Sebuah tempat tinggal yang berupa dataran atau pegunungan atau pinggiran pantai, atau pinggiran hutan atau sawah, bukan hanya perkara geografis, melainkan mengurai suatu kebijaksanaan khas. Kebijaksanaan berupa produk relasionalitas manusia dengan alam tempat dia bertumbuh dan berkembang. Â
Apa yang mau saya katakan ialah, meski dengan kekuatan akal budinya kaum intelektual mampu membongkar ketidaklogisan mitos, fenomena, legenda dan sejenisnya dalam sebuah komunitas adat, mereka juga harus memahami bahwa mitos bukanlah kisah khayalan atau hanya sebuah cerita untuk pengantar tidur.
Mitos merupakan suatu "rasionalitas" dalam bentuk perdananya yang merupakan produk relasionalitas manusia dengan alam hidupnya (Armada Riyanto, Kearifan Lokal ~ PANCASILA. Butir-Butir Filsafat Keindonesiaan).
Hal tersebut menjadi penting untuk mereka pahami agar komunitas lokal tidak dipandang sebagai manusia terbelakang, tak beradab, hanya karena meyakini Yang Ilahi itu hadir pada pohon-pohon besar, sungai, batu-batu besar dan tempat-tempat tertentu yang dikeramatkan.
Dan, jangan sampai pula mereka malah mengusulkan agar hutan dibabat habis karena telah menyebabkan penduduk menderita sakit. Dalam kehidupan sehari-hari, kita memang selalu membersihkan sebuah tempat atau lokasi yang bisa menjadi sumber dan mendatangkan penyakit. Namun dalam relasi manusia dengan alam, cara seperti itu tentulah tak bisa diterapkan.
Alam memang bisa mendatangkan sakit penyakit pada manusia. Bila hutan dibabat habis tentu saja penduduk tidak akan lagi mengalami pederak. Akan tetapi, jika pembabatan hutan adalah solusinya, pederak mungkin akan hilang, tapi akan muncul "pederak" lain dalam bentuk yang lebih ganas dan mematikan. Yakni, dalam bentuk banjir, tanah longsor dan sebagainya.
***
Dengan mengangkat fenomena pederak sebagai bahan tulisan, bagi sebagian orang mungkin sebuah pekerjaan yang sia-sia saja. Saya tidak menuntut orang untuk meyakini bahwa orang kampung mengalami pederak karena mereka baru pulang dari dalam hutan. Namun satu hal yang pasti, hutan kami sedang berada pada situasi yang memprihatinkan.
Aneka macam gelar bisa kami peroleh dengan menuntut ilmu setinggi mungkin. Gelar yang tentu saja akan menjadikan kami sebagai orang terpandang. Namun semua gelar itu tidak akan memberi kami hidup, selama hutan kami dibabat habis.
Hutan adalah sumber hidup kami. Karena itu, kepercayaan akan alam yang memiliki kekuatan mistis akan selalu hidup dalam komunitas adat Dayak Desa dan suku Dayak pada umumnya. Kepercayaan ini telah, sedang dan akan selalu menuntun mereka dalam memperlakukan alam dengan penuh hormat dan beradat.
Salam Lestari.
GN, Polandia, 31 Oktober 2020