harus ditempuh oleh mereka yang tidak didukung partai. Padahal, jika calon independen diberi ruang yang lebih luas, demokrasi akan menjadi lebih sehat karena ada lebih banyak pilihan yang benar-benar berasal dari masyarakat.

Tidak hanya itu, pengawasan dan penegakan hukum yang lemah juga menjadi faktor lain yang menyebabkan demokrasi dalam Pilkada 2024 berada di ujung tanduk. Meski banyak laporan pelanggaran yang diajukan ke Bawaslu atau pihak berwenang, sering kali penanganannya lambat atau bahkan tidak ada tindakan yang signifikan. Pelanggaran-pelanggaran, baik yang dilakukan oleh kandidat maupun tim sukses mereka, sering kali hanya dikenakan sanksi ringan atau sekadar peringatan. Ini menciptakan kesan bahwa hukum dalam proses pemilu hanya sekadar formalitas, tanpa ada efek jera yang nyata.

Salah satu contohnya adalah kasus politik uang yang sering kali hanya berhenti di ranah administrasi. Padahal, jika hukum ditegakkan dengan tegas, pelanggaran seperti ini bisa ditekan dan memberikan sinyal kuat bahwa pemilu harus dijalankan dengan jujur dan adil. Kegagalan dalam menindak pelanggaran ini membuka celah bagi oknum-oknum yang ingin meraih kekuasaan dengan cara-cara curang. Jika kondisi ini terus dibiarkan, maka kualitas demokrasi kita akan semakin menurun.

Pemilu Pilkada 2024 sebenarnya bisa menjadi momentum penting untuk memperbaiki kualitas demokrasi di Indonesia. Namun, itu hanya akan terjadi jika semua pihak, termasuk masyarakat, partai politik, lembaga pengawas, dan aparat penegak hukum, mau berkomitmen untuk memperjuangkan pemilu yang adil, jujur, dan demokratis. Jika tidak, maka kita akan menyaksikan hilangnya esensi demokrasi dari pemilu kita. Pemilu bukan hanya soal memilih pemimpin, tapi juga soal menjaga integritas bangsa dan masa depan kita bersama.

Kamu, sebagai bagian dari masyarakat, punya peran penting dalam menjaga demokrasi ini tetap hidup. Jangan sampai kita hanya menjadi penonton dalam proses ini. Pastikan pilihan yang kamu ambil adalah berdasarkan visi dan misi yang jelas, bukan karena iming-iming materi. Sebagai warga negara, kita semua punya tanggung jawab untuk ikut menjaga demokrasi ini agar tetap murni dan tidak kehilangan esensinya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun