Mohon tunggu...
Frando Nainggolan
Frando Nainggolan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Berkarya Tanpa Batas

Semakin Keras Kamu Bekerja Untuk Sesuatu, Maka Semakin Besar Pula Perasaanmu saat Mencapainya.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Upaya Berteologi Secara Kontekstual dalam Keberagaman Budaya dan Agama

20 Maret 2021   10:38 Diperbarui: 20 Maret 2021   10:43 1492
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

            Istilah "kontekstualisasi" dimunculkan dan dikembangkan secara resmi oleh Theological Education Fund (TEF) pada tahun 1972. TEF mendapatkan mandat dari Dewan Gereja Dunia (DGD) untuk meningkatkan jenis pendidikan teologi di Dunia.  Latar belakangnya ialah karena ketidak-puasan terhadap model-model pendidikan teologis yang tradisional dan ortodoks yang dianggap kurang relevan dengan konteks masa kini. Selain itu, jarak antara teks kuno dan konteks modern yang terlalu jauh sehingga menyebabkan kekhawatiran terhadap relevansi Alkitab (Hesselgrave, dkk: 1996, 48).

            Pergumulan mengenai istilah "kontekstualisasi" terus berlangsung. Misalnya para kaum liberal mengusulkan istilah  kontekstualisasi itu dengan istilah "context-indigenization" yang artinya "pempribumian konteks". Akan tetapi, kaum evangelical menerima istilah "kontekstualisasi" namun dengan pengartian ulang. Kaum ini juga menekankan bahwa penting menekankan istilah "Alkitab menafsir Alkitab" yakni mengizinkan Alkitab berbicara dari dalam konteksnya sendiri, menilai dan menghakimi mereka serta kebudayaannya.

Kerumitan dalam perumusan ini juga menyebabkan beberapa orang lebih memilih istilah "dekontekstualisasi" yakni upaya untuk membebaskan diri dari bias penafsiran yang timbul dari kebudayaan, sejauh hal itu mungkin, sebelum menyesuaikannya pada konteks kebudayaan lain. Hingga akhirnya, perdebatan mengenai istilah tersebut tidak lagi dilakukan sebab belum ada definisi kata yang dapat diterima secara umum.

Hal yang terpenting ialah mengenal dan memahami makna dan metodenya dengan benar agar dapat menjadi autentik dengan Alkitab, bukan palsu ataupun jatuh kepada liberalisme. Untuk itu, adapun yang menjadi ciri-ciri kontekstualisasi yang bersifat autentik ialah: Kontekstualisasi dalam Misi,  Kontekstualisasi dalam Pendekatan Teologi,  Kontekstualisasi dalam Metode Pendidikan, dan Kontekstualisasi dalam Struktur  (Hesselgrave, dkk: 1996, 52).

Upaya-upaya Kontekstualisasi Teologi dalam Konteks Kehidupan.

Upaya kontekstualisasi merupakan bagian yang sangat dibutuhkan dalam berteologi yakni agar iman dapat dimengerti, diterima, dan dihayati sesuai dengan konteks penerimanya. Hal ini dikarenakan Alkitab ditulis pada suatu konteks dan kondisi tertentu (Yudaisme-Helenis) yang kemudian dibaca oleh manusia pada masa kini yang tentu memiliki pola pikir, sistem, dan kebudayaan yang berbeda.

Bahasa Alkitab yang ditulis pada zamannya sulit dipahami pada masa kini sehingga sering menyebabkan kurangnya relevansi, kekosongan, dan jauh dari kehidupan pembaca. Untuk itu, bahasa Alkitab perlu "dibahasakan dan diterjemahkan" kembali tanpa harus merubah esensi/ pesan pada konteks penerimanya. Salah satunya ialah bahwa teologi harus mampu menghadirkan "Allah yang dekat" dengan kehidupan pembaca sehingga pembaca mampu menghayati imannya dengan maksimal. Dengan demikian, teologi kontekstual juga menaruh ruang kepada kearifan lokal sebagai karya Allah. Salah satunya ialah dengan teologi yang bersifat transposisi, atau dikenal dengan istilah Teologi Transposisional (Song,: 2007, 7).

Teologi transposisional ialah usaha untuk menghadirkan dan memperoleh pemaknaan dari suatu konteks lain ke dalam konteks kita sehingga tercipta pemaknaan dan hubungan yang dalam, melampaui batasan kebudayaan, agama, dan sebagainya. Tujuannya ialah kita dapat mengerti teologi yang dibangun dalam suatu konteks ke dalam bahasa dan pola pikir kita.

Transposisi tersebut dapat dimengerti sebagai pergeseran ruang dan waktu dalam hal perwujudan serta sebagai upaya penerjemahan (komunikasi). Teologi ini menekankan sifat dan daya komunikatif sehingga dapat dimengerti dari berbagai latar belakang. Teologi ini menjadi upaya mendekatkan diri kepada realita dan konteks pembaca, bukan sebaliknya. Sebab tujuan teologi ialah untuk dimengerti dan kemudian dihayati dan dihidupi.

Upaya berteologi dalam suatu lokus atau konteks yang aktual yang disebut sebagai Theologia in Loco, yang juga menjadi bentuk upaya kontekstual. Istilah ini dicetuskan oleh Peter Dominggus Latuihamallo. Tujuannya ialah supaya teologi tidak menjelma menjadi proses indoktrinasi ataupun ideologisasi. Dalam konteks Indonesia, teologi ini dipahami sebagai bagian dari proses beriman secara autentik di lintasan sejarah yakni refleksi iman dalam perjumpaan dengan peristiwa dan konteks di Indonesia.

Selain menjadi suatu bentuk kemandirian teologi, upaya ini berusaha menekankan relevansinya dalam konteks masyarakat Indonesia (Simon Rachmadi: 2019, 1). Oleh karena itu, kita berharap ke depan, proses teologi di Indonesia bukanlah sekadar pengadaptasian langsung dari Barat ataupun luar melainkan yang dibangun, diangkat, dan dipergumulkan dari konteks masyarakat Indonesia sendiri.

Sebagaimana juga telah munculnya istilah "Islam Nusantara" yang dikembangkan oleh Nadhatul Ulama. Harapan ke depan, tidak hanya Agama Islam saja tetapi juga muncul Kristen Nusantara, Budha Nusantara, Hindu Nusantara, dan sebagainya dimana teologi dan identitas dibangun dalam konteks dan corak Nusantara.

Upaya-upaya Berteologi dalam Keberagaman Budaya dan Agama

Setiap manusia dengan identitasnya hidup berdampingan dengan orang lain yang memiliki identitas berbeda dengannya. Bahkan sering terjadi dualisme dimana seseorang memiliki dua identitas sekaligus dengan dua pola pikir yang sama atau berbeda. Hal ini disebabkan karena manusia juga adalah makhluk sosial yang saling berinteraksi. Inilah konteks yang dihadapi oleh Misi. Pernyataan dan kesaksian iman kita memang harus eksklusif. Namun, sikap hidup, relasi, dan interaksi sosial dan keberagaman harus bersifat inklusif, terbuka, dan dialogis. (Darwin Lumbantobing: 2019, 75).

            Misi dan teologi dalam sejarahnya sering dipahami sebagai usaha untuk mewartakan Kristus dan menjadikan orang lain sebagai pengikut Kristus (identitas baru). Seseorang yang diinjili tersebut akan dituntun untuk keluar dari "identitas lamanya" dan masuk ke dalam suatu "identitas baru" yang disebut Kristen dengan gaya dan pola hidup berbeda dari sebelumnya. Model ini secara implisit menyatakan bahwa identitas "Kristen" sebagai satu-satunya kebenaran.

Perlahan setiap orang yang telah diinjili menganut atau disebut sebagai Agama Kristen. Agama ini terdiri dari kumpulan orang-orang yang percaya kepada Kristus dengan membentuk suatu lembaga di bidang kerohanian. Sedangkan Teologi Interkultural adalah upaya untuk mewartakan Kristus tanpa membawa suatu identitas khusus dan bukan untuk merubah identitas tertentu. Upaya ini berangkat dari persamaan cita-cita ataupun visi tanpa harus menyinggung identitas tertentu. Umumnya cita-cita tersebut yakni untuk mewujudkan damai sejahtera di seluruh ciptaan karena itu adalah hakikat dari Allah sendiri.

Dengan demikian, setiap keberagaman identitas seperti agama dan suku dapat hidup berdampingan bahkan saling mendukung untuk mencapai visi ataupun cita-cita yang lebih besar daripada sekelompok identitas, tanpa harus menunjukkan superioritas atau minoritas. Adapun tujuan komunikasi dan teologi interkultural ini ialah; terwujudnya damai sejahtera dalam kehidupan bersama. terwujudnya kesatuan dalam kepelbagaian, mengupayakan kepelbagaian unsur kehidupan sebagai dasar membangun kebersamaan dalam memaknai kehidupan, bukan perpecahan, dan sikap yang terbuka, dialogis, dan mewujudkan kesatuan dalam konteks yang lebih kompleks dan besar.

Komunikasi interkultural juga menghasilkan akulturasi. Akulturasi ialah perjumpaan dua atau lebih kebudayaan tanpa menghilangkan salah satu unsur kebudayaan. Tentu ini akan terjadi jikalau setiap orang tidak memulainya terlebih dahulu dari identitas kebudayaannya masing-masing. Ini memang sulit, karena sejak kecil setiap orang dididik dan dicondongkan kepada satu kebudayaan tertentu.

Oleh karena itu, hal yang juga perlu ialah dengan memberikan pencerahan mengenai sifat kebudayaan yang selalu dinamis dan bukan sebagai identitas tunggal. Ini dilakukan untuk menghancurkan "secara perlahan" paham-paham yang membuat suatu kebudayaan adalah superior dari yang lainnya. Budaya dan agama juga memiliki hubungan yang timbal balik dan secara dialektis berhubungan, yang saling memengaruhi dan memberikan warna. Injil dapat diakses hanya dalam bentuk yang secara budaya termediasi. (Volker Kuster: 2017, 5).

Budaya dan agama dalam memberikan pengaruh tidak dapat dipisahkan. Untuk itu, misi ataupun teologi selalu memiliki kontak dengan budaya, baik budaya si penerima maupun budaya si pengirim. Demikian juga dalam proses hermeneutis dimana Injil dan misi mula-mula juga diikat oleh konteks budaya pada saat itu, yang memiliki konteks budaya yang berbeda oleh pembaca masa kini.

Bahkan, juga dapat dipahami bahwa agama adalah suatu sistem budaya. Dalam interkultural, teologi dipahami sesuai konteks penerima atau pendengarnya. Untuk itu, teologi interkultural selalu melibatkan dan melihat bagaimana budaya setempat memahami dan menghayati suatu tradisi iman. Teologi ini cenderung lebih bersifat kontekstual dalam pluralitas agama dan budaya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun