Mohon tunggu...
Frans Leonardi
Frans Leonardi Mohon Tunggu... Akuntan - Freelace Writer

Sebagai seorang introvert, Saya menemukan kekuatan dan kreativitas dalam ketenangan. Menyukai waktu sendirian untuk merenung dan mengeksplorasi ide-ide baru, ia merasa nyaman di balik layar ketimbang di sorotan publik. seorang amatir penulis yang mau menyampaikan pesannya dengan cara yang tenang namun , menjembatani jarak antara pikiran dan perasaan. Salam dari saya Frans Leonardi

Selanjutnya

Tutup

Parenting

Mengapa Anak Laki-laki dan Ayah Sering Bertengkar? ini Penyebabnya!

26 September 2024   12:00 Diperbarui: 26 September 2024   12:04 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Anak laki-laki dan ayah sering terlibat dalam perselisihan, mungkin sebuah hal yang umum di banyak keluarga. Meskipun perselisihan ini dapat terlihat sebagai masalah, sebenarnya ia mencerminkan kompleksitas hubungan antar generasi. Untuk memahami masalah ini dengan lebih mendalam, penting untuk melihat berbagai faktor yang menjadi penyebab dan dampaknya terhadap kedua belah pihak. Perselisihan ini bukanlah sekadar pertengkaran biasa; ia adalah hasil dari interaksi yang rumit antara keinginan, harapan, dan ekspektasi yang berbeda.

Salah satu penyebab utama perselisihan antara anak laki-laki dan ayah adalah perbedaan sudut pandang yang muncul akibat perbedaan generasi. Ayah, yang biasanya telah mengalami berbagai tantangan hidup, sering kali merasa bahwa pengalaman dan nasihatnya adalah yang terbaik bagi anaknya. Namun, anak laki-laki yang berada di fase pencarian jati diri cenderung berusaha untuk mengukir jalan hidupnya sendiri. Ketika ayah memberi nasihat yang dianggap kuno atau tidak relevan, anak bisa merasa tertekan dan merespons dengan perlawanan.

Misalnya, ketika ayah menyarankan untuk memilih jurusan kuliah yang dianggapnya menjanjikan, anak laki-laki mungkin lebih memilih jurusan yang lebih sesuai dengan minatnya meski tidak dianggap menjanjikan menurut si ayah. Ketegangan akan semakin melebar ketika anak merasa ayah tidak memahami passion-nya dan justru mendorongnya untuk mengikuti jalur yang tidak diinginkannya. Dalam situasi ini, komunikasi yang kurang baik dapat memperburuk keadaan, menjadikan setiap percakapan sebagai potensi konflik.

Selain perbedaan sudut pandang, perubahan zaman yang cepat juga berkontribusi pada terjadinya perselisihan. Generasi yang lebih muda tumbuh di lingkungan yang sangat berbeda, dengan kemajuan teknologi dan perubahan sosial yang signifikan. Ayah yang dibesarkan dalam konteks sosial dan ekonomi yang berbeda mungkin merasa sulit untuk memahami tantangan yang dihadapi anaknya. Misalnya, dalam era digital ini, anak laki-laki dapat terpapar pada informasi dan ide-ide baru dari internet yang mungkin tidak dipahami sepenuhnya oleh ayah. Ketidakpahaman ini dapat menciptakan kesenjangan yang menyebabkan ketegangan.

Faktor ego juga tak kalah penting. Ayah sebagai figur otoritas dalam keluarga seringkali merasa perlu untuk mempertahankan kendali, sementara anak laki-laki, yang sedang dalam proses menemukan identitasnya, ingin diakui sebagai individu yang mampu mengambil keputusan sendiri. Ketika keduanya berusaha untuk mempertahankan posisi masing-masing, perdebatan dan pertengkaran sering kali tidak terhindarkan.

Namun, penting untuk diingat bahwa meskipun sering terjadi perselisihan, hubungan antara ayah dan anak laki-laki bisa sangat mendalam dan berharga. Perselisihan ini, jika dikelola dengan baik, dapat menjadi jembatan untuk saling memahami dan mendekatkan keduanya. Komunikasi yang terbuka, kesediaan untuk mendengarkan, dan pengertian terhadap perbedaan generasi adalah kunci untuk mengurangi ketegangan. Misalnya, ketika terjadi perselisihan, ayah bisa mengambil langkah mundur dan mencoba melihat masalah dari sudut pandang anak. Sebaliknya, anak juga perlu menghargai pengalaman dan perspektif ayah.

Sebuah studi yang dilakukan oleh Universitas Cornell menunjukkan bahwa anak-anak yang memiliki komunikasi yang baik dengan orang tua mereka cenderung memiliki hubungan yang lebih sehat dan harmonis. Ini menunjukkan bahwa kemampuan untuk berdialog dan menyelesaikan konflik dengan cara yang konstruktif adalah salah satu indikator penting dari kualitas hubungan dalam keluarga.

Selanjutnya, ada juga aspek psikologis yang mempengaruhi hubungan ini. Perselisihan sering kali tidak hanya tentang masalah yang tampak di permukaan, tetapi juga mencerminkan kebutuhan emosional yang lebih dalam. Anak laki-laki mungkin merasa bahwa pendapatnya tidak dihargai, sementara ayah mungkin merasa ditantang otoritasnya. Hal ini dapat menyebabkan perasaan frustrasi di kedua belah pihak. Jika dibiarkan tanpa penyelesaian, perasaan tersebut dapat menumpuk dan menyebabkan keretakan yang lebih dalam dalam hubungan.

Untuk mengatasi masalah ini, penting untuk menciptakan ruang bagi masing-masing pihak untuk berbicara dan saling mendengarkan. Ayah perlu menyadari bahwa anaknya juga memiliki pandangan dan harapan yang valid. Sebaliknya, anak harus memahami bahwa nasihat yang diberikan ayah sering kali berasal dari tempat kepedulian dan pengalaman hidup. Menemukan titik tengah adalah kunci untuk menciptakan hubungan yang harmonis.

Salah satu cara efektif untuk meningkatkan komunikasi adalah dengan menjadwalkan waktu khusus untuk berbicara. Ini bisa berupa makan malam bersama tanpa gangguan dari ponsel atau aktivitas lain. Dengan menciptakan suasana yang nyaman dan terbuka, masing-masing pihak dapat merasa lebih dihargai dan didengar. Saat berbicara, penting untuk menggunakan bahasa yang positif dan menghindari nada yang menuduh. Misalnya, daripada mengatakan "Ayah selalu salah," cobalah untuk mengungkapkan perasaan dengan cara yang lebih konstruktif, seperti "Saya merasa tidak didengar ketika...".

Pada akhirnya, perselisihan antara anak laki-laki dan ayah adalah bagian dari proses tumbuh kembang yang alami. Tidak ada hubungan yang sempurna, dan setiap hubungan membutuhkan usaha untuk membangun pengertian dan saling menghormati. Dengan komunikasi yang baik dan kesediaan untuk saling memahami, perselisihan ini dapat menjadi kesempatan untuk memperkuat ikatan antara ayah dan anak.

Membangun hubungan yang harmonis tidak hanya akan mengurangi konflik, tetapi juga menciptakan lingkungan yang mendukung perkembangan anak. Dalam jangka panjang, hubungan yang baik antara ayah dan anak laki-laki dapat memberikan pengaruh positif pada kehidupan anak, membantu mereka tumbuh menjadi individu yang percaya diri dan mandiri. Seiring berjalannya waktu, anak laki-laki akan menghargai pengalaman dan kebijaksanaan ayah, sementara ayah pun akan semakin memahami tantangan yang dihadapi anaknya. Hal ini akan menciptakan siklus positif yang terus memperkuat hubungan mereka.

Dengan demikian, memahami dinamika antara anak laki-laki dan ayah adalah langkah awal untuk menciptakan hubungan yang lebih baik. Melalui dialog terbuka dan saling menghargai, setiap perselisihan dapat diubah menjadi kesempatan untuk tumbuh bersama, menjadikan ikatan antara ayah dan anak semakin kuat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun