Kenaikan Upah Minimum Propinsi (UMP) DKI Jakarta sebesar 44 persen menjadi 2,2 juta rupiah telah ditetapkan oleh Gubernur Jokowi. Kenaikan yang cukup signifikan ini tentunya setelah mempertimbangkan banyak hal antara lain angka kehidupan layak di DKI Jakarta yang senilai Rp 1.987.789. Keputusan ini juga ditetapkan setelah adanya dialog antara pihak pekerja dan pengusaha di wilayah DKI Jakarta. Pak Jokowi sendiri menyadari bahwa keputusan tersebut tidak bisa menyenangkan semua pihak, namun dia berharap keputusan ini adalah win win solution bagi semua pihak.
Tak dapat dipungkiri, yang paling terpukul dengan kenaikan besar ini adalah sektor Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM). Pengusaha kecil yang memproduksi barang/jasa dengan mengandalkan modal yang seadanya serta memanfaatkan banyak sektor tenaga kerja, pasti akan sangat terkena dampaknya. Hal ini dapat diperparah lagi dengan adanya rencana kenaikan tarif dasar listrik dan kemungkinan naiknya harga BBM di tahun 2013.
Ada beberapa kemungkinan bagi pengusaha kecil untuk menutupi biaya upah yang meningkat tersebut. Pertama adalah menaikkan harga jual produski mereka, tentunya dengan mempertimbangkan harga jual produk pesaing mereka. Kalau barang yang sama / substitusi diproduksi juga oleh pengusaha besar, maka pertimbangan ini akan sangat sulit dilakukan karena harga menjadi tidak kompetitif lagi. Alternatif kedua yaitu menambah investasi dengan membeli peralatan yang dapat menggantikan tenaga manusia. Bagi UMKM, biaya ini tidak murah dan harus dipikirkan masak-masak karena harus memperhitungkan cost and benefit dari sisi investasi jangka panjang. Lagipula, kredit investasi bagi pengusaha UMKM belum banyak difasilitasi oleh pihak bank. Alternatif ketiga dengan mengurangi tenaga kerja. PHK ? Ya, ternyata PHK dapat menjadi dampak yang tidak disadari oleh para buruh/tenaga kerja ketika berdemo untuk meminta kenaikan upah. Alternatif keempat adalah dengan memangkas biaya-biaya yang tidak perlu, diantaranya adalah biaya-biaya siluman yang kerap muncul dalam urusan birokrasi.
Biaya-biaya yang tidak perlu dapat dikatakan sebagai tindakan penghematan untuk mengurangi biaya produksi sebuah usaha. Apabila faktor yang dikurangi adalah bagian dari produksi, maka akan sangat berpengaruh bagi hasil akhir dari produk/jasa yang diberikan kepada konsumen. Oleh karena itu, biaya yang paling memungkinkan untuk dihemat bahkan dipotong adalah biaya-biaya "siluman" yang selama ini menghantui pengusaha, khususnya pengusaha kecil/UMKM yang tidak mempunya backing. Sebagai contoh, foto di bawah ini adalah rangkaian perijinan yang harus dilakukan oleh sebuah usaha menengah.
Perijinan yang sangat banyak ini tentunya sangat merepotkan pengusaha. Ketentuannyapun bermacam-macam, ada yang dari pemerintah pusat, ada juga yang dari pemerintah daerah DKI. Mulai dari ijin usaha perdagangan sampai ijin penggunaaan penangkal petir mapupun ijin penggunaan mesin diesel untuk pengganti apabila listrik dari PLN tidak berfungsi. Perijinan ini tentu memerlukan biaya mulai dari penyediaan waktu, ongkos perjalanan pengurusan sampai dengan biaya perijinan itu sendiri. Menurut publikasi yang berjudul "Doing Business in Indonesia 2010" , Indonesia berada pada ranking 122 di negara Asia untuk kemudahan menjalankan usaha. Bandingkan dengan negara tetangga Singapura berada di peringkat pertama, Thailand berada pada peringkat 12 dan Malaysia yang bertengger pada peringkat 23. Sedangkan waktu yang dibutuhkan untuk memulai suatu usaha (days to start business) di Jakarta adalah sebanyak 60 hari, dengan urutan 158 dari 183 kota besar di dunia. Jumlah prosedur yang harus dilalui untuk memulai suatu usaha di Jakarta adalah 9 buah prosedur. Untuk penghitungan hari dalam memulai usaha, Jakarta sendiri masih kalah dengan Jogjakarta (43 hari) dan Surakarta (45 hari).
Gambaran di atas adalah baru pada tahap ijin awal suatu usaha. Ada beberapa ijin yang harus diperpanjang dan diperbaharui dalam jangka waktu tertentu sesuai dengan masing-masing ketentuan. Dan hal itu juga tentunya membutuhkan biaya bagi pengusaha. Biaya yang tidak sedikit ini harus dibayarkan oleh pengusaha agar usahanya dapat berjalan lancar dan menuruti aturan yang berlaku di wilayah DKI Jakarta. Tidak sedikit "biaya siluman" yang harus dikeluarkan sehubungan dengan perijinan ini.
Kenaikan UMP dari Pemda DKI memang tidak terelakkan, namun harapan baru di era pak Jokowi dan Ahok adalah adanya kompensasi berupa kemudahan dan kemurahan dari berbagai perijinan dan pengurusan yang ada di wilayah DKI ini. Dalam bentuk nyata, kompensasi tersebut misalnya dapat berupa adanya sistem satu pintu bagi perijinan sehingga dapat menghemat waktu dan biaya bagi pengusaha. Setelah berbagai macam perijinan tersebut dikeluarkan, perlu adanya kepastian hukum yang tetap bagi pengusaha, sehingga tidak “diganggu” lagi pada perjalanan waktunya. Pengusaha janganlah dijadikan sapi perahan bagi pemerintah daerah, tapi mitra yang dapat mengembangkan perekonomian di wilayah pemerintah daerah tersebut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H