Mohon tunggu...
Gregorius Nyaming
Gregorius Nyaming Mohon Tunggu... Pemuka Agama - Hanya seorang anak peladang

Seorang Pastor Katolik yang mengabdikan hidupnya untuk Keuskupan Sintang. Sedang menempuh studi di Universitas Katolik St. Yohanes Paulus II Lublin, Polandia.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Sekadar Menyuarakan Kegelisahan dan Harapan Kaum Peladang

20 Maret 2022   16:41 Diperbarui: 20 Maret 2022   16:50 224
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bulan Maret menjadi bulan yang sangat bersejarah bagi kaum peladang. Sebab pada bulan inilah mereka bersatu hati mengabarkan kepada dunia bahwa peladang bukan penjahat. Oleh Majelis Adat Dayak Nasional (MADN), bulan Maret, tepatnya tanggal 9 Maret, ditetapkan sebagai Hari Peladang Nasional.

Dibebaskannya enam orang peladang oleh Pengadilan Negeri Sintang pada 9 Maret 2020 menjadi cikal bekal penetapan tersebut.

Dibebaskannya keenam orang peladang itu tentu saja menjadi kabar gembira bagi kaum peladang. Namun bukan berarti mereka bebas dari rasa takut dalam meneruskan tradisi berladang. 

Kompas.com, 1/09/2021, pernah memuat berita tentang Avun, seorang petinggi suku Dayak Bahau di Kampung Tukul, Kabupaten Kutai Barat, Kalimantan Timur, yang sejak lima tahun terakhir tidak lagi berladang. Alasan utama mengapa dia beserta beberapa warga lainnya memutuskan untuk berhenti berladang ialah karena takut dipenjara.

Dengan berhenti berladang, maka artinya Avun dan beberapa warga lain tidak bisa lagi menghasilkan padi untuk dimakan. Kenyataan pahit lain yang tak bisa dihindarkan dengan ditinggalkannya tradisi berladang ialah punahnya ritual-ritual yang biasa dilakukan selama proses perladangan.

Hal ini diakui sendiri oleh Avun. Salah satu ritual yang tak bisa lagi dilakukan oleh masyarakat Dayak Bahau ialah Laliq Ugal. Sebuah ritual yang biasa dilakukan saat musim nugal (musim tanam) tiba. Ritual adat yang berpuncak pada tarian Hudoq ini, oleh masyarakat Dayak Bahau diyakini dapat menghadirkan roh-roh baik untuk memberi kesuburan ladang dan bibit yang ditanam.

Ritual Laliq Ugal hanyalah satu dari sekian banyak ritual adat yang dilaksanakan oleh masyarakat Dayak ketika musim berladang tiba. Gawai adat (pesta tutup tahun/pesta panen), yang merupakan puncak dari seluruh proses perladangan dan pesta adat yang maha penting bagi orang Dayak, dengan sendirinya akan hilang dari peradaban bila masyarakat Dayak tidak lagi diperbolehkan untuk berladang.

Kenyataan di atas tentu saja membuat masyarakat Dayak khawatir. Sebagai seorang yang lahir dari rahim seorang peladang, saya merasa terpanggil untuk turut menyuarakan kegelisahan dan harapan kaum peladang. Salah satu jalan yang saya tempuh ialah melalui tulisan. Di Kompasiana ini sendiri sudah cukup banyak artikel yang sudah pernah saya tulis berkaitan dengan hal itu.

Dokumentasi pribadi.
Dokumentasi pribadi.

Mengapa saya begitu getol membela kaum peladang karena -- di samping banyak alasan lain yang sudah pernah saya kemukakan - di mata saya berladang menjadi sebuah bentuk pemenuhan terhadap amanah yang Tuhan Allah sabdakan dalam Kitab Kejadian 1:28: "Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi."

Penyerahan tugas pemeliharaan alam kepada manusia hendak menunjukkan bahwa manusia merupakan rekan kerja, "co-creator" Allah dalam melanjutkan karya Allah di dunia demi tercapainya kesejahteraan bersama. Sebagai "co-creator" Allah manusia menyadari, di satu sisi, hasil ladang yang baik merupakan penyelenggaran Ilahi, namun di lain sisi, juga bergantung pada usaha manusia sendiri. Manusia menjadi pengantara Allah dalam pemeliharaan dan perkembangan kosmos.

Paham manusia sebagai  "co-creator" Allah menyiratkan satu poin penting, yakni makna kerja bagi manusia. Manusia diciptakan untuk bekerja dan mengolah alam semesta. Bagi manusia, pekerjaan merupakan sebuah panggilan. Sebagai sebuah panggilan, manusia dengan kerja yang mereka lakukan hendak mewujudkan dan menyempurnakan martabat dirinya sebagai citra Allah.

Oleh kaum peladang, dalam bentuknya yang paling konkret, panggilan itu diwujudkan dalam perlakuan yang hormat dan beradat terhadap alam. Bila hendak dibahasakan secara filosofis, perlakuan yang demikian mau mengatakan bahwa berladang merupakan salah satu cara bagi kaum peladang dalam menjalani dan memaknai hidup yang diibaratkan sebagai sebuah karya seni (estetika eksistensi).

Dengan selalu membangun dan menjaga harmonisasi dengan Yang Mahakuasa (Petara Yang Agung), dengan sesama dan dengan alam, para peladang sedang berada dalam proses melukis eksistensi dirinya sebagai manusia. Dengan berladang, mereka sedang membentuk satu tipe atau model diri (mode of being). Dalam proses pembentukan diri itu, mereka menjadi individu yang tidak hanya mengikuti nafsu dan keinginan diri semata. Mereka menjadi pribadi yang tidak hanya memperhatikan diri sendiri dengan baik, tapi juga memperhatikan sesama dan juga alam.

Salam Anak Peladang

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun