Apa tidak salah mengatakan kalau tuak itu mendatangkan hidup? Ada cinta di dalamnya? Tidakkah sebaliknya, yang ada hanya kemudaratan sehingga mendorong beberapa fraksi di DPR agar RUU tentang Larangan Minuman Beralkohol segera disahkan?
Saya sangat menghargai maksud baik dari RUU ini. Yakni, sebagaimana tertera dalam pasal 3: a) melindungi masyarakat dari dampak negatif yang ditimbulkan oleh Minuman Beralkohol; b) menumbuhkan kesadaran masyarakat mengenai bahaya Minuman Beralkohol; dan c) menciptakan ketertiban dan ketentraman di masyarakat dari gangguan yang ditimbulkan oleh peminum minuman beralkohol.
Namun, sebagai seorang putra asli Suku Dayak, sebagai seorang anak peladang dan kemudian menjadi seorang pastor yang berkarya di tengah-tengah orang Dayak, saya hanya mau berbagi pengalaman.
Beragam pengalaman inilah yang kemudian menghantar saya sampai pada sebuah keyakinan: di dalam tuak itu ada hidup dan ada banyak cinta.
Hidup yang saya maksudkan di sini berkaitan dengan fungsi dan peran penting tuak dalam upacara atau ritual adat dalam suku Dayak. Secara khusus pada momen-momen penting dalam kehidupan manusia. Serta dalam kegiatan yang berkaitan dengan perladangan.
~~~***~~~
Saya ambil contoh upacara pemberian nama anak secara adat dalam masyarakat adat Dayak Desa. Saya berani mengatakan kalau sampai hari ini masih bisa hidup dan bernapas, itu karena "diselamatkan" oleh tuak. Kapan tuak turut serta menyelamatkan hidup saya? Ketika saya diberi nama secara adat oleh orang tua saya.
Bagi masyarakat adat Dayak Desa, upacara adat pemberian nama ini sangatlah penting bagi tumbuh kembang si anak. Melalui upacara ini orang tua dan semua yang mengasihinya berharap agar sang anak bisa bertumbuh dengan sehat, menjadi anak yang baik, disenangi banyak orang, memiliki umur yang panjang serta berbakti kepada orang tua dan Tuhan.
Agar semua harapan itu bisa terpenuhi, maka segala bahan yang diperlukan untuk upacara adat harus disiapkan sebaik mungkin. Sebuah piring tua, beras, sirih, buah pinang dan tuak merupakan bahan-bahan yang harus disediakan.
~~~***~~~
Bergeser ke pengalaman kehidupan agraris masyarakat adat Dayak Desa. Di sini kita akan melihat betapa tuak turut berperan dalam mendatangkan kehidupan bagi para petani. Penggunaanya dalam beberapa ritual adat diyakini akan bisa mendatangkan hasil panen yang baik bagi para petani.
Saya ambil contoh ketika warga hendak mulai menanam padi (nugal). Sebelum nugal dimulai warga akan berkumpul di suatu tempat. Ritual dipimpin oleh kepala keluarga yang empunya ladang atau yang mewakili.
Pemimpin ritual pertama-tama memukulkan bambu ke tanah sebagai tanda memanggil Puyang Gana, Sang Penguasa Tanah sambil mengucapkan kata-kata berikut:
O Puyang Gana...
Lihatlah, kami mau mulai menanam.
Kami mohon padi kami subur,
masa depan kami senang,
hidup kami nyaman
Benih-benih yang akan ditanam lalu diperciki dengan darah ayam. Pemercikan dengan darah ayam adalah tanda bahwa benih-benih itu sudah diberkati dan siap untuk ditabur.
Ritual kemudian dilanjutkan dengan membuat pegelak (sesajen). Pembuatan sesajen ini merupakan salah satu syarat yang tak boleh diabaikan. Lewat sesajen, warga menghaturkan persembahan kepada Sang Petara sekaligus juga memohonkan berkat atas ladang yang sebentar lagi akan ditanami.
Dari sekian banyak bahan sesajen yang dipersembahkan, tuak adalah salah satu yang tak boleh dilupakan.
Contoh lain yang mau memperlihatkan betapa besarnya peran tuak bagi orang Dayak ialah saat pesta syukur selesai panen (Gawai). Karena ini pesta syukur, jangan terlalu cepat menilai kalau di sini tuak hanya digunakan untuk pesta pora. Di sini, tuak kembali dimasukkan sebagai bahan utama sesajen yang dipersembahkan kepada Petara Yang Agung.
Ketika Gawai tiba, khusus bagi kami Dayak Desa, setiap keluarga akan membuat pegelak (sesajen). Ada dua buah sesajen yang disiapkan. Keduanya akan disimpan di dalam lumbung padi.
Setelah beberapa saat, sesajen yang satu akan diambil dan kemudian dimakan bersama oleh seluruh anggota keluarga. Sementara yang lain tetap disimpan dalam lumbung sebagai bentuk syukur kepada Tuhan atas hasil panen yang telah didapat.
Tuak juga dihidangkan kepada para tamu yang datang. Ini menjadi simbol ungkapan cinta dari tuan rumah. Sekaligus sebagai bentuk harapan agar tahun-tahun berikutnya ladang mereka akan menghasilkan panen yang berlimpah.
Begitulah keyakinan masyarakat adat Dayak Desa. Hasil bumi yang mereka terima dari Tuhan tidak pernah boleh dinikmati seorang diri. Dengan mengundang sanak keluarga, kerabat kenalan dari kampung lain untuk turut Gawai merupakan ungkapan syukur sekaligus doa agar di tahun selanjutnya lumbung padi mereka selalu berisi.
~~~***~~~
Sekarang, bagaimana pengalaman saya sebagai seorang pastor yang berkarya di tengah-tengah orang Dayak? Pandangan saya tentang keberadaan tuak tidak ada yang berubah. Bahkan lebih dalam lagi.Â
Saya melihat tuak bukan hanya sebagai ekspresi budaya dan cinta tulus murni dari umat, melainkan juga sebagai ekspresi iman umat.
Beberapa dari kita mungkin menilai sebagai sebuah sikap yang tidak sopan atau tidak hormat ketika ada umat memberi minum tuak kepada pastor. Jujur, saya pribadi sudah banyak kali mengalami hal tersebut.
Tapi memang seperti itulah adanya hidup di tengah masyarakat yang masih menjunjung tinggi tuak sebagai sarana untuk mengeratkan kebersamaan. Sebagai seorang pastor, saya selalu melihat keberadaan tuak dalam konteks ini. Sehingga ketika ada umat menyodorkan segelas tuak, saya akan selalu menerima dan meminumnya, walau hanya sedikit.
Hal tersebut bukan hanya bentuk ungkapan cinta dan persahabatan, melainkan juga sebagai bentuk penghormatan.
Tuak sebagai ekspresi iman umat sangat nampak ketika ada perayaan misa pada hari-hari raya. Seperti, Misa Hari Raya Natal, Paskah, Misa Syukur Gawai, Misa Pemberkatan Pernikahan, dan sebagainya. Dalam perayaan misa tersebut, umat biasanya selalu mempersiapkan satu dua botol tuak sebagai bahan persembahan.
Apa bukan sebuah pelecehan namanya bila tuak malah dijadikan bahan persembahan dalam sebuah perayaan keagamaan yang begitu agung dan kudus?
Tuak adalah hasil bumi yang manusia terima dari kemurahan Tuhan. Setelah menerima kemurahan dari Tuhan, sudah pantas dan selayaknya bagi manusia untuk mempersembahkan segala anugerah itu sebagai ungkapan puji dan syukur kepada-Nya.
Kami yakin dan percaya bahwa Tuhan akan memandang dan menerima setiap persembahan yang dihunjukkan oleh umat-Nya dengan tulus dan rendah hati.
~~~***~~~
Begitulah pengalaman saya hidup, bergerak dan ada di tengah-tengah masyarakat yang masih menjadikan tuak sebagai ungkapan iman dan budaya.
Semoga pengalaman saya ini, dan juga pengalaman-pengalaman saudara-saudari dari daerah lain yang juga menjunjung tinggi keberadaan tuak, bisa menjadi bahan pertimbangan bagi para wakil rakyat yang terhormat dalam mengesahkan RUU Larangan Minuman Beralkohol.
Saya tidak bisa membayangkan bagaimana komunitas lokal menghormati Tuhan dan para leluhur apabila minuman beralkohol tradisional (tuak, sopi, moke, dll) tidak boleh lagi diproduksi.
Tuak menjadi salah satu sarana bagi kami menjalin relasi dan komunikasi yang baik dengan para leluhur. Hal tersebut harus kami lakukan, karena peran serta para leluhur sangat penting agar kami tidak salah dalam melangkah.
Salam Budaya. Salam Lestari.
GN, 17 November 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H