Mohon tunggu...
Frankincense
Frankincense Mohon Tunggu... Administrasi - flame of intuition

bukan pujangga yang pandai merangkai kata, hanya ingin menumpahkan inspirasi dengan literasi menguntai pena. Kata dapat memburu-buru kita untuk menyampaikan perasaan dan sensasi yang sebenarnya belum kita rasakan. Tetapi, kata juga bisa menggerakkan kita. Terkadang, kita tidak mengakui kebenaran sebelum mengucapkannya keras-keras. Salam hangat Kompasianers... Blog: franshare.blogspot.com Web: frame.simplesite.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Agama, antara Keselamatan dan Kelumatan

8 November 2017   19:07 Diperbarui: 7 Januari 2018   11:23 1521
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam menjalani kehidupan mengarungi zaman, manusia tidak terlepas dari suatu penganutan keyakinan yang terus berevolusi, yang kini lebih dikenal sebagai agama. Terlahir dan terwariskan dalam berbagai tradisi dan budaya menuju pencapaian rohaniah. Akan tetapi menjadi ironis dan miris, bilamana agama bagai pedang bermata dua. Di mana agama muncul dan terwartakan sebagai jalan keselamatan, diantaranya dalam berbagai ajaran kasih sayang, toleransi, dan kerja sama di antara umat manusia. Namun, di sisi lain mungkin agak aneh jika dikatakan bahwa agama sebagai jalan kelumatan yang bisa menjadi sumber bencana.

Sejarah menjadi kesaksian perabadan-perabadan besar bersandar pada inspirasi dari agama. Pada saat yang sama, sejarah dengan jelas menunjukkan bahwa agama seringkali dikaitkan secara langsung dengan contoh terburuk perilaku manusia. Kedengarannya usang, tetapi sayangnya benar jika dikatakan bahwa dalam sejarah umat manusia, perang, membunuh orang, dan kini semakin banyak lagi kejahatan lebih sering dilakukan atas nama kekuatan institusional lain. Lalu, pertanyaan-pertanyaan itu kembali menyeruak bersamaan dengan terus berjalannya era milenium baru. Apakah ini juga menjadi pijakan para oknum pada upaya segala cara demi mencapai tujuan?

bhineka-tunggal-ika-5a03b3f85a676f42765fc492.jpg
bhineka-tunggal-ika-5a03b3f85a676f42765fc492.jpg
Di Indonesia sendiri, sejarahnya sudah cukup tersimpang siur. Selain pada unsur harta, tahta maupun wanita, agama juga sebagai pengaruh yang sangat signifikan pada kejayaan dan keruntuhan kerajaan-kerajaan Nusantara di masa lampau. Sebagaimana yang umum terjadi, faktor-faktor sosial, ekonomi, dan politik, saling berkelindaan. Sepanjang masa mempertajam peta konflik. Namun, agama selalu berada di pusat tragedi yang mengalami eskalasi itu, dan peristiwa-peristiwa pemicu yang menuju perang pada banyak konflik yang memiliki akar keagamaan yang mendalam. Berbagai peristiwa dan kerusuhan radikal mengungkapkan bagaimana umumnya agama diselewengkan: agama menjadi kekuatan jahat, dengan konsekuensi global yang potensial ketika tujuan-tujuan telah menghalalkan segala cara.

 Sebelumnya diduga dari masa prasejarah pada keyakinan para nenek moyang Nusantara adalah animisme (pemujaan arwah leluhur) dan dinamisme (pemujaan benda-benda mistis). Adapun kita coba menapak tilas mulai dari kerajaan Kutai. Merupakan salah satu kerajaan tertua di Indonesia yang tercatat dalam sejarah di perkirakan berdiri sekitar abad ke-4 M. Kehidupan masyrakatnya mendapat mendapat pengaruh dari agama Hindu. Hal ini di buktikan erat hubungan antara Raja Mulawarman dan para Bramana yang menjadi pemimpin dalam upacara ritual keagamaan, bersama-sama mensyukuri rahmat dalam menjalani roda pemerintahan. Maka, dibangunlah tempat suci bernama  wapakeswara untuk menghormati dewa-dewi dalam agama Hindu.

Dalam suatu masa yang diduga sebagai masa kejayaannya, disebutkan dalam salah satu prasasti bahwa Raja Mulawarman telah mengadakan upacara korban emas dan telah menghadiahkan sebanyak 20.000 ekor sapi kepada golongan Brahmana. Di sinilah kiranya, karunia agama sebagai keselamatan pada kerajaan Kutai dalam tumbuh dan berkembang. Adapun tulisan dalam salah satu yupa/prasasti peninggalan Kerajaan Kutai, tersebut adalah sebagai berikut:

Sang Maharaja Kudungga, yang mempunyai putra yang masyhur, sang Aswawarman namanya, yang seperti Angsuman ( Dewi Matahari) menumbuhkan keluarga yang sangat mulia. Sang Aswawarman mempunyai tiga putra itu ialah sang Mulawarman, raja yang berperabadan baik, kuat, dan kuasa. Sang Mulawarman telah mengadakan kenduri (selamatan yang dinamakan) emas amat banyak. Untuk peringatan kenduri (selamatan) itulah tugu batu ini didirikan oleh para Brahmana.

Hal itu kemudian berubah drastis menjadi kelumatan, di mana saat Maharaja Dharma Setia menjadi raja terakhir Kerajaan Kutai. Ia terbunuh dalam peperangan melawan Aji Pangeran Anum Panji Mendapa dari Kesultanan Islam Kutai Kartanegara yang ingin memperluas kekuasaannya dalam pengaruh agama Islam. Sebagai catatan, bahwa yang didirikan oleh Raja Kudungga adalah kerajaan Kutai Martadipura. Sedangkan Kutai yang ke-2, beribukota di Kutai Lama (Tanjung Kute), adalah Kutai Kartanegara yang mengalahkan raja terakhir Kutai Martadipura. Kutai Kartanegara inilah pada tahun 1365 M yang disebutkan dalam sastra Jawa, Nagarakertagama. Kutai Kartanegara selanjutnya menjadi kerajaan Islam. Sejarah tahun 1735 M, kerajaan Kutai Kartanegara yang semula rajanya bergelar Pangeran berubah menjadi bergelar Sultan (Sultan Aji Muhammad Idris), dan hingga sekarang disebut Kasultanan Kutai Kartanegara.

Sebagaimana keyakinan agama itu menjadi berbeda, maka para tokoh-tokoh yang menjalankan roda pemerintahan pun berbenturan dalam menjajaki visi-misi kerajaan. Maka, terlahirlah juga suatu wangsa dari pengaruh keagamaan ini seperti Wangsa Sanjaya(Hindu) dan Wangsa Syailendra (Budha). Kedua wangsa ini diduga kuat saling berperanan dalam pasang-surut Kerajaan Kalingga, Medang, dan Sriwijaya. Hingga akhirnya Kerajaan Sriwijaya keluar sebagai pengaruh yang paling kuat, mengantarkannya sebagai salah satu kerajaan terbesar di Nusantara.

Akan tetapi, keberadaan kedua wangsa ini dalam silsilah tiga kerajaan tersebut masih diragukan. Sejarawan seperti Poerbatjaraka dan Boechari percaya bahwa hanya ada satu wangsa, yaitu Syailendra, dan tidak pernah disebutkan Sanjayavamca (Wangsa Sanjaya) dalam prasasti apapun. Sanjaya dan keturunannya dianggap masih masuk dalam Wangsa Sailendra. Mungkin tidak lain, ikwal dari keberadaan dua wangsa ini untuk membedakan antara Wangsa Sanjaya sebagai wangsa yang menganut agama Hindu aliran Siwa dan Wangsa Syailendra yang menganut agama Budha aliran Mahayana. 

Agama sebagai kelumatan pun tidak terhindarkan dalam pasang-surut eksitensi Kerajaan Kalingga dan Medang sebagai bagian dari pengaruh agama Hindu dengan Kerajaan Sriwijaya sebagai bagian dari pengaruh agama Budha. Para penguasa kerajaan-kerajaan ini pun saling membangun perngaruh mereka masing-masing dalam masih adanya beberapa pertalian darah keturunan atau keluarga yang sama pada keyakinan agama yang berbeda. Hingga akhirnya setelah ketiga kerajaan  tersebut runtuh, Airlangga yang merupakan keturunan dari Kerajaan Medang membangun kembali dengan mendirikan Kerajaan Kahuripan yang bercorak Hindu serta membangun kejayaan sebagai Wangsa Isyana.

Menurut Poerbatjaraka, Sanjaya dan keturunan-keturunannya itu ialah raja-raja dari keluarga Syailendra, asli Nusantara yang menganut agama Hindu aliran Siwa. Namun, sejak Panangkaran berpindah agama menjadi penganut Budha Mahayana, raja-raja di Mataram menjadi penganut agama Budha Mahayana juga. Pendapatnya ini didasarkan pada Carita Parahiyangan yang menyebutkan bahwa Rakai Sanjaya menyuruh anaknya, Rakai Panangkaran untuk berpindah agama, karena agama yang dianutnya (aliran Siwa) ditakuti oleh semua orang. Kabar mengenai Rakai Panangkaran yang berpindah agama dari aliran Hindu Siwa menjadi Budha Mahayana juga sesuai dengan isi prasasti Raja Sankhara (koleksi Museum Adam Malik yang kini hilang).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun