Mohon tunggu...
Gregorius Nyaming
Gregorius Nyaming Mohon Tunggu... Pemuka Agama - Hanya seorang anak peladang

Seorang Pastor Katolik yang mengabdikan hidupnya untuk Keuskupan Sintang. Sedang menempuh studi di Universitas Katolik St. Yohanes Paulus II Lublin, Polandia.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

12 Tahun Kompasiana: Terima Kasih dan Mimpi dari Seorang Anak Peladang Suku Dayak Desa

26 Oktober 2020   14:52 Diperbarui: 26 Oktober 2020   14:55 476
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hari ulang tahun Kompasiana sudah lewat beberapa hari. Tentu saja si anak peladang ini juga ingin mengucapkan terima kasih karena sudah diijinkan bernaung di dalam rumah yang indah, sejuk dan penuh damai ini. Meski agak terlambat, semoga saja ucapan terima kasih ini masih berkenan di hati Admin Kompasiana yang baik hati.

Bisa bergabung di Kompasiana rasanya sangat menyenangkan. Saya sangat bersyukur menemukan blog Kompasiana. Saya bergabung akhir Juni 2020 yang lalu. Agak terlambat memang sementara Kompasiana sendiri sudah berusia 12 tahun.

Saya sendiri heran, padahal setiap hari saya membaca berita di Kompas.com dan hampir selalu membuka laman Kompasiana.com. Ah, sudahlah. Maklum saja hanya seorang anak peladang. Hari-hari hidupnya lebih banyak di ladang dan di hutan ^_^

Sudah cukup lama sesungguhnya saya mengimpikan suatu saat bisa memperkenalkan suku Dayak dengan segala kekayaan budayanya kepada masyarakat luas lewat tulisan-tulisan saya. Namun belum menemukan media yang tepat untuk itu. Tuhan sepertinya mengirimkan Kompasiana untuk mewujudkan mimpi saya tersebut.

Artikel-artikel yang sudah pernah saya tulis boleh dibilang didonimasi oleh topik-topik seputaran etnis Dayak Desa dengan segala kearifan lokalnya yang sarat dengan makna. Beberapa juga hasil permenungan filosofis receh atas realitas dan pengalaman hidup.

Dengan menulis tentang suku Dayak saya tidak mendaku diri sebagai seorang Dayakolog. Pemahaman saya tentang suku Dayak masih sangat terbatas. Artikel-artikel yang sudah pernah saya tulis hanya tentang suku asli saya, yakni suku Dayak Desa. Salah satu sub suku dari sekian ratus sub suku yang ada di bumi Kalimantan.

Oleh karena itu, segala sesuatu yang saya tulis tentang suku Dayak Desa jangan sampai dilihat sebagai sebuah pandangan universal tentang suku Dayak. Memang terdapat beberapa perbedaan. Tapi dalam hal kepercayaan akan alam yang memiliki kekuatan mistis, karena itu harus diperlakuan secara hormat dan beradat, kami orang Dayak mempunyai pandangan yang sama.

Bila saya menulis tentang kearifan lokal suku Dayak Desa itu tak lain karena kearifan lokal memiliki kedalaman dan cetusan nyata yang indah berupa: relasi dengan Tuhan, relasi dengan alam atau dunia, relasi dengan sesamanya dan hidup bersama; juga bagaimana konsep kemanusiaan tumbuh dan berkembang, bagaimana pengertian tentang kebersatuan dihayati dan dihidupi; bagaimana kebersamaan dalam hikmat dan kebijaksanaan ditata; dan bagaimana gambaran mengenai keadilan diwujud-nyatakan (Armada Riyanto, Kearifan Lokal ~ PANCASILA. Butir-Butir Filsafat Keindonesiaan).

Dan yang tak kalah penting, masih dari sumber yang sama, kearifan lokal itu berbeda dari ideologi. Jika ideologi membuat manusia "terkurung" dan "terkungkung" dalam ide-ide tentang kekuasaan, kearifan lokal memungkinkan manusia berdialog dengan kehidupan keseharian secara lebih terbuka.

Mimpiku

Mimpi menulis artikel tentang suku Dayak sudah terwujud dengan saya masuk di rumah kebersamaan Kompasiana. Kini sebuah mimpi lain sedang menanti untuk diwujudkan. Ya. Si anak peladang ini bermimpi ingin menulis buku tentang suku Dayak.

Sebetulnya mimpi ini sudah saya mulai sedikit terwujud. Judul dan desain sampulnya saja sudah rampung. Pendahuluannya sendiri sudah boleh dikatakan selesai. Namun, mimpi ini untuk sementara harus saya tunda dulu karena masih fokus menyelesaikan tugas akhir kuliah.

Untuk sampul saya meminta seorang teman mendesainnya secantik mungkin agar bisa menjadi motivasi saya untuk mewujudkan mimpi yang telah saya mulai he he he...

Buku ini sendiri bukan kumpulan-kumpulan artikel tentang suku Dayak Desa yang sudah pernah saya tulis di Kompasiana. Berangkat dari begitu kaya tradisi dan budaya dalam suku Dayak, saya akan merefleksikannya dalam terang iman Katolik. Karena itulah saya beri judul: "TUHAN, KEPADA SIAPAKAH KAMI AKAN PERGI? Sebuah Pergumulan Iman dan Budaya di Tengah Suku Dayak di Keuskupan Sintang."

 "Tuhan, kepada siapakah kami akan pergi?" sendiri merupakan perkataan yang keluar dari mulut Simon Petrus menanggapi pertanyaan Yesus apakah mereka juga tidak mau pergi meninggalkan-Nya.

Yesus bertanya demikian setelah banyak murid-murid-Nya mengundurkan diri setelah mendengar perkataan dari Yesus sendiri tentang diri-Nya -- yang menurut mereka adalah perkataan yang keras - bahwa Dia adalah roti hidup yang telah turun dari surga. Dan barangsiapa makan roti ini, ia akan hidup selama-lamanya.

Mewakili para murid, Simon Petrus kembali melanjutkan dengan menegaskan kalau mereka tidak akan pergi sebab, "Perkataan-Mu adalah perkataan hidup yang kekal; dan kami telah percaya dan tahu, bahwa Engkau adalah Yang Kudus dari Allah." (Lih. Yoh. 6:25-71).

Kata-kata Simon Petrus itu mewakili pergumulan saya hidup di tengah-tengah suku Dayak dan sebagai putra asli suku Dayak. Peziarahan hidup orang Dayak sarat dengan upacara dan ritual adat. Upacara dan ritual adat ini sangat penting bagi kelangsungan hidup mereka.

Akan tetapi, tak jarang muncul ketegangan lebih-lebih ketika berjumpa dengan iman dan tradisi Kristiani. Karena itu, terhadap pertanyaan "Tuhan, kepada siapakah kami akan pergi?", kadang tidak selalu keluar jawaban sejelas dan setegas seperti yang disampaikan Simon Petrus.

Karena sub suku Dayak yang ada di Keuskupan Sintang itu beragam, saya menggunakan model pendekatan antropologi dalam proyek penulisan buku ini. Preferensi pada model antropologi tak lain karena model ini saya pandang sungguh dapat membantu dalam upaya memahami kebudayaan lokal. Sebab, ia memandang kodrat manusia dan juga konteks manusia itu sendiri baik, kudus dan bernilai. 

Dengan memilih model pendekatan ini, saya mau mengatakan kalau tidak ada yang namanya sebuah pendekatan universal dalam bergaul dengan orang Dayak. Dengan kata lain, cara bergaul atau bersikap yang diterapkan dalam satu sub suku Dayak tidak bisa sepenuhnya digunakan ketika bergaul dengan sub suku Dayak lainnya.

Sub suku Dayak yang hidup di Keuskupan Sintang itu memang sangat banyak. Mereka tidak hanya berbeda dalam tradisi, kebiasaan dan adat-istiadat, tapi juga berbeda dalam watak dan cara pandang. Dalam konteks inilah, model antropologi sungguh dapat menjadi sarana pendekatan yang sesuai.  Tidak hanya untuk menggali kekayaan budaya manusia Dayak, tapi juga dalam upaya, khususnya bagi para pelayan pastoral, menyatukan dan mengakrabkan diri dengan orang Dayak yang mereka jumpai dan layani.

Seperti itulah kira-kira sedikit gambaran tentang mimpi besar saya. Semoga bisa selesai dan indah pada waktunya. Mohon doanya ya rekan-rekan Kompasianers yang baik hati he he he...

Sekali lagi, dari lubuk hati yang paling dalam, saya ingin mengucapkan terima kasih kepada Kompasiana karena telah menjadi ruang bagi saya untuk memperkenalkan etnis Dayak Desa kepada khayalak ramai.

Selamat ulang tahun yang ke-12 Kompasiana. Semoga semakin maju dan sukses!

Makaseh bah, Kompasiana! (Versi terima kasih dalam suku Dayak Desa).

Salam

GN, Polandia, 26 Oktober 2020

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun