JALAN BUNTU SISTEM PEMILU
Sistem pemilu di Indonesia sekarang sedang menjadi berbincangan hangat pada kalangan masyarakat. Sebagian orang memilih sistem pemilu proporsional tertutup dan sebagian orang mempunyai alasan mendukung sistem pemilu proporsional terbuka. Kedua sistem pemilu tersebut memiliki kelebihan dan kelemahannya masing-masing.Â
Pemilu dengan sistem proporsional terbuka menyebabkan gesekan antar masyarakat tinggi. Proporsional terbuka cenderung membentuk watak kader partai memiliki loyalitas yang rendah, karena kader partai yang diusung mengedepankan popularitas semata. Hal ini menyebabkan seringkali kader tersebut merasa memiliki massa dan mudah berpindah-pindah partai politik tanpa pikir panjang.Â
Tetapi hal ini juga tidak dapat sepenuhnya disalahkan kepada kader partai, karena terkadang ada partai yang merasa dirinya sebagai organisasi pengumpul suara sehingga dipilihlah orang yang memiliki popularitas yang tinggi, hal ini sebetulnya bagus untuk partai tapi dikhawatirkan akan menjadi boomerang untuk partai politik karena apakah kader tersebut sejalan ideologi nya dengan partai yang diwakili atau tidak.
Memang tidak dapat dipungkiri jika dilaksanakan sistem proporsional tertutup maka yang sebelumnya banyak partisipasi peserta pemilu akan menurun karena akan banyak caleg yang mengundurkan diri, sehingga dampaknya pun partisipasi pemilih juga akan menurun. Mengapa hal ini kemungkinan bisa terjadi karena rakyat merasa tidak terwakilkan secara konstitusional melalui dpr dengan adanya control dari partai politik tersebut.Â
Dengan adanya control dari partai politik maka akan sewenang-wenang mengatur kader wakil rakyat yang akan mewakili di DPR karena bisa menentukan nomor urut pertama. Maka ada sepenggal lirik lagu yang menggambarkan hal tersebut dari Iwan Fals "Sodara dipilih bukan dilotre, maka kami tak kenal siapa sodara". Argumentasi penggunaan sistem proporsional terbuka selalu memiliki counter jawaban dari pendukung sistem proporsional tertutup.Â
Contoh mengenai golput orang akan berprasangka jika menggunakan proporsional tertutup maka caleg yang memiliki nomor urut akhir tidak akan kampanye dan akan berdampak meningkatnya golput (suara tidak sah). Tetapi data menerangkan sebaliknya tahun 2019 dan 2009 golput memiliki presentase 14% dan 11% sedangkan pada proporsional tertutup memiliki presentasi perkiraan sekitar 3,4% tahun 1999 dan 8% tahun 2004. Maka jalan buntu lah kata yang tepat karena masyarakat dilema akan pilihan kedua sistem pemilu tersebut.
Terlepas dari memilih sistem pemilu proporsional terbuka atau proporsional tertutup saya menyimpulkan dan memberikan saran tentang isu sistem pemilu ini adalah dengan cara negara harus bisa memfasilitasi para peserta pemilu untuk beradu gagasan atau pertarungan ide-ide bagaimana membawa bangsa Indonesia yang baik menjadi lebih baik lagi.Â
Sehingga kita dapat memindahkan pertarungan peserta pemilu yang semula beradu popularitas menjadi adu gagasan atau ide. Maka kemungkinan ongkos politik akan menurun. Karena balik lagi sistem pemilu adalah karya manusia dan pastinya sistem pemilu selalu memiliki cacat dan tidak ada yang sempurna.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H