"Our ability to reach unity in diversity will be the beauty and the test of our civilization." (Mahatma Gandhi)
Toleransi adalah sebuah nilai yang sering kali terdengar dalam berbagai kesempatan, namun tidak selalu mudah untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Bagi saya, pengalaman menginap di sebuah pesantren menjadi pelajaran penting dalam memahami makna toleransi secara lebih dalam. Di tengah perbedaan yang ada, justru saya menemukan bahwa perbedaan itu adalah kekuatan, bukan penghalang. Pengalaman ini memberikan wawasan baru tentang cara hidup yang sederhana, menghadapi tantangan dengan kepala tegak, dan bagaimana ibadah menjadi pondasi penting dalam kehidupan santri di pesantren.
Momen Penuh Makna di Pesantren
Ketika pertama kali memasuki area pesantren, saya merasakan keadaan yang sangat berbeda dari kehidupan sehari-hari di Jakarta. Kehidupan di sana terasa lebih sederhana dan penuh kedisiplinan. Hari-hari diawali sejak dini, sekitar pukul tiga pagi, ketika para santri bangun untuk melaksanakan ibadah. Kedisiplinan mereka dalam beribadah membuat saya terkesan. Saya tidak terbiasa bangun sepagi itu untuk berdoa, namun melihat mereka melakukannya dengan penuh keikhlasan membuat saya merenung.
Di sana, saya belajar bahwa hidup sederhana bukanlah sebuah pilihan, melainkan sebuah persiapan untuk menghadapi masa depan yang mungkin tidak selalu berjalan mulus. Seperti yang diajarkan oleh para pengasuh pesantren, "Jika anak-anak diajarkan untuk hidup susah sejak dini, maka mereka akan siap menghadapi masa depan yang keras." Ungkapan ini menggema dalam benak saya saat melihat para santri menjalani hari-hari mereka dengan penuh kesederhanaan. Mereka diajarkan untuk tidak bergantung pada kemewahan, melainkan pada kekuatan mental dan spiritual.
Kesederhanaan sebagai Bentuk Persiapan Mental
Saya teringat sebuah pepatah, "Kita tidak bisa memilih hidup dalam kemewahan selamanya, tetapi kita bisa memilih untuk siap menghadapi segala kemungkinan." Pesantren mengajarkan hal ini dengan cara yang sangat nyata. Melalui pengalaman hidup sederhana, para santri dipersiapkan untuk menghadapi masa depan yang mungkin penuh tantangan. Jika mereka terbiasa dengan kenyamanan dan kemewahan, mereka mungkin akan sulit menerima kenyataan ketika dihadapkan pada kesulitan di kemudian hari.
Dalam hal ini, pendidikan di pesantren memberikan pelajaran berharga tentang kesederhanaan dan ketangguhan mental. Saya sangat setuju dengan pendekatan ini. Ketika kita terbiasa menghadapi kesulitan, kita akan menjadi lebih kuat dalam menghadapi segala tantangan yang mungkin datang di kemudian hari. Sebaliknya, jika kita terlalu terbiasa dengan kenyamanan, maka akan sulit bagi kita untuk beradaptasi ketika kenyataan hidup tidak sesuai dengan harapan.
Harmoni dalam Kebersamaan
Selain belajar tentang kesederhanaan, saya juga belajar tentang kebersamaan yang luar biasa di pesantren. Salah satu momen yang paling berkesan bagi saya adalah ketika kami makan bersama. Di pesantren, makan bukan hanya sekadar aktivitas mengisi perut, tetapi juga momen untuk mempererat ikatan persaudaraan. Kami makan bersama dalam satu piring besar, berbagi makanan dengan penuh kebersamaan. Suasana yang tercipta begitu hangat dan akrab.
Ketika duduk di lantai bersama teman-teman santri, saya merasa bahwa kami adalah bagian dari sebuah keluarga besar. Tidak ada perbedaan di antara kami, meskipun kami datang dari latar belakang yang berbeda. Kami berbagi cerita, tertawa bersama, dan menikmati makanan dengan penuh rasa syukur. Momen sederhana ini mengajarkan saya bahwa kebersamaan tidak membutuhkan kemewahan. Sebaliknya, dalam kesederhanaanlah kebersamaan yang sejati bisa ditemukan.
Kekuatan dalam Perbedaan
Pengalaman di pesantren juga membuat saya menyadari bahwa perbedaan bukanlah sesuatu yang harus dihindari atau diatasi dengan pertentangan. Seperti yang diungkapkan oleh Nelson Mandela, "No one is born hating another person because of the color of his skin, or his background, or his religion. People must learn to hate, and if they can learn to hate, they can be taught to love." Perbedaan agama, suku, atau budaya bukanlah alasan untuk saling berselisih. Sebaliknya, perbedaan adalah kekuatan yang bisa menyatukan kita jika kita mau melihatnya dengan hati yang terbuka.
Selama di pesantren, saya belajar bahwa meskipun kami berbeda keyakinan, kami tetap bisa hidup berdampingan dengan damai. Para santri tidak memandang saya sebagai orang luar yang harus dijauhi. Sebaliknya, mereka menyambut saya dengan hangat dan mengajak saya untuk terlibat dalam kegiatan sehari-hari mereka. Perbedaan agama tidak menjadi penghalang bagi kami untuk membangun persahabatan yang erat.
Pengalaman yang Tak Terlupakan
Ekskursi ke pesantren ini adalah pengalaman yang tak akan saya lupakan. Dari sana, saya belajar bahwa hidup dalam kesederhanaan bukanlah sesuatu yang buruk, melainkan sebuah kekuatan yang bisa mempersiapkan kita untuk menghadapi masa depan. Saya juga belajar bahwa perbedaan bukanlah sumber konflik, melainkan peluang untuk saling belajar dan memperkaya diri.
Pengalaman makan bersama dalam satu piring, bangun dini hari untuk beribadah, dan merasakan kesederhanaan hidup di pesantren mengajarkan saya banyak hal tentang kehidupan. Seperti yang dikatakan oleh Mahatma Gandhi, "Our ability to reach unity in diversity will be the beauty and the test of our civilization." Jika kita mampu menjadikan perbedaan sebagai kekuatan, maka kita akan mampu membangun masyarakat yang lebih harmonis dan penuh kedamaian.
Meski kegiatan ini telah berakhir, persahabatan yang terjalin dengan para santri tidak akan pernah pudar. Ini adalah sebuah pengalaman yang memberikan pelajaran hidup yang tak ternilai, yang akan terus saya bawa dalam perjalanan hidup saya ke depan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H