Mohon tunggu...
Frangky Selamat
Frangky Selamat Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

Dosen

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Menanti Bali Kembali (2): Penerapan Protokol Kesehatan Antara Ada dan Tiada

16 Januari 2021   19:53 Diperbarui: 16 Januari 2021   19:55 266
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Wisatawan Mulai Meramaikan Pura Tanah Lot (Dok Pribadi)

Hari itu menjelang jam makan siang, sebuah restoran di kawasan Ubud dekat Istana Ubud, yang menyajikan masakan khas Bali begitu padat. Puluhan orang duduk sambil asyik menyantap hidangan yang disajikan. Tidak ada social distancing. Karena sedang makan, tentu saja pengunjung tidak menggunakan masker. Hanya pramusaji yang bermasker.

Tidak ada pemeriksaan suhu, cuci tangan sebelum masuk seperti protokol kesehatan (prokes) yang selama ini didengung-dengungkan. Semua bebas, seperti tidak ada pandemi. 

Sementara beberapa turis asing berlalu-lalang dengan santainya di kawasan yang siang itu begitu padat, tanpa menggunakan masker. Bebas saja.

Demikian juga kondisi resto di kawasan Gilimanuk yang menyajikan menu ayam betutu, semuanya berlangsung seperti kondisi biasa. Tersedia tempat cuci tangan, tetapi prokes tidak diterapkan sepenuhnya. Kerumunan terjadi, tiada jaga jarak.Sirkulasi udara di resto yang padat pengunjung itu terasa pengap. 

Belum lagi cuaca panas yang menyelimuti siang itu, menambah gerah suasana. Namun hal itu tidak menyurutkan nafsu makan para pengunjung yang hadir di situ. Semua berjalan seperti pandemi telah berlalu.

Di kawasan Kintamani, di sebuah restoran yang lokasinya langsung menghadap ke gunung Batur, kondisinya masih lumayan teratur. Walau sempat memacetkan jalan Penelokan di depannya, prokes masih diterapkan. 

Jaga jarak masih diberlakukan. Hanya pengunjung yang tak kuasa untuk melepas masker menikmati udara segar dengan hamparan indah panorama yang tersaji di depan mata.

Lain lagi di kawasan wisata utama seperti Garuda Wisnu Kencana (GWK), Pura Ulun Danu - Danau Beratan, Pura Tanah Lot dan Pura Uluwatu. Prokes lebih ketat diterapkan. Di GWK walau telah dibuka sejak 4 Desember 2020, jumlah pengunjung dibatasi dan sejumlah pertunjukan offair ditiadakan. 

Antrean pengunjung untuk naik shuttle bus dari area parkir menuju loket tiket pun dijaga jaraknya. Sayangnya masih ada (lagi-lagi) turis asing yang berlalu-lalang tanpa menggunakan masker di kawasan itu. Sempat hendak memasuki area pameran di patung GWK, sepertinya ditolak masuk petugas keamanan setempat.

Barangkali satu-satunya area yang masih menyajikan tarian Kecak adalah Uluwatu. Seorang pemandu wisata menuturkan bahwa pertunjukan masih ada berdasarkan permintaan dari pengunjung, namun dibatasi maksimal 500 penonton dari kapasitas total 1500 tempat duduk. 

Teater terbuka di Uluwatu yang langsung menghadap ke Samudera Hindia, memang menakjubkan. Siapapun rasanya tak sabar menyaksikan pertunjukan secara live di sana.

Di Bali Utara, di Singaraja, Kabupaten Buleleng, penerapan prokes terasa lebih longgar. Ibu Andri, sebut saja demikian, pengelola vila di kawasan Lovina menuturkan bahwa di daerahnya, penduduk setempat berlaku seperti biasa. 

Dan benar saja, ibu ini tidak menggunakan masker ketika menerima tamu. Mungkin dia begitu yakin bahwa tamu yang datang telah dites rapid antigen ataupun PCR, dengan hasil negatif, dan tidak akan menularkan virus korona baru yang menghebohkan dunia itu.

Di pantai Lovina, sejumlah orang menawarkan jasa melihat lumba-lumba atau dolphin, seperti biasa mereka sebut, kepada wisatawan lokal, namun ditolak halus. 

Tiada nada “ngedumel” cuma berkata sopan,”Selamat liburan.” Umumnya penduduk setempat tidak menggunakan masker. Juga, sekali lagi, sejumlah turis asing, yang duduk bermalas-malasan di beanbag, sambil minum bir, menghadap laut lepas diiringi house music dari sound system sederhana. 

Pengunjung lokal masih lebih disiplin. Apalagi dari daerah yang berkategori zona merah. Sosialisasi pemerintah mengenai 3M bagi sebagian wisatawan lokal tampaknya cukup berhasil.

Pariwisata Bali di masa pandemi tampaknya menemukan tantangan hebat bagaimana menerapkan protokol kesehatan yang ketat. Heboh di pertengahan Desember 2020 ketika pemerintah memberlakukan hasil tes negatif rapid antigen H-3 bagi wisatawan yang datang lewat jalur darat dan PCR H-7 bagi wisatawan yang datang melalui jalur udara, tidak membuat penerapan protokol kesehatan menjadi ketat. Yang mengkuatirkan adalah perilaku wisatawan asing, yang diduga berasal dari Eropa atau yang telah menetap di Bali. Mereka tidak mengindahkan protokol kesehatan.

Di masa kini, sepanjang 2021 dan tahun-tahun berikutnya, destinasi wisata semestinya menomorsatukan kesehatan pengunjung, tidak semata keamanan dan kenyamanan sebagaimana biasa. 

Datang dalam keadaan sehat, demikian juga ketika kembali ke daerah asal. Tidak ada lagi cara selain penerapan protokol kesehatan yang ketat ke seluruh pengunjung dan pelaku wisata setempat. Kesadaran itu belum terwujud sepenuhnya.

Bali dengan jumlah kasus positif Covid-19 yang terus meningkat akan kembali terseok jika tidak mampu mengendalikan kondisi ini. Geliat wisata yang mulai menyala jangan sampai padam sebelum Bali benar-benar kembali.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun