Artikel-artikel yang sudah pernah saya tulis tentang kearifan berladang suku Dayak, semuanya saya tempatkan dalam kategori sosial budaya. Hal tersebut saya lakukan karena saya memandang kearifan berladang tidak lain sebagai tradisi yang diwariskan oleh nenek moyang kami, yang masih dijalankan hingga hari ini.
Teringat pesan Prof. Felix Tani dalam artikelnya Matinya Seorang Penulis (K, 1/10/2020), bahwa seorang penulis akan dikatakan mengalami kematian pada saat dia berpikir telah selesai menulis setelah mengakhiri suatu tulisan dengan paragraf penutup, artikel-artikel itu pun kerap saya baca kembali.
Eureka!!!...Di balik warisan sosial tersebut, saya menemukan kalau di tengah masyarakat Dayak sudah lama hidup sebuah aliran filsafat yang baru dikenal pada paruh pertama abad kedua puluh.
Aliran filsafat yang dimaksud ialah personalisme. Merujuk pada plato.stanford.edu, personalisme muncul sebagai reaksi terhadap sistem berpikir yang berupaya menghilangkan identitas pribadi manusia (depersonalisasi). Seperti, rasionalisme pencerahan (enlightenment), panteisme, idealisme absolut Hegelian, individualisme maupun kolektivisme dalam politik, materialisme dan determinisme evolusioner.
Di hadapan sistem berpikir di atas, personalisme selalu menggarisbawahi sentralitas pribadi manusia sebagai sumber utama dari eksplorasi filosofis, teologis dan studi-studi humanistik.
Personalisme merupakan sistem berpikir yang berupaya memandang personalitas sebagai nilai tertinggi dalam hidup dan merupakan kunci semua realitas dan nilai (KBBI online).
Dalam sejarah filsafat, ada cukup banyak filosof yang menenggelamkan dirinya untuk mengkaji manusia dari sudut pandang filsafat personalisme. Max Scheler, Martin Buber, Paul Ricoeur, Emmanuel Levinas adalah beberapa di antaranya.
Berakhirnya perang Dunia I dan II merupakan pemicu utama yang menggerakkan para filsuf itu untuk memikirkan kembali siapa itu manusia. Dalam kedua perang tersebut, mereka melihat bagaimana manusia tidak lagi dipandang sebagai seorang, tapi hanya sebagai sesuatu.
Akibatnya sungguh mengerikan: penghilangan nyawa sesama manusia dipandang sebagai sebuah tindakan yang sah-sah saja.