Mohon tunggu...
Franky Simanjuntak
Franky Simanjuntak Mohon Tunggu... -

Love architecture and photography\r\n\r\nfrankiecavatina.wix.com/cavatinastudio

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Dhani, Queen, dan Trauma

27 Juni 2014   22:21 Diperbarui: 18 Juni 2015   08:34 627
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ternyata kami sedang menuju ke persimpangan tiga axis/sumbu, yang menyimbolkan hubungan antara tiga kenyataan dalam kehidupan bangsa Yahudi di Jerman: Axis of Continuity, Axis of Emigration, Axis of the Holocaust. Ketiga sumbu itu menggambarkan keberlangsungan hidup bangsa Yahudi dalam sejarah Jerman, emigrasi dari Jerman, dan pembantaian Holocaust itu sendiri.

[caption id="" align="aligncenter" width="624" caption="Axis"]

[/caption]

Semua bagian museum itu kami jelajahi. The Garden of Exile tak lupa disinggahi. Kumpulan tiang beton besar dengan pepohonan oak Rusia di atasnya. Sulit bagi kami untuk berdiri dengan tegak karena lantainya sengaja dibuat miring 12°. Itu adalah gambaran instabilitas dan disorientasi bangsa Yahudi saat dalam pelarian menghindari kejaran tentara NAZI. Namun pepohonan di atasnya menggambarkan bahwa harapan itu tetap nyata, menaungi mereka sekalipun dalam pelarian.

[caption id="" align="aligncenter" width="657" caption="The Garden of Exile"]

[/caption] Dan akhirnya, tibalah kami di suatu ruangan yang disebut The Void of Memory. Disinilah sensasi puncak penderitaan bangsa Yahudi itu benar-benar kami rasakan. Terutama Dhani, karena darah Yahudi mengalir di dalam tubuhnya melalui kakeknya yang bernama Jan Pieter Friederich Kohler. [caption id="" align="alignright" width="293" caption="The Void of Memory"]
The Void of Memory
The Void of Memory
[/caption] Di depan kami berdiri dua tembok gelap yang sangat tinggi dengan semburat cahaya temaram masuk melalui skylight di atasnya. Di antara kedua dinding terlihat  instalasi lempengan metal karya seorang seniman Israel, Menashe Kadishman, yang berserakan dan bertumpukan di lantai. Lempengan itu berbentuk menyerupai emoticon wajah manusia dengan ekspresi mulut terbuka seperti sedang berteriak menahan penderitaan yang sangat luar biasa. Di ujung sana, terlihat suatu ruang yang sangat gelap seperti sedang menanti jiwa-jiwa yang lepas dari raga.

Sendirian aku berjalan secara perlahan menapaki lempengan metal itu. Suara dentingan antar lempeng terdengar begitu keras. Kesunyian dan kekosongan tiba-tiba pecah oleh dentingan metal bagaikan menusuk jiwa yang perih. Kupalingkan kepalaku dan menatap ke arah Dhani dan Zon. Mata mereka tertutup seolah merasakan teriakan orang-orang Yahudi yang ditumpukkan di dalam suatu ruangan tertutup yang menyeramkan dan kemudian meninggal akibat gas beracun yang dimasukkan oleh tentara dan dokter Nazi. Aku semakin bergidik. Kurasakan bulu kudukku merinding dan jantungku berdegup kencang. Aku yakin Dhani dan Zon juga merasakan sensasi yang sama.

Kuteruskan langkah kakiku dan suara dentingan metal itu semakin keras bersahut-sahutan. Tak lama kemudian, Dhani dan Zon membuka mata mereka. Mereka melihatku perlahan-lahan mulai menghilang ditelan kegelapan di ujung ruangan itu. Suara dentingan metal sayup-sayup juga mulai menghilang. Suasana tiba-tiba hening kembali. Di saat itulah mereka merasa seolah jiwa-jiwa orang Yahudi yang tersiksa itu telah kembali kepada-Nya, meninggalkan raga yang kembali menjadi debu dan tanah.

Perlahan, airmata mulai menitik di pelupuk mata Dhani dan Zon. Sayup-sayup bibirnya menggumamkan lirik lagu Air Mata, salah satu lagu karya Dhani yang monumental itu. Zon mengikuti serasa bagian dari choir bagi sang penyanyi utama.

Menangislah..bila harus menangis, karena kita semua manusia.... Manusia bisa terluka, manusia pasti menangis, dan manusia pun bisa mengambil hikmah..[menangislah]

Senja menjelang, kami melangkah keluar dari kompleks bangunan Jewish Museum dengan bibir terkatup. Tiada kata yang terucap. Penderitaan bangsa Yahudi dalam peristiwa Holocaust itu begitu dalam kami rasakan. Trauma begitu mendalam atas kekejaman tentara NAZI itu tidak bisa kami lupakan begitu saja.

Architecture 12 of 23 Daniel Libeskind Jewish Museum Berlin

Kembali ke studio musik dirinya, Dhani menatap seragam SS Himmler yang tadi hendak dikenakannya. Seketika itu pula dirinya bergidik menatapnya. Secara refleks seragam itu terjatuh dari tangannya. Zon, yang melihat kejadian itu, memungut seragam itu dan menyarankan kepada Dhani supaya membuang atau membakarnya supaya trauma yang mereka rasakan  tadi bisa segera hilang. Dhani pun mengangguk setuju.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun