Mohon tunggu...
Frankincense
Frankincense Mohon Tunggu... Administrasi - flame of intuition

bukan pujangga yang pandai merangkai kata, hanya ingin menumpahkan inspirasi dengan literasi menguntai pena. Kata dapat memburu-buru kita untuk menyampaikan perasaan dan sensasi yang sebenarnya belum kita rasakan. Tetapi, kata juga bisa menggerakkan kita. Terkadang, kita tidak mengakui kebenaran sebelum mengucapkannya keras-keras. Salam hangat Kompasianers... Blog: franshare.blogspot.com Web: frame.simplesite.com

Selanjutnya

Tutup

Politik

Hikayat Pancasila

5 Agustus 2017   01:54 Diperbarui: 9 Januari 2018   06:59 1460
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

garuda-pancasila-5984b78f8e63fc632c261e73.png
garuda-pancasila-5984b78f8e63fc632c261e73.png
FRANKINCENSE

Sudah hampir dua puluh tahun, negara kita tergerak dalam perjalanan gubahan amanat reformasi. Meruntuhkan ditaktorisasi kekuasaan pada tirani birokrasi, menjadikan sesungguhnya apa yang disebut sebagai kemerdekaan yang berdemokrasi dan bermartabat.Tapi, hingga kini kumandang reformasi masih belum mendapat jawabannya untuk mewujudkan sebagaimana biduk Pancasila mendasari pondasi negara Indonesia.Di mana suara rakyat kini ditumpukan dan diharapkan pada para wakilnya yang terhormat.

Dengan sistemasi reformasi yang lebih lega dibandingkan orde baru yang sempat membungkam suara rakyat, wakil rakyat dan rakyat kini tetap tidak tersambungkan aspirasi pada reformasi. Di mana seharusnya reformasi menjadi keterbukaan pada kerakyatan yang dipimpin oleh kebijaksanaan, dalam permusyawaratan perwakilan. Lalu,apa yang sekiranya kini terbangun dari keruntuhan orde baru menuju reformasi yang demokratif dengan Pancasila?

Pada sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa. Kita masih mendapati bahkan kini terkesan diambisiuskan pada polemik in-toleransi keagamaan. Di mana mayorisasi kepentingan bergerak pada massa yang mayoritas pula dari religiusitas sebagai tameng menghalalkan segala cara. Nilai Bhinneka dicorengkan begitu saja, dari darah-darah mulia yang sudah tertumpah untuk menebus nilai tersebut. Di balik semua ini, reformasi yang dibangun pada sisa-sisa nafas orde baru menjadi kekuasaan yang maha esa. Bagai para awak kapal yang melompat dari kapal lama menuju kapal baru dalam mengkoreh-koreh perubahan sistemasi politik pada era reformasi yang diarunginya.

Ya, di mana pada era sebelumnya sisi ini sebagai penghangatan tirani birokratif dibentengi dwi fungsi militerisasi sebagai progresnya menjalankan manifestasi politik untuk para vampir menyembunyikan taringnya. Memainkan suatu dogma politik kuno zaman kerajaan, bahwa selama ia masih hidup, hanya ialah yang layak dan berkuasa, kini dan sepanjang masa...amin. Semua massa harus mendukung hal itu sebagai kartu representasinya untuk pembangunan bersama.

Kemudian pada era kali ini berbalik sebagai garda terdepan untuk taring itu mencabik dan menghisap lawan politiknya sebagai isu dan problema yang menghambat dan merusak kinerja pembangunan untuk tersimpangkan. Dengan menebar kepongahan yang halus dan berbulan madu di balik krusial mengintervensi pergerakan yang tidak beradab dengan agama sebagai mainan politik untuk tertahklukan segala cara. Beginikah kiranya, sila pertama berhikayat?

pore-scout.blogspot.com
pore-scout.blogspot.com
Pada sila kedua, kemanusiaan yang adil dan beradab. Di mana hal ini pun masih menjadi catatan buram sejarah kemanusiaan, diantaranya pada warisan tiga zaman yaitu: zaman kerajaan, zaman kolonial dan zaman orde baru. Di mana pada zaman kerajaan, wanita dan tahta memang menjadi politik yang kuat hingga tak perduli pertalian darah sekalipun. Sebagaimana seperti generasi pewaris tahta kerajaan Singasari yang terus-menerus tergulingkan tali darah demi sebuah dendam pada jalan kekuasaan yang diperoleh secara tidak etis.

Di zaman kolonial pula menjadi saksi pada kemanusiaan yang terbedil dan berazab. Karena antara penjajah dan yang terjajah, terikrarkan kesenjangan sosial yang luar binasa. Di mana digdaya zaman kerajaan pun tidak menghalau kedatangan era ini dari kekuasaannya. Sehingga, apa daya kekuasaan itu runtuh satu demi satu, hingga tersisa seperti pada kerajaan Mataram yang akhirnya pun terbelah menjadi Kasunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta akibat politik adu domba. Karena sejarah memberi angin segar pada kolonial, bahwa hampir semua riwayat keruntuhan kerajaan di rumpun melayu sebagian besar oleh politik adu domba baik oleh bangsa lain maupun antar bangsanya sendiri.

Hal ini terbukti selama kurang lebih 3,5 abad kolonial bercokol di bumi Nusantara dengan politik devide et empera-nya. Hal itu pula tak beranjak di mana kemerdekaan sudah dikumandangkan sampai orde baru mengambil alih kekuasaan dengan G 30S / PKI sebagai selubung devide et empera-nya. Tiada henti kemanusiaan yang terbedil dan terazab pada penembakan misterius (PETRUS) dan kematian misterius (MATIUS) untuk mengkokohkan tirani-tirani yang terselubung, di mana swasembada pangan di lumbung hanya menjadi kembung. Era reformasi pun akhirnya menguak, suara-suara rakyat yang terbungkam menjadi muak. Hingga masih terkonak mendapati seperti para aktivis HAM (Hak Asasi Manusia) yang terbunuh, proses peradilan yang berkerucut terbalik, berprosesi menikam ke bawah dan tumpul ke atas. Di mana payung hukum hanya untuk kelas atas. Malahan kini jadi mainan tengkulak, mafia-mafia yang selalu ingin melawak. Sesalilah menjadi rakyat dalam garis kemiskinan. Beginikah kiranya, sila kedua berhikayat?

www.rri.co.id
www.rri.co.id
Pada sila ketiga, persatuan Indonesia.Inti yang tidak terbantahkan pada goyahnya persatuan adalah sepatu pemberontakan yang menjejak. Sejarah kelam telah menorehkan, di mana persatuan yang telah di bangun susah payah oleh Mahapatih Gada Mada di bawah payung kerajaan Majapahit harus terkikis oleh pemberontakan dan ketiadaan lagi sosok para pemimpin yang mempertahankan nilai tersebut. Hingga masa kolonial pun bergayung sambut, dengan persatuan yang telah kembali kedaerahan pada kerajaannya masing-masing, dengan jengah... politik devide et empera pun menjadi bibir manis kolonial menjalankan agresi penjajahannya diantara perlawanan pribumi hingga terinvasi oleh dampak perang dunia II. Hingga ada harapan pula, kebangkitan nasional dan sumpah pemuda mencoba mengubah kembali cara pandang perlawanan pada kesatuan yang menyeluruh.

Lahirnya Pancasila pun mencoba menjawab, di mana Indonesia adalah negara kesatuan, Indonesia adalah keberagaman untuk kebersamaan di garis nasib yang sama sebagai suku bangsa yang terjajah. Setidaknya orde lama pun mencoba membangun dari asasnya membentuk suatu negara modern yang berdaulat. Berbagai rintangan dan hambatan dilalui dengan agresi militer Belanda yang tiada henti, yang mirisnya ditengah kegetingan itu...darah daging sendiri masih mencoba merobek persatuan yang dibangun hanya demi ambisius kesempatan dalam kesempitan semata pada suatu pemberontakkan. 

PKI, DI/TII dan segala bentuk ideologis fasis lainnya mencoba menyembelih Garuda Pancasila yang sedang mengepakkan sayapnya untuk terkapar pada revolusi yang ingin mereka gantikan. Orde baru pun mencoba dengan gaya lain, menjadikan Pancasila sebagai sesuatu yang berhasil diselamatkan. Mencoba memberi ruang pikat dukungannya pada Pancasila hingga adanya penataran P4. Tapi pada akhirnya menjadi sebuah kekosongan di balik rezim yang ingin dibangun dalam misteri.

Chemistrinya... kebebasan pers atau kebebasan berpendapat hanya menjadi bagian tabu, hanya mengganggu kekuasaan yang sedang berjalan. Suara rakyat hanya berada pada pengeluk-elukan semata. Persatuan yang dikumandangkan tertampuk pada militansi keamanan dan kolaborasi pembangunan negara yang terkongsi dalam aliansi rezim. Era Reformasi kemudian mencoba memecah kebuntuan, tapi tetap yang ada malah menjadi kehantuan. Di mana kebebasan pers dan berpendapat menjadi ladang hoax yang semakin subur menyembur. Hingga akhirnya intoleransi terdampak mencuat sebagai pemecah persatuan. Beginikah kiranya, sila ketiga berhikayat?

agungdwirahardjo.wordpress.com
agungdwirahardjo.wordpress.com
Pada sila keempat, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan / perwakilan. Hingga masanya raja-raja yang arif dan berbudi akan terpisahkan kenangannya diantara raja-raja yang lalim. Masa kolonial pun menjadi kehausan yang panjang, di mana para pribumi maupun etnis lain yang senasib terjajah kembali mendambakan sosok pemimpin. Sosok yang menjadi tumpuan, perwakilan, pada suara-suara harapan mereka untuk menjadi warga atau masyarakat yang selayaknya. Kebangkitan nasional dan sumpah pemuda pun membangun harapan yang besar pada kemerdekaan.Di mana akhirnya tertampil dan terpilih, Soekarno mengawali kepemimpinan Indonesia sebagai negara. Dengan dedikasinya yang tinggi, beliau dan rekan-rekan seperjuangan di masanya mengenalkan  dan mengikrarkan pada dunia, bahwa Nusantara kini hadir sebagai sebuah negara sendiri yang merdeka dan berdaulat, yaitu Indonesia.

Dalam berbagai rintangan yang dihadapi, beliau tetap mengedepankan kebijaksanaan dalam permusyawaratan / perwakilan. Di mana dalam setiap negosiasi dan konferensi mewakili suara rakyat untuk keberadaan negara Indonesia. Dalam berbagai pembangunan pondasi pemerintahan, beliau mencoba mencari dan menemukan sistem dan tatanan pemerintahan yang tepat didasari sila keempat pancasila hingga akhirya tersungkur oleh rezim orde baru.Sebelum akhirnya, beliau mencoba mempersatukan Irian Barat pada melalui kebijakan Trikoranya disertai Pepera untuk permusyawaratan pada masyarakat Irian Barat.

Orde baru menganulir lain, kerakyatan yang dipimpinnya pada kebijaksanaan yang tertutup. Permusyawaratan / perwakilan dijabarkan pada rezimnya semata, perwakilan rakyat pun tidak sepenuhnya sebagai ruang aspirasi yang bersahaja. 32 tahun lamanya, hikmah dari kebijaksanaan dalam permusyaratan / perwakilan menjadi autisme masyarakat yang tiada berharap lagi pada kebenaran.Sekian lama mereka terhenyak dan terbungkam. Hingga era reformasi mencoba membangun kembali kepemimpinan dalam kebijaksanaan permusyarawaratan / perwakilan, dari masa transisi kepemimpinan B.J Habibie dan Gus Dur hingga pada era Jokowi ini.

Mosi tidak percaya perwakilan rakyat yang bersemayam di orde baru sekian lamanya terpatahkan dan tidak terkontribusi dengan baik. Seolah pada era reformasi kini menjadi ajang balas dendam untuk tidak akur dengan pemerintahan yang selama orde baru mengekangnya, kini mereka yang coba menjadi kekangnya. Pada akhirnya hanya berada pada lingkaran setan, politisasi saling menjatuhkan. Lalu mau di bawa ke mana kerakyatan yang dipimpin oleh kebijaksanaan dalam permusyawaratan / perwakilan?  Beginikah kiranya, sila keempat berhikayat?

www.pinterest.com
www.pinterest.com
Pada sila kelima, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Di mana yang paling berdampak adalah pada masa penjajahan kolonial mengantikan seluruh tatanan keadilan sosial pada masa kerajaan-kerajaan bercorakkan agama atau keyakinan warisan nenek moyang. Pada era ini, setidaknya terasakan dan terjadikan kesenjangan sosial yang luar binasa. Sebagaimana kerajaan yang lalim dan zolim terhadap rakyatnya.Rakyat hanya sebagai alat untuk menuntaskan dan memuaskan sisi kebangsawanan dalam kekuasaan dan kejayaan. Keadilan menjadi batasan yang rapuh dalam mode sosialita priyayi mengekspansi kehidupan masyarakat. Di sinilah hukum kerucut terbalik berkibar dan berkumandang selayaknya. Tajam ke bawah dan tumpul ke atas, seteduhnya payung hukum hanya untuk ke atas. Gimana yang ada tuh.. pada kenyataannya juga. Ibarat kita dalam hujan membawa payung yang melengkungnya keatas, bukan ke bawah. Yang ada kita akan kebasahan, dan air yang tertampung pada lengkungan di atas terasa berat. Jika pada akhirnya, payung itu pun akan jebol jika tidak kuat menahan air yang tertampung...jadi rusak tuh payung.

Lalu apa jadinya guna payung itu yang terbalik? Hanya semakin aneh bin rusak pada fungsi yang tidak sesuai kan? Payung hukum ini hanya menjadi kebasahan bagi rakyat jelata atau korban sebenarnya yang mencoba berharap pada guna payung itu. Payung hukum itu menampung air mata dari atas. Tapi jika rentan dan jebol, imbasnya ke bawah pula yang semakin bertambah apesnya lini bawah. Ibarat sudah jatuh tertimpa tangga pula. Payung hukum itu pada akhirnya hanya menjadi tadah basah yang sah atau tidak sah?

pp-pancasila-06-5984bac126bfc6697551c012.jpg
pp-pancasila-06-5984bac126bfc6697551c012.jpg
Dengan tercetusnya Pancasila, orde lama mencoba memperbaiki keadilan sosial dengan kemerdekaan yang dibangun oleh hikmah Proklamasi dari lumpur pekat penjajahan. Membawa Indonesia pada penentuan nasib sendiri. Bukan atas campur tangan dan aneksasi penjajah lagi. Dengan berbagai perombakan sistem dan kebijakan menuju keadilan sosial pasca kemerdekaan yang tidak mudah untuk dilalui. Berbagai pemberontakan atas nama keadilan sosial pun mencoba menodai keadilan sosial yang dibangun berdasarkan Pancasila. Sekiranya hal itu, ternyata penjajah pun ada dalam lingkup sendiri...yaitu musuh dalam selimut.

Mungkin garis keras sosial masa kolonial masih membekas dalam pada generasi-generasi pribumi yang memaknai kemerdekaan dengan cara yang berbeda. Di mana egosentris dan ambisius meraja rela tak terbendung tidak terpuaskan dengan kemerdekaan yang diraih dan dibangun oleh jalur Soekarno-Hatta berujung pada pemberontakan. Ideologi Pancasila seolah masih belum menyatukan hati mereka membangun Indonesia pada keadilan sosial. Hal ini seolah terulang kembali dari masa Majapahit, di mana kesatuan kuat telah teruntuhkan oleh kepentingan kekuasaan pada alasan keadilan sosial yang tidak beradab. Pada akhirnya, semuanya hanya menjadi sembab. Di mana sudah tidak ada lagi keadilan sosial yang kuat yang sudah terbangun dan tersegani pada tangan dingin Majapahit. Hingga kolonial menerjang pun menjadi mati, keadilan sosial diserahkan begitu saja...hanya untuk kekuasaan...

Orde baru pun tak lebih meneruskan hal itu dengan cara yang modern ibarat tukang sulap. Dalam sekejap, ilmu sulapnya menjadikan ilusi G30S/PKI sebagai pijakan mereka dalam mensosialisasi keadilan sosial yang terselubung. Pancasila sebagai kekosongan belaka untuk menarik simpati. Penataran P4 pun tak lebih dari kehampaan yang tidak beruang jelas dan berbawa-laksana Pancasila sebagai pengamalan yang sesungguhnya. Yang kaya tambah kaya, yang miskin tambah miskin. Yang salah jadi benar, yang benar jadi salah.Yang jelata yang terpenjara, yang berstrata yang bersahaja. Era Reformasi pun masih belum terhapus noda itu, ibarat noda tinta permanen pada pakaian... meski dibayclin atau pakai pemutih sejenisnya pun tidak hilang. Begitu pula budaya KKN (Korupsi Kolusi Nepotisme) yang sebagaimana sudah mengakar kuat dan meregenerasi tunas-tunasnya bak cendawan di musim hujan. Beginikah kira, sila kelima berhikayat?

garuda-pancasila-poster-color-5984b9df8342a56cef1979d2.jpg
garuda-pancasila-poster-color-5984b9df8342a56cef1979d2.jpg
Sungguh biadab...demokrasi ini benar-benar kebablasan. Entah warisan kolonial atau orde baru, menjadikan agama sebagai sebuah intervensi politik pada Ketuhanan siapa itu didasari? Seolah-olah menjadi suatu kebenaran yang tidak terbantahkan. Cara yang sangat krusial dalam memecah persatuan bangsa dan negara. Siluet mana yang tidak tertawa renyah, membawa hal ini sebagai permainan politik untuk dampak segala cara, untuk halal segala kuasa. Mereka tidak lebih dari teroris itu sendiri, melucuti kebhinnekaan yang telah dibangun dan dilandaskan sebagai maskapai Pancasila menerbangkan Indonesia sebagai suatu negara yang berasas dalam keberagaman. Di mana pada era Soekarno, dunia ternganga oleh keberagaman Nusantara yang tersatukan di bawah bendera revolusi gigih melawan penjajahan.Tapi akhirnya tertelan Orde Baru yang mencekik etnis dan agama untuk berbagai kepentingan rezimnya.

Lalu era Reformasi ini ingin kembali membuka luka lama? Yang telah coba diobati pada masa transisi. Bukankah keberagaman antar umat beragama, suku, etnis dan sebagainya menjadi nilai lebih pada anugerah yang berlimpah. Yang mana selama ini pun membuat terpana mata dunia mendapatinya dalam negara Indonesia sebagai negara tujuan penelitian maupun wisata dari hal ini. Bukankah seharusnya Indonesia menjadi contoh yang baik dalam hal ini. Masa hanya karena untuk kepentingan pribadi atau golongan semata, ketuhanan yang maha esa ini menjadi kekuasaan yang maha esa? Dengan begitu sampai terhancurkan sebuah negara sebagai korbannya.Ini zaman reformasi kan, bukan zaman kerajaan abad pertengahan lagi.Bukankah sesuai bunyinya "Ketuhanan yang maha esa" bahwa agama itu urusan manusia dengan sang penciptanya (Tuhan), bukan urusan manusia dengan politiknya kan?

lirik-lagu-garuda-pancasila-dan-not-angka-serta-balok-5984ba4a88575a6af31b3602.jpg
lirik-lagu-garuda-pancasila-dan-not-angka-serta-balok-5984ba4a88575a6af31b3602.jpg
Bagaimana terciptanya manusia yang adil dan beradab, jika pada agama atau keyakinan saja malah menjadi mainan politik yang rasis. Dampaknya menjadi pada intoleransi yang berkembang dan memudarkan rasa solidaritas dan persatuan sebagai sesama warga negara.Apa di balik semua ini yang dijadikan tujuan? Lagi-lagi dan lagi-lagi...semaunya dan semalunya apa kepentingan pribadi atau golongan menggerogoti kemanusiaan dengan membedil dan mengazab.Apakah itu manusia, yang adil dan beradab? Jika pada akhirnya menghalalkan segala cara demi keberlansungan ambisi pribadi atau golongan di bawah kepentingan bernegara. Kita hanya kembali dihadapkan pada pemandangan yang indah Indonesia sebagai negara Vampir...menghisap bangsanya sendiri. Paling tidak sudah dapat dipisahkan bukan, antara kepentingan pribadi atau golongan dalam berbangsa dan bernegara...bukan berpolitika jaya semata.

Nah, sejatinya pada keinginan-keinginan luhur inilah kita temukan. Bahwa seharusnya Indonesia saat ini pada tingkat lanjut sebagai negara berkembang yang sudah tidak lagi diributkan pada masalah dalam negeri semata. Di hadapan kita ada berbagai peranan yang harus diperhatikan seperti Masyrakat Ekonomi Asean (MEA) serta globalisasi dunia yang semakin berkembang pesat. Yang ada saat ini seharusnya adalah persatuan dan kemajuan bersama sebagai pemberdayaan negara, bukan pemberdayaan KKN pada pribadi dan golongan dengan memutarkan lingkaran setan. Ternyata malah jadi begitu persatuannya, kali ini negara dan rakyat kembali menjadi alat...untuk persatuan pribadi atau golongan pada kepuasaan tiada henti yang bejat. Enak, tapi sakitnya...musuh dalam selimut negara ini adalah "Vampir". Negara ini tertinggal oleh hisapan Vampir yang mematikan rakyat dan negaranya.   

Hedonisme seolah kini menjadi akil balik reformasi yang terpuruk, mata uang yang ambruk pun tidak jadi kepala tergaruk untuk Koruptor mengeruk. Apa sih yang ga dikorupsi di Indonesia ini? endapan orde baru pun masih terfasih untuk menyimpangkan kepentingan. Budaya lama yang masih menjadi hama, semua hal akan menjadi biomanya KKN (Korupsi Kolusi Nepotisme) dalam bersimbiosis menjadi "Korupsi Karya Nyata" (KKN). Dambaan suara rakyat yang dihentakkan melalui reformasi pun menjadi tersedak kembali...sesak dan terisak. Perwakilannya pun sudah kembali berkali-kali melucuti suara rakyat dari pemilu yang tersirat dan tersurat. Partai politik pun bukan lagi menjadi kendaraan yang baik bagi para politikus. Mereka menjadi rakus dan gagal fokus, aspirasi rakyat pada akhirnya hanya terlewat menjadi hikayat.Independensi akhir-akhir ini pun menjadi jalur alternatif pilihan rakyat mendapati sosok pimpinan dan wakil rakyat yang bermartabat dengan politik yang sehat.

pancasila-sakti-5984bbdb8e63fc632c261e75.jpg
pancasila-sakti-5984bbdb8e63fc632c261e75.jpg
Dalam pemerintahan pun semakin diuji, untuk bertaji menjauhi dan melawan KKN (Korupsi Kolusi Nepotisme) agar tidak jatuh ke lubang yang sama. Maka kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawatan / perwakilan, setidaknya terutama bersih dari KKN (Korupsi Kolusi Nepotisme) dengan KKN sebagai "Kredibelitas Kerja Nyata" untuk negara yang lebih melaju dan bertaju merangsek pada tahapan reformasi yang berkontribusi dalam globalisasi. Di mana daerah-daerah di perbatasan maupun dipelosok pun masih belum didapatkan keadilan sosial untuk kesejahteraan mereka sebagai warga tersatukan dalam pembangunan nasional.

Maka, disusunlah keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Karena di dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang kuat. Jika KKN (Korupsi Kolusi Nepotisme) yang selama ini sebagai penyakit menggerogoti tubuh Indonesia termusnahkan, paling tidak Indonesia bisa selangkah lebih hebat menuju negara maju. Contoh saja negara Jepang dan Jerman, setelah keterpurukannya dalam kekalahan perang dunia II serta meninggalkan budaya lama mereka pada imperialisasi bangsanya sendiri di masa lalu. Dengan fokus pada pertumbuhan dan pembangunan negaranya, kini mereka menjelma menjadi Macan Asia dan Eropa yang diperhitungkan dunia.Bahkan komsumtif impor negara Indonesia banyak sebagian dari hasil ketekunan mereka membangun teknologi, bukan KKN (Korupsi Kolusi Nepotisme) yang semakin terbangun oleh ketekunan para koruptor hingga saat ini.Dan pondasi yang diperlukan bangsa ini adalah kreatifitas dan inovatif dalam membangun produktifitas masa depan bangsa. Maka, era Reformasi ini seharusnya memberi ruang lebih untuk mereka-mereka yang seharus berpontensi tidak lagi terbatasi oleh budaya lama...membuli dan mengkolusi. Sungguh suatu ironisnya bangsa Indonesia selama ini adalah mematikan minoritas terperdaya diantara  mayoritas terdigdaya. Di mana mayoritas yang ada belum tentu semuanya memiliki kelebihan ataupun pontensi dibandingkan minoritas yang lebih potensial, jujur dan tekun. Potensi sumber daya manusia Indonesia selama ini masih terperdaya dengan budaya lama kolonial yang menjajah dan mengintimidasi. Sungguh sangat disayangkan vampir-vampir seperti ini hanya menggelapkan Indonesia pada sumber daya manusia yang terkontaminasi dan mati.

5sila-5984bdae4d11b7584270e105.jpg
5sila-5984bdae4d11b7584270e105.jpg
"Binneka Tunggal Ika" bukan sekedar hiasan pita yang dicengkram, tapi sebuah amanah. Diwariskan dari pemikiran era Majapahit mewujudkan Nusantara melalui sumpah palapanya, di mana berusaha diwujudkan kembali melalui semangat orde lama menyematkannya sebagai semboyan tekad bangsa. Karena Indonesia ada dari persatuan keberanekaragaman dalam nasib yang sama menghalau penjajah. Saling mengisi satu sama lain tiada lebih mengimbangi kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Bukan lagi untuk alasan untuk saling menjatuhkan, tapi saling membangkitkan dan melangkahkan bersama-sama... Indonesia dalam cipta, karya dan karsa yang unik dan menarik.Untuk Indonesia yang lebih baik, bukan saling mencabik dan mencekik.Begitulah kiranya, kelima sila bertali erat.

Dirgahayu Indonesia...Tujuh puluh dua tahun masih terlamun...

maxresdefault-1-5984bdf34d11b7583c4a89e2.jpg
maxresdefault-1-5984bdf34d11b7583c4a89e2.jpg
screenshot-2016-06-01-11-07-54-1-5984be9d8342a57b286d97b2.jpg
screenshot-2016-06-01-11-07-54-1-5984be9d8342a57b286d97b2.jpg

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun