Penggunaan pakaian adat dalam momen-momen itu mau memperlihatkan betapa luhur keberadaan pakaian adat kita orang Dayak. Luhur karena ia merupakan sebuah karya seni dari manusia sebagai makhluk berakal budi.
Teringatlah oleh kita disi sini akan pemahaman kebudayaan sebagaimana dikemukakan oleh Koentjaraningrat yakni sebagai seluruh sistem gagasan dan rasa, tindakan, serta karya yang dihasilkan manusia dalam kehidupan bermasyarakat yang dijadikan miliknya dengan cara belajar.
Dia juga luhur karena keberadaanya menjadi sarana bagi manusia tidak hanya untuk memohon berkat, perlindungan dan penyertaan dari Yang Ilahi, tapi juga untuk menghaturkan sembah bakti dan syukur mereka kepada-Nya (terejawantah dalam gawai adat dan liturgi Gereja Katolik). Juga menjadi sarana bagi manusia untuk mengungkapkan dirinya sebagai makhluk sosial dan beradab (terungkap dalam upacara adat menerima tamu).
Bila kodrat pakaian adat kita orang Dayak demikian luhur, yang dalam beberapa suku Dayak baru boleh digunakan setelah dilakukan ritual adat sengkelan (pemberkatan ala suku Dayak dengan cara memercikkan darah hewan), kita lantas bertanya apakah segala jenis penggunaan yang menyimpang dari kodratnya itu dapat ditolerir atau dibenarkan?
Sebuah pertanyaan yang semoga menjadi concern kita bersama sebagai orang Dayak. Kita tentu tidak bermaksud mengadili dan menyalahkan generasi muda Dayak. Mereka bertindak demikian barangkali berangkat dari ketidaktahuan mereka. Akan tetapi, di balik itu semua sesungguhnya gaya dan mentalitas hidup yang ditawarkan oleh peradaban modern sedang mengintai generasi muda Dayak.
Sebuah peradaban yang ditandai dengan pesatnya perkembangan teknologi yang kemudian banyak merubah pola dan tingkah laku kehidupan manusia. Ingin menjadi viral dan terkenal; membeli sesuatu bukan karena sungguh-sungguh dinikmati, melainkan hanya karena mengikuti trendy, merupakan gaya dan mentalitas hidup yang hampir setiap detik dan menit menggoda kita.
Dan bila sudah jatuh ke dalam godaan itu, orang kerap kali tidak lagi mempedulikan dan memikirkan kebenaran yang hakiki, melainkan kebenaran yang bersifat sementara.
***
Sebagai akhir. "Yang bergerak di bidang agama, menjadikan orang Dayak bermoral dan bertabiat baik". Demikian tulis Masri dalam artikel yang sama. Seperti yang sudah dikatakan di awal, saya adalah seorang pemuka agama. Namun dalam hal ini saya tidak hendak memosisikan diri sebagai polisi moral bagi generasi muda Dayak.
Anak-anak muda Dayak itu, di mata saya, sama sekali tidak memiliki moral yang jelek hanya karena berTikTok menggunakan pakaian adat Dayak. Apa yang saya tuangkan di sini hanyalah sebentuk kegelisahan dan kekhawatiran dari seorang insan yang merasa diri bangga menjadi orang Dayak.
Karena itu terkhusus bagi generasi muda Dayak, mohon tulisan ini jangan dilihat sebagai upaya untuk mematikan daya kreasi kalian. Kalian hidup di era digital. Sudah seharusnyalah kalian menggunakan segala media yang ada untuk berkreasi mengembangkan diri serta memperkenalkan kekayaan budaya Dayak ke seluruh penjuru dunia.