Mohon tunggu...
Gregorius Nyaming
Gregorius Nyaming Mohon Tunggu... Pemuka Agama - Hanya seorang anak peladang

Seorang Pastor Katolik yang mengabdikan hidupnya untuk Keuskupan Sintang. Sedang menempuh studi di Universitas Katolik St. Yohanes Paulus II Lublin, Polandia.

Selanjutnya

Tutup

Humor Pilihan

Pernak-pernik Kenanganku Selama di Seminari Menengah: Dari Perkara Bangun Pagi, Hukuman, sampai Sepak Bola Abal-abal

21 November 2020   05:36 Diperbarui: 21 November 2020   05:57 405
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Seminariku yang tercinta. Seminari Menengah St. Yohanes Maria Vianney, Keuskupan Sintang. Sumber: hidupkatolik.com

Sejenak bernostalgia...

Mengupas topik tentang suku Dayak Desa dengan segala kekayaan tradisi dan budayanya cukup menguras pikiran dan tenaga. Sekarang saatnya mengambil jeda sejenak sambil mengenang kembali masa-masa indah ketika dulu masih berada di Seminari Menengah St. Yohanes Maria Vianney  (2001-2004).

Ya. Tiga tahun menjalani masa pembinaan di Seminari Menengah memang telah menyisakan banyak kenangan indah, unik dan lucu yang akan selalu tersimpan rapi dalam ingatan.

***

Meski ada banyak kenangan yang indah, bukan berarti tanpa hambatan dan tantangan. Tantangan pertama yang harus saya hadapai ialah membangkitkan rasa percaya diri. First step never be easy. 

Ungkapan ini sangat tepat dengan keadaan saya pada waktu itu. Saya mengibaratkan kehidupan awal saya di Seminari Menengah seperti seorang bayi yang baru belajar berjalan.

Layaknya seorang bayi yang masih sangat memerlukan bantuan orang lain, begitu pula dengan kehidupan awal saya di Seminari Menengah. Pertama kali hidup jauh dari orangtua dan sanak saudara merupakan alasan utama mengapa semua masih terasa sulit untuk dijalani.

Meski terlihat tidak mudah, berkat kegigihannya untuk belajar, seorang bayi pada akhirnya bisa berjalan sendiri. Demikian jugalah yang saya pikirkan pada waktu itu. Di tengah segala kegalauan, saya selalu memotivasi diri sendiri bahwa saya bisa mengikuti seluruh proses pendidikan dan pembinaan di Seminari.

Saya sudah berani memutuskan untuk mengayunkan langkah ke Seminari, maka saya harus berani juga agar langkah itu tetap tegak berjalan sampai tujuan akhir, yakni menjadi seorang pastor.

Keyakinan ini membuat saya menjalani rutinitas di Seminari dengan penuh ceria dan semangat. Namun, saya mengalami masalah yang cukup serius pada waktu itu, yakni soal kepercayaan diri. Meski selama masih di kampung saya sering mendapat tugas bacaan saat ibadat, masih saja saya gemetar dan keringat dingin ketika berbicara di depan teman-teman seminaris yang lain.

Menyadari bahwa saya ingin menjadi seorang pastor, dan seorang pstor pasti akan banyak tampil di depan umum,  maka saya harus bisa mengatasi masalah tersebut. Saya pun mencari cara bagaimana meningkatkan rasa percaya diri.

Ada satu bidang yang menurut saya bisa saya jadikan pembangkit rasa percaya diri, yakni  bidang intelektual. Demi mencapai tujuan tersebut, saya pun belajar dengan tekun agar bisa memperoleh hasil yang memuaskan. Dan puji Tuhan, usaha saya pun membuahkan hasil. Berkat hasil studi tak begitu mengecewakan, kepercayaan diri saya pun perlahan-lahan mulai meningkat.

***

Selain soal kepercayaan diri, ada tantangan lain lagi yang tak kalah hebatnya untuk diatasi. Yakni, soal bangun pagi. Saya pribadi harus berjuang sekuat tenaga agar terbiasa bangun pagi. Bukan perkara yang gampang. Apalagi sebelum masuk asrama Seminari ada Ibu yang selalu setia membangunkan saya setiap paginya.

Bagi saya dan teman-teman yang baru masuk Seminari, bulan-bulan awal menjadi masa-masa krusial yang sangat menentukan nasib kami selanjutnya. Memang ada banya aspek lain yang dinilai, tapi mampu untuk bangun pagi juga dijadikan salah satu kriteria penilaian oleh para pembina.

Saya bersyukur bisa melewatinya, meski harus dengan jatuh bangun. Namun ada juga beberapa teman yang tidak sampai hitungan minggu, bahkan ada yang hanya hitungan hari,  lalu memutuskan untuk mengundurkan diri karena tidak mampu mengikuti ritme hidup di Seminari.

Proses pembinaan terus berjalan dan saya pun sudah merasa kerasan berada di Seminari. Akan tetapi, perkara bangun pagi kembali menjadi tantangan ketika pada suatu masa saya menjabat sebagai ketua komunitas.

Menjadi ketua komunitas itu artinya saya harus bangun lebih awal dari teman-teman yang lain untuk membunyikan lonceng tanda bangun. Meski berganti peran dengan wakil ketua tetap saja ada masa di mana terasa malas untuk bangun pagi. Terlebih ketika otak sudah terasa lelah karena selalu belajar dan belajar.

Namun syukur kepada Tuhan, saya bisa menikmati dan menjalankan tugas sebagai ketua komunitas dengan baik. Senang rasanya bisa membantu teman sekomunitas untuk bangun  tepat pada waktunya.

***

Sebagai sebuah tempat pembinaan untuk para calon pastor, Seminari tentu saja menetapkan beberapa aturan yang tak boleh dilanggar oleh para seminaris. Tidak boleh merokok, tidak boleh mencuri, tidak boleh berkelahi, merupakan beberapa aturan yang sama sekali tidak boleh dilarang. Mereka yang melanggar aturan tersebut akan langsung dikeluarkan dari Seminari.

Bahkan ada satu aturan pada waktu itu yang terdengar agak lucu. Yakni, para seminaris tidak boleh naik angkot saat berangkat ke atau pulang dari sekolah. Kami memang tinggal di asrama seminari, tapi untuk proses belajar mengajar kami bergabung di SMA Panca Setya Sintang. Sekitar 20 menit kalau berjalan kaki.

Hukuman bagi mereka yang ketahuan menaiki angkot memang tergolong tidak berat. Cukup 5-10 kali mengelilingi lapangan basket. Mungkin tidak melelahkan raga, tapi malunya itu bisa meruntuhkan wibawa sebagai seorang anak seminari.

Belum lagi kalau nanti di sekolahan ada sesama teman seminaris menceritakan kejadian tersebut kepada yang lain, makin turunlah harga diri sebagai seorang seminaris.

Hukuman memang selalu menanti para seminaris jika ketahuan melanggar peraturan. Namun bukan anak seminari namanya kalau tidak punya akal agar terluput dari hukuman..hikssss. Dalam beberapa hal, mereka bisa bekerja sama dengan baik untuk mengelabui staf pembina.

Di Seminari itu ada cukup banyak pohon rambutan. Inilah alasan lain yang membuat kami senang dan betah tinggal di Seminari. Jika musim rambutan tiba, hati kami selalu penuh dengan suka cita.

Namun, karena kami hidup berkomunitas maka buah rambutan itu harus kami nikmati bersama-sama. Berlaku prinsip sama rata sama rasa. Atau dalam bahasa suku Dayak Desanya "kalau abih sama ampit" (Kalau habis sama-sama kebagian).

Ada kalanya prinsip di atas terasa berat untuk dijalani. Beberapa dari kami tak mampu menahan godaan untuk tidak memetiknya. Namun prinsip tetaplah prinsip. Melanggar prinsip tersebut harus siap menerima hukuman dari pembina.

Pernah suatu kali seorang teman ketangkap basah oleh pembina sedang asyik memetik buah rambutan. Oleh si pembina, dia disuruh terlebih dahulu menghabiskan buah rambutan yang telah dipetik. Baru setelah itu dia menerima hukuman, yakni memeluk pohon rambutan.

***

Musim buah rambutan memang membuat hati senang, namun juga selalu membuat kami was-was. Namun sekali lagi, bukan anak seminari namanya kalau sampai kehabisan akal. Contoh berikut adalah buktinya.

Ini terjadi pada salah satu jam olah raga sore. Di Seminari itu ada tiga buah lapangan yang saling berdekatan: lapangan basket, lapangan volly dan lapangan sepak takraw. Di atas lapangan sepak takraw itu sendiri ada satu pokok rambutan yang buahnya sungguh sangat menggoda.

Sore itu kami memutuskan untuk bermain bola kaki. Lapangan volly dan lapangan sepak takraw kami sulap seindah mungkin menjadi lapangan sepak bola dengan posisi salah satu gawang tepat berada di bawah pokok rambutan.

Pada awalnya, permainan berjalan secara normal. Kami bermain layaknya pemain-pemain profesional. Gocekan-gocekan maut tersaji. Begitu pun ada banyak gol indah yang tercipta.

Namun gaya permainan sudah mulai agak berubah setelah badan kami mulai dibasahi keringat. Sudah saatnya bagi kami untuk cooling break dengan cara "menurunkan" buah rambutan...ha ha ha

Kami pun mulai mengatur strategi dengan menerapkan formasi full attack ke gawang yang di atasnya bergelantungan buah-buah rambutan yang sangat sedap di pandang mata. Tembakan demi tembakan pun dilancarkan. Tapi tak ada satu pun tembakan yang berbuah gol, kecuali berbuah rambutan..ha ha ha

Terima kasih Seminari Menengah St. Yohanes Maria Vianney (YOMAVI) telah menghadirkan banyak kenangan manis. Semoga selalu menjadi tempat yang indah dan nyaman bagi para seminaris dalam menjalani panggilan hidup sebagai calon-calon gembala yang baik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humor Selengkapnya
Lihat Humor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun