Kebersamaan hampir selalu mewarnai dinamika kehidupan agraris komunitas adat Dayak Desa. Karena itu bukan hal yang mengherankan bila peristiwa-peristiwa penting dan sakral dalam hidup personal maupun komunal selalu mereka rayakan dalam kebersamaan.
Peristiwa di awal-awal kehidupan (kelahiran, pemberian nama anak, memandikan anak ke sungai, dll), saat anak menanjak dewasa, lalu saat dia menikah, semuanya dirayakan dalam kebersamaan.
Demikian juga dalam kegiatan sehari-hari terkait dengan perladangan, pesta-pesta adat, pembangunan rumah, memasuki rumah baru..dst, selalu dirayakan dalam semangat kebersamaan.
Kematian, yang merupakan akhir dari peziarahan hidup manusia di dunia ini, pun demikian. Dirayakan dalam kebersamaan, selain sebagai bentuk penghormatan terakhir dan perpisahan dengan anggota komunitas yang meninggal, juga sebagai bentuk solidaritas dan penghiburan terhadap keluarga yang berduka.
Menarik bahwa perayaan-perayaan kebersamaan tersebut selalu disertai ritual adat tertentu. Ini mau menunjukkan bahwa dalam perayaan-perayaan itu bukan hanya kebersamaan atau harmoni dengan sesama dan alam (horizontal) yang hendak diteguhkan, melainkan juga harmoni dengan Yang Ilahi (vertikal).
Begitulah seluruh hubungan dan kerja sama dengan sesama dibangun dalam suatu harmoni. Tujuannya akhirnya ialah agar bisa hidup rukun dan damai serta mendapat restu dari Yang Ilahi.
***
Komunitas adat suku Dayak Desa menyadari betul pentingnya kebersamaan bagi keberlangsungan hidup mereka. Namun demikian, tetap saja masih ada anggota komunitas yang belum menyadari hal tersebut. Mereka hidup seolah-olah hanya untuk diri sendiri. Tidak peduli dengan kebutuhan dan kesulitan sesama.
Sikap demikian tentu saja dapat mengancam keutuhan komunitas. Demi mencegah tumbuh suburnya sikap seperti itu, lahirlah kemudian prinsip-prinsip hidup bersama yang harus diperhatikan oleh seluruh anggota komunitas.Â
Salah satu prinsip bagi hidup bersama tersebut akan saya ulas dalam tulisan berikut. Prinsip tersebut ialah: KALAU ABIH SAMA AMPIT.