Layaknya Tax Amnesty, kembalinya Sri Mulyani Indrawati merupakan repatriasi aset yang berharga milik negara Indonesia. Bukan tanpa alasan ketika Presiden Jokowi memanggil pulang Sri Mulyani untuk menjabat sebagai Menteri Keuangan. Tepat satu minggu setelah dilantik menjadi Menteri Keuangan, kebijakan pemangkasan belanja negara dikeluarkan untuk melakukan penghematan anggaran.
Pemangkasan anggaran dilakukan sebesar 133,8 trilyun yang terdiri dari pengurangan anggaran belanja di kementerian/lembaga sebesar 65 trilyun dan transfer ke daerah sebesar 68,8 trilyun. Kebijakan ini diambil untuk menyelamatkan Indonesia dari keadaan darurat fiskal yang diakibatkan oleh belum optimalnya hasil penerimaan negara. Realisasi penerimaan pajak sampai semester satu 2016 hanya mencapai 33.7 persen dari target yang ditetapkan.
Beruntung, kedatangan Sri Mulyani disambut dengan baik oleh pasar yaitu dengan menguatnya indeks harga saham gabungan serta nilai tukar rupiah.
Keberuntungan lain yang tidak terduga muncul adalah ketika Kepala BPS mengumumkan pertumbuhan ekonomi 2016 di triwulan kedua lebih besar dari perkiraan semula yaitu naik sebesar 5.18 persen. Seolah semesta mendukung kepulangan Sri Mulyani ke Indonesia. Namun harapan publik yang cukup tinggi ini harus dijawab dengan kinerja yang baik untuk menjaga perekonomian Indonesia tetap stabil.
Beberapa pekerjaan rumah harus dituntaskan. Yang pertama adalah menjaga agar APBN tetap stabil, lalu yang kedua meningkatkan penerimaan pajak. Yang terakhir adalah menyiapkan APBN untuk tahun 2017. Semuanya harus dilakukan dalam jangka waktu singkat menjelang berakhirnya akhir tahun anggaran 2016.
Hal utama yang harus dijaga dalam APBN saat ini adalah agar defisit anggaran dan jumlah pinjaman tidak melebih 3 persen dan 60 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) sesuai yang diamanatkan oleh undang-undang. Untuk mencegah terjadinya besar pasak daripada tiang, tindakan penghematan telah dilakukan.
Bilamana perlu, dapat diambil langkah untuk merevisi kembali APBN-P 2016. Suatu hal yang tidak lazim, namun dapat dilakukan. Pemangkasan anggaran sudah dilakukan, namun tindak lanjutnya adalah bagaimana memilih anggaran mana yang harus dipotong. Jangan sampai pemotongan anggaran malah menghambat laju perekonomian negara.
Beberapa jenis anggaran telah diindikasikan akan dikurangi oleh Menteri Keuangan yaitu anggaran perjalanan dinas dan rapat di hotel. Agar lebih memberikan “sense of urgency” bahwa negara sedang berhemat, pemangkasan dapat juga dilakukan dengan mengurangi atau meniadakan konsumsi rapat.
Suatu hal yang sepertinya terlihat tidak bermakna, namun mempunyai dampak besar karena nilainya cukup banyak dan berdampak langsung kepada seluruh apatur negara. Kementerian Keuangan harus menjadi contoh utama dalam kebijakan penghematan anggaran ini.
Sebagai mantan Direktur Pelaksana di Bank Dunia, Sri Mulyani pasti paham mengenai situasi perekonomian dunia saat ini. Penyelamatan fiskal sudah diawali dengan pemangkasan anggaran. Namun di sisi lain, dalam waktu yang kurang dari enam bulan, perlu dipikirkan juga untuk menambah penerimaan negara dari sektor perpajakan.
Perlambatan ekonomi di dunia berdampak besar pada kondisi ekonomi di Indonesia. Penurunan harga minyak mentah mengawali segalanya. Ditambah dengan menurunnya harga komoditas sebagai akibat melemahnya pertumbuhan ekonomi di Tiongkok, semakin menambah berat laju perekonomian di dalam negeri.
Tugas kedua adalah meningkatkan penerimaan pajak. Selama lima tahun terakhir, penerimaan pajak tidak pernah mencapai target yang ditetapkan namun selalu mencapai di atas 90 persen. Di tengah lesunya perekonomian dunia, penambahan target penerimaan pajak sebesar Rp. 250 trilyun di tahun 2015 dianggap terlalu tinggi, sehingga penerimaan pajak hanya dapat dicapai 83.7 persen saja.
Namun demikian, target tahun 2015 ini tetap digunakan sebagai basis untuk rencana anggaran tahun 2016, sehingga bila dihitung sejak tahun 2014, total kenaikan anggaran mencapai angka yang fantastis sebesar Rp 350 trilyun. Sementara realisasi penambahannya hanya sebesar Rp 100 trilyun. Apabila hal ini terus berlangsung, dikhawatirkan dapat menjadi bola salju yang mangakibatkan kebangkrutan fiskal.
Sebagai upaya untuk menambah pundi negara, pemerintah memberikan pengampunan pajak (Tax Amnesty) yang mulai diberlakukan pada pertengahan tahun 2016. Melalui dana pengembalian aset ke dalam negeri, diharapkan Tax Amnesty dapat memberikan pelumas bagi berputarnya roda ekonomi domestik.
Target penerimaan dari program ini pun sudah ditentukan, sebesar 165 trilyun. Namun kebijakan ini masih menunggu niat baik dari Wajib Pajak untuk melaporkan kekayaannya. Jumlah yang melapor kekayaaan sampai awal Agustus 2016 masih sangat kecil yaitu sejumlah 344 wajib pajak dengan jumlah harta tambahan yang dilaporkan sebesar Rp 3,7 triliun. Banyak masyarakat yang masih “wait and see”.
Ada satu alternatif lain untuk dapat meningkatkan penerimaan negara, yaitu dengan menaikkan tarif pajak atas bunga tabungan/deposito. Dengan meningkatkan tarif pajak penghasilan atas bunga deposito, bunga tabungan dan diskonto Sertifikat Bank Indonesia (SBI), maka pemerintah dapat memperoleh tambahan penerimaan negara secara cepat dan tidak menimbulkan gejolak yang berarti karena dikenakan hanya kepada orang kaya dengan jumlah tabungan atau deposito yang tinggi.
Pengecualian atas pemotongan pajak juga dapat diberikan apabila bunga deposito dan tabungan mencapai jumlah tertentu yang dianggap wajar. Dengan demikian faktor fairness atau keadilan dalam prinsip perpajakan dapat dicapai.
Pajak atas deposito saat ini sebesar 20 persen telah berlaku 15 tahun sejak tahun 2001 menggantikan tarif sebesar 15 persen yang dimulai sejak 1994. Suku bunga bank di Indonesia masih cukup tinggi bila dibanding negara lain.
Namun demikian, kenaikan tarif pajaknya juga tidak boleh terlalu tinggi untuk mencegah terbangnya dana tabungan/deposito ke luar negeri. Tarif pajak yang bersifat progresif terhadap tabungan/deposito dapat menjadi alternatif dalam menentukan tarif pajaknya.
Menurut Bank Indonesia, pada April 2016 jumlah simpanan dana pihak ketiga berupa tabungan, deposito dan giro mencapai kurang lebih Rp 4,500 trilyun. Suatu potensi yang lumayan untuk menggenjot penerimaan negara.
Kenaikan pajak atas tabungan dan deposito ini juga dapat dijadikan alat kebijakan untuk memotivasi masyarakat dan pelaku usaha agar lebih menggerakkan dananya pada sektor riil berupa produksi barang dan jasa yang pada akhirnya diharapkan dapat lebih meningkatkan perekonomian Indonesia.
Pekerjaan rumah yang terakhir Sri Mulyani adalah menyiapkan APBN untuk tahun 2017. Yang perlu menjadi pokok perhatian selain penetapan asumsi makro yang akurat adalah penetapan target penerimaan perpajakan yang dianggap wajar dan sesuai pertumbuhan ekonomi. Faktor ini akan sangat berpengaruh bagi pengeluaran belanja pemerintah agar tidak terjadi lagi darurat fiskal di masa yang akan datang.
Perencanaan belanja juga diharapkan akan lebih matang dengan adanya mantan Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro yang saat ini menjadi Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Ketua Bappenas.
Koordinasi yang baik antar dua lembaga pemerintah ini dapat membuat anggaran pendapatan dan belanja negara menjadi motor penggerak perekonomian Indonesia sehingga berpengaruh untuk mengembalikan kepercayaan publik di sektor keuangan negara.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H