Ternyata kami sedang menuju ke persimpangan tiga axis/sumbu, yang menyimbolkan hubungan antara tiga kenyataan dalam kehidupan bangsa Yahudi di Jerman: Axis of Continuity, Axis of Emigration, Axis of the Holocaust. Ketiga sumbu itu menggambarkan keberlangsungan hidup bangsa Yahudi dalam sejarah Jerman, emigrasi dari Jerman, dan pembantaian Holocaust itu sendiri.
[caption id="" align="aligncenter" width="624" caption="Axis"]
Semua bagian museum itu kami jelajahi. The Garden of Exile tak lupa disinggahi. Kumpulan tiang beton besar dengan pepohonan oak Rusia di atasnya. Sulit bagi kami untuk berdiri dengan tegak karena lantainya sengaja dibuat miring 12°. Itu adalah gambaran instabilitas dan disorientasi bangsa Yahudi saat dalam pelarian menghindari kejaran tentara NAZI. Namun pepohonan di atasnya menggambarkan bahwa harapan itu tetap nyata, menaungi mereka sekalipun dalam pelarian.
[caption id="" align="aligncenter" width="657" caption="The Garden of Exile"]
Sendirian aku berjalan secara perlahan menapaki lempengan metal itu. Suara dentingan antar lempeng terdengar begitu keras. Kesunyian dan kekosongan tiba-tiba pecah oleh dentingan metal bagaikan menusuk jiwa yang perih. Kupalingkan kepalaku dan menatap ke arah Dhani dan Zon. Mata mereka tertutup seolah merasakan teriakan orang-orang Yahudi yang ditumpukkan di dalam suatu ruangan tertutup yang menyeramkan dan kemudian meninggal akibat gas beracun yang dimasukkan oleh tentara dan dokter Nazi. Aku semakin bergidik. Kurasakan bulu kudukku merinding dan jantungku berdegup kencang. Aku yakin Dhani dan Zon juga merasakan sensasi yang sama.
Kuteruskan langkah kakiku dan suara dentingan metal itu semakin keras bersahut-sahutan. Tak lama kemudian, Dhani dan Zon membuka mata mereka. Mereka melihatku perlahan-lahan mulai menghilang ditelan kegelapan di ujung ruangan itu. Suara dentingan metal sayup-sayup juga mulai menghilang. Suasana tiba-tiba hening kembali. Di saat itulah mereka merasa seolah jiwa-jiwa orang Yahudi yang tersiksa itu telah kembali kepada-Nya, meninggalkan raga yang kembali menjadi debu dan tanah.
Perlahan, airmata mulai menitik di pelupuk mata Dhani dan Zon. Sayup-sayup bibirnya menggumamkan lirik lagu Air Mata, salah satu lagu karya Dhani yang monumental itu. Zon mengikuti serasa bagian dari choir bagi sang penyanyi utama.
Menangislah..bila harus menangis, karena kita semua manusia.... Manusia bisa terluka, manusia pasti menangis, dan manusia pun bisa mengambil hikmah..[menangislah]
Senja menjelang, kami melangkah keluar dari kompleks bangunan Jewish Museum dengan bibir terkatup. Tiada kata yang terucap. Penderitaan bangsa Yahudi dalam peristiwa Holocaust itu begitu dalam kami rasakan. Trauma begitu mendalam atas kekejaman tentara NAZI itu tidak bisa kami lupakan begitu saja.
Architecture 12 of 23 Daniel Libeskind Jewish Museum Berlin
Kembali ke studio musik dirinya, Dhani menatap seragam SS Himmler yang tadi hendak dikenakannya. Seketika itu pula dirinya bergidik menatapnya. Secara refleks seragam itu terjatuh dari tangannya. Zon, yang melihat kejadian itu, memungut seragam itu dan menyarankan kepada Dhani supaya membuang atau membakarnya supaya trauma yang mereka rasakan  tadi bisa segera hilang. Dhani pun mengangguk setuju.