Mohon tunggu...
Frankincense
Frankincense Mohon Tunggu... Administrasi - flame of intuition

bukan pujangga yang pandai merangkai kata, hanya ingin menumpahkan inspirasi dengan literasi menguntai pena. Kata dapat memburu-buru kita untuk menyampaikan perasaan dan sensasi yang sebenarnya belum kita rasakan. Tetapi, kata juga bisa menggerakkan kita. Terkadang, kita tidak mengakui kebenaran sebelum mengucapkannya keras-keras. Salam hangat Kompasianers... Blog: franshare.blogspot.com Web: frame.simplesite.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Dawet untuk Dawut dari Kerajaan Dhuwit

6 April 2019   15:44 Diperbarui: 6 April 2019   16:34 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kepulauan Nusantara sejak zaman Atlantis hingga zaman reformasi sekarang ini merupakan tempat persinggahan. Dari berbagai arah penjuru mata angin melalui lautan, Nusantara bisa dibilang merupakan negeri keduanya para musafir dan pedagang hingga dikenal dengan sebutan Negeri Tamu.

Alkisah pada sekitar tahun 1001malam SM(Sebelum Masehi), Negeri Tamu kedatangan rombongan dari Betlehem yang merupakan suatu kota di Negeri Israel yang mulai dipimpin oleh seorang raja yang bernama Saul. Rombongan itu dipimpin oleh seorang pemuda yang bernama Dawut, anak dari seorang gembala yang bernama Isai. Dawut sedang melarikan diri dari ancaman pembunuhan Raja Saul yang benci kepadanya.

Kebencian Raja Saul pada Dawut berawal dari kemenangan Dawut melawan tentara Palestin yang di pimpin oleh Goliath. Para perempuan Israel memuji Dawut lebih baik darinya karena Dawut dianggap mengalahkan berlaksa-laksa musuh, sedangkan Saul hanya dianggap mengalahkan beribu-ribu musuh saja.

Raja Saul menjadi terasuki oleh amarah dan dengki dengan perasaan terancam dirinya dapat dilengserkan dari kursi raja akibat pengaruh kemenangan perang lebih pada kepahlawanan Dawut. Maka, Raja Saul pun menyerang Dawut dan berniat membunuhnya. Dawut yang mengetahui hal ini pun segera melarikan diri bersama para pengikutnya menuju ke arah selatan untuk mengungsi. Dawut pun menjauhi Israel dan melakukan pelayaran dari Laut Merah menuju ke arah timur bersama rombongan pengikutnya.

Kemudian, tibalah Dawut beserta rombongannya di suatu kepulauan di wilayah timur. Ia mendarat di suatu tempat yang pesisir pantainya dari laut terlihat menjorok ke daratan. Dawut bersama di sambut oleh kawanan penyu yang baru saja bertelur di pantai dan hendak menyelam kembali ke dasar laut. Kemudian teluk itu pun dinamainya "Teluk Penyu".

Mereka sampai di pantai itu pada saat tengah hari dalam sorotan mentari iklim tropis. Dawut beserta rombongannya pun segara mencari tempat bernaung di sekitar pantai untuk menghindari sengatan terik matahari yang sedang bersinar cerah di musim panas kala itu. Mereka akhirnya menemukan sekelompok pepohonan Bidara dan akhirnya beristirahat di bawah pepohonan itu. Tempat mereka bernaung itu kemudian diberi nama pantai "Widara Payung".

Dawut pun memutuskan untuk menjelajahi daratan itu dan mendapat petunjuk jalan dari bantuan orang setempat yang di temuinya melalui muara sungai besar di sekitar teluk Penyu yang kemudian dinamakan "Cisraya" atau "Serayu". Orang itu menyatakan bahwa Dawut dan rombongannya sedang berada di Negeri Tamu, dengan pusat perabadannya saat itu ada di tengah-tengah pulau negeri tersebut. Maka, dengan menyusuri muara sungai Serayu menuju ke arah utara, Dawut bersama rombongan kembali melajukan kapal-kapal mereka.

Dalam perjalanan ke utara, Dawut menyempatkan diri mempelajari bahasa setempat melalui sang pemandu yang dipanggilnya "Lacap" karena ia menguasai beberapa bahasa dialek seperti dialek Sunda, Bandekan, dan Ngapak  yang terdengar lucu dan blepotan dicampur-aduk. Tempat di mana Dawut mempelajari bahasa dan budaya setempat dinamakan "Maos".

Mereka pun terus melanjutkan pelayaran ke arah utara hingga melewati kawasan yang terdapat kawanan unggas berenang dan berkumpul di tepian rawa becek sungai Serayu itu. Unggas itu disebut oleh Lacap sebagai Menthok atau Enthog oleh warga daerah setempat, karena wilayah itu menjadi penanda jalur penyebrangan dari barat ke timur ataupun sebaliknya. Dan memang, Dawut dan rombongannya harus ekstra hati-hati mengemudikan kapalnya di situ. Karena selain tikungan sungai di wilayah itu cukup curam, juga banyak perahu kecil yang hilir mudik menyebrangi sisi barat dan timur sungai besar itu. 

Kawanan unggas yang menandai jalur daratan yang buntu oleh sungai itu pun dinamakan Menthog. Selain itu, unggas ini juga cukup unik dari tampak keanggunannya yang agak sedikit berbeda dari Angsa atau Banyak yang lebih besar darinya dalam berjalan secara lambat. Dawut pun kembali menggagas, agar kelak tempat dia menonton kawanan Menthok di tikungan curam sungai Serayu itu diberi nama "Notog". Dawut dan rombongannya terus berlayar ke utara menerobos tebing-tebing terjal dan curamnya Pegunungan Kendeng yang mulai menghiasi pertengahan hulu sungai Serayu yang berlika-liku dengan air yang berwarna hijau pekat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun