Mohon tunggu...
Franka Semin
Franka Semin Mohon Tunggu... -

Pengamat fashion, part-time writer, full-time dreamer living in Istanbul

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

FASHION: MENIRU DAN DITIRU

22 Maret 2014   10:30 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:38 572
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Ih, desainer ini niru bajunya si ini..." "Bukan terinspirasi namanya, tapi jiplak..."

Kalimat-kalimat ini belakangan sering saya baca di social media. Mereka mengomentari desainer tertentu yang karyanya dianggap menyerupai karya desainer luar negeri. Saya melihat dan membandingkan. Sebuah pertanyaan terlintas di benak saya, "Apakah ada karya yang benar-benar original?"


Sebelum terjun ke dunia fashion, saya beruntung telah mencoba berbagai bidang seni yang berbeda-beda. Saya mempunyai ayah- seorang seniman yang bisa membuat apa saja dan memiliki ide-ide berani pada masanya. Ayah saya telah mengenalkan saya ke dunia film dan musik sejak saya masih belajar berjalan.Saya ingat, di rumah kami dulu sangat luas- ayah membangun sebuah studio film. Di sana, ia membuat maket-maket luar angkasa, sebuah pesawat alien seukuran manusia, lengkap dengan planet-planet di atasnya. Semua dikerjakan sangat sempurna oleh ayah saya yang sangat perfeksionis.  Saya yang waktu itu masih duduk di kelas 3 SD bertanya, "Ini apa pa?". Ayah saya menjawab, "Ini Starwars versi Indonesia nak. Kita juga bisa bikin film seperti itu, dengan gaya Indonesia".

Lain waktu, ketika saya menggandrungi serial jagoan Jepang seperti Voltus dan Gaban, Ayah saya membuat kostum dan set yang sejenis. Ia bilang, "Ini jagoannya Indonesia... kekuatan dan namanya terinspirasi dari wayang,". Saya memperhatikan, apapun yang ayah saya buat, tidak sama persis dari inspiratornya. Ia memodifikasi dan menambahkan hal-hal yang sebelumnya tidak ada, menjadi sebuah karya yang baru. Di dalam proses penciptaannya, ayah saya melakukan riset, membaca banyak buku, melakukan berbagai eksperimen sehingga akhirnya ia mendapatkan hasil akhir yang sempurna. Karya ayah berangkat dari keinginan menantang dirinya untuk membuat sesuatu seperti inspiratornya, namun berakhir dengan karya yang penuh sentuhan gayanya.


  • MENDAPATKAN GROOVE DI MUSIK


Di dunia musik, saya memiliki pengalaman yang lain lagi. Ketika saya masih duduk di SMA, saya dan saudara-saudara saya senang sekali membuat lagu. Suatu ketika, kakak saya mendapatkan kontrak album di sebuah perusahaan rekaman ternama.  Bos perusahaan itu berkata, "Saya ingin membentuk kamu seperti M2M (sebuah grup musik asal Swedia),". Ia pun lalu memasangkan kakak saya dengan seorang produser terkenal untuk mengaransemen musik-musiknya. Di rumah sang produser, kami ditantang untuk membuat lagu baru dari musik M2M. Ia memasukan data musik M2M di komputernya, lalu membuat perubahan sedikit demi sedikit. Dari basic nada itu, kami pun diminta untuk membuat lagu. Separuh hati saya tidak rela karena saya merasa proses ini proses menjiplak, namun setelah menjalani proses itu saya baru menyadari: lagu yang kami buat benar-benar beda dari lagu yang asli. "Kita menggunakan musik M2M untuk mendapatkan groove-nya, feel-nya... Bukan untuk meniru," ujar si produser menenangkan kami. Taktik si produser telah membuatnya berhasil membuat banyak penyanyi menelurkan berbagai hits. Dalam hati saya bergumam, "Oh, ternyata ini rahasia dapurnya,"


Topik ini juga saya alami di dunia animasi dan komik. Di majalah anak tempat saya bekerja dulu, saya kebagian mengulik tentang animasi dan komik. Saat itu yang menjadi hits adalah animasi dan komik Jepang. Saya melihat betapa animo masyarakat sangatlah besar dan pasar (baik toko buku maupun televisi) dibanjiri oleh karya negeri Sakura ini. Amerika yang mulai merasa tersingkir, lalu membuat penyesuaian. Para animator dan komikus pun mulai menciptakan karya baru dengan memakai ciri khas Jepang; karakternya bermata besar dengan garis coretan yang serupa, salah satu contohnya adalah Avatar: The Last Airbender keluaran Nickelodeon. Begitu juga dengan Indonesia. Ketika komikus Indonesia "memaksakan" komik gaya Indonesia untuk diterima pasar yang sedang gandrung gaya Jepang, hasilnya adalah negatif. Namun ketika sebuah penerbit komik lokal berusaha memasarkan komik Indonesia dengan goresan bergaya komik Jepang, komik kita langsung diterima pasar dengan baik.


  • DARI RUNWAY TURUN KE PASAR


Pemberhentian terakhir saya yaitu dunia fashion juga membuat saya semakin memahami proses tiru-meniru ini. Saat saya menjadi jurnalis fashion, saya hampir tidak pernah absen mengamati fashion show lokal dan luar negeri. Kesimpulan yang saya dapat adalah tidak ada karya yang benar-benar original. Semua saling mempengaruhi satu sama lain.
Di dalam negeri, desainer menjadi penggerak pasar di bawahnya. Di saat runway memamerkan busana terbaru seorang desainer dan foto-fotonya dimuat oleh media, kurang dari satu minggu kemudian karya mereka langsung ditiru oleh para pengusaha Tanah Abang. "Saya lihat fotonya, saya rubah bagian ini dan itu, langsung jadi karya baru," cerita seorang pedagang Tanah Abang yang memiliki omzet Rp.80 juta/bulan. Coba juga perhatikan lagi betapa banyak brand-brand internasional sekalipun yang menerjemahkan tren runway dunia menjadi gaya yang lebih "wearable dan saleable".

Lalu apakah mereka yang saya sebutkan di atas adalah para peniru?
Proses memahami pasar lalu membuat sesuatu yang pasar sukai dengan olahan yang berbeda adalah hal yang jamak terjadi di dunia seni manapun. Semua orang pasti pernah mengalami fase "meniru" ini dalam hidupnya. Layaknya bayi, kita mengamati dan meniru pendahulu dan kemudian belajar melakukan sendiri.
Sah-sah saja melakukan hal ini asalkan ketika melakukannya, kita mengolah lagi semua dengan seksama, memperbaiki karya sebelumnya sehingga bisa menghasilkan sesuatu yang benar-benar berbeda. Bahkan lebih baik dari sang inspiratornya.
Sesungguhnya para penjiplak yang benar-benar menjiplak pun tidak ragu menyebut karya mereka tiruan, seperti para penjual tas branded KW atau replika yang mengaku bahwa tasnya bukan tas asli. Karena yang mereka berusaha lakukan adalah "membuat segala detil menjadi persis sama dengan yang asli tanpa perbedaan sedikitpun,". Tidak ada proses lain, selain meng-copy. Hal ini lah yang membuat aksi mereka menjadi illegal. Sama illegalnya ketika seseorang mengaku-aku karya yang bukan karyanya tanpa sepengetahuan sang kreator (seperti yang saya tulis di artikel sebelumnya). Karena "proses", sekecil apapun itu adalah "proses"; yang harus dihargai dan diapresiasi.

Saya tidak berkata bahwa saya mendukung proses  ini, hanya saja sesungguhnya bagi kita yang hidup di era modern ini, tidak ada karya yang benar-benar original.

Franka SoeriaNatanegara Semin
Pengamat Fashion berdomisili di Turki

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun