Saya bukan seorang warga negara Indonesia yang sudah berpindah menjadi warga negara asing. Keberadaan saya di luar negri tak lain sebagai seorang pelajar, yang atas kemurahan hati pihak tertentu, memberi kesempatan yang indah kepada saya untuk menambah pengetahuan dan pengalaman di negri orang. Tepatnya di kota Lublin, Polandia.
Pengalaman yang hendak saya bagikan berikut ini bukan tentang syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk bisa menjadi warga negara Polandia. Yang jelas, pasti akan ada banyak persyaratan yang harus dipenuhi untuk bisa memperoleh status kewarganegaraan Polandia.
Salah satunya tentu saja harus mengajukan permohonan untuk mendapatkan Permanent Residence. Sebuah proses yang tidak gampang tentunya. Saya sendiri yang hanya berstatus sebagai seorang pelajar ada banyak sekali syarat yang harus dipenuhi untuk mendapatkan Kartu Izin Tinggal Sementara (Temporary Residence Card).
Kisah berikut hanyalah sekelumit kisah tentang seorang anak rantau yang selalu rindu akan tanah air tercinta. Kisah tentang seorang anak rantau yang rasa keindonesiaannya tak pernah luntur, meski menyaksikan kemegahan dan kemajuan negara lain.
Selama keberadaan saya di negara yang benderanya berwana putih merah ini, ada dua peristiwa yang semakin mempertebal rasa cinta saya kepada Indonesia.
Pertama, perjumpaan saya dengan Kardinal Stanisaw Dziwisz, mantan sekretaris pribadi Santo Paus Yohanes Paulus II hampir selama 40 tahun. Sebuah perjumpaan yang sungguh sangat singkat.Â
Namun, beliau sudah mampu membuat api cinta saya kepada Indonesia semakin menyala-nyala dengan hanya satu kata yang beliau ucapkan, "Pancasila".
Kedua, pengalaman menjadi seorang "raja". Sebuah pengalaman berharga yang hendak saya bagikan dalam kesempatan kali ini.
Ya. Bersama seorang teman dari Nigeria dan Syria, saya pernah menjadi seorang raja. Bahkan sampai dua kali. Tepatnya di bulan Januari 2018 dan Januari 2019 pada Hari Raya Penampakan Tuhan (Epifani). Hari raya ini disebut juga Pesta Tiga Raja dari Timur. Orszak Trzech Krli (Prosesi Tiga Raja) dalam bahasa Polandianya.
Bagi negara Polandia, yang mayoritas penduduknya beragama Katolik, pesta ini dirayakan dengan sangat meriah hampir di setiap pelosok kota.
Pesta ini dirayakan setiap tanggal 6 Januari bertepatan dengan Hari Raya Penampakan Tuhan dalam kalender liturgi Gereja Katolik.
Pada hari raya ini memang akan selalu diadakan suatu prosesi yang meriah. Karena masih dalam suasana Natal, para umat akan menyanyikan lagu-lagu Natal (Christmas Carol) sepanjang prosesi berjalan.
Sementara kami yang bertindak sebagai raja, akan berdiri di atas sebuah kereta yang diusung oleh anak-anak muda yang berpakaian tentara. Kami hanya cukup menebarkan senyum termanis dan melambaikan tangan untuk menyapa umat yang sudah berdiri menunggu di pinggir-pinggir jalan.
Prosesi ini sendiri menuju gedung gereja sebagai titik akhir. Setelah seluruh rangkaian prosesi selesai akan ditutup dengan perayaan Misa bersama.
Selain Pesta Tiga Raja dari Timur, Hari Raya Epifani juga disebut Pesta Tiga Orang Majus atau Tiga Orang Bijaksana dari Timur. Nama ketiga raja atau orang majus tersebut ialah Gaspar, Baltazar dan Melkhior.
Mendengar berita bahwa Yesus, Sang Juruselamat, sudah lahir di Betlehem, ketiga orang majus itu datang ke Yerusalem. Kedatangan mereka tiada lain ialah ingin menyembah Sang Juruselamat yang telah lahir. Namun, berita tentang kelahiran Yesus dan maksud kedatangan mereka diketahui oleh raja yang memerintah Yudea pada zaman itu, raja Herodes.
Dia pun dengan diam-diam memanggil ketiga orang majus itu dengan maksud supaya ketika mereka sudah menemukan tempat di nama bayi Yesus dilahirkan, mereka harus datang kembali menghadapnya. Dengan begitu, sang raja pun bisa datang dan menyembah-Nya.
Maka berangkatlah ketiga orang majus tersebut. Atas bimbingan bintang, mereka pun menemukan tempat di mana Sang Juruselamat dilahirkan. Mereka pun masuk ke dalam rumah dan melihat Anak itu bersama Maria, ibu-Nya, lalu sujud menyembah Dia. Mereka pun membuka tempat harta bendanya dan mempersembahkan persembahan kepada-Nya, yaitu emas, kemenyan dan mur.Â
Di dalam mimpi mereka diperingatkan supaya tidak kembali kepada Herodes. Karena itu, mereka pulang ke negeri asalnya melalui jalan lain.
Kisah tentang kunjungan ketiga orang majus ini sendiri terdapat dalam Injil Matius 2:1-12.
Ketiga Raja dari Timur ini bukanlah orang biasa. Sebagai seorang raja tentulah mereka memiliki kedudukan yang tinggi. Harta kekayaan pun pasti tak terbilang banyaknya.Â
Namun, segala sesuatu yang mereka miliki ini tidak membutakan mata dan hati mereka akan kabar gembira keselamatan yang datang dari Allah, yakni berita kelahiran Sang Juruselamat.
Mereka meninggalkan kemegahan dan kenyamanan hidup di istana. Pergi menempuh perjalanan yang jauh dan melelahkan hanya untuk menyembah dan mempersembahkan persembahan kepada Dia yang telah lahir di Betlehem.
Kepulangan mereka ke negeri asal dengan melalui jalan lain merupakan sebuah perutusan agar kegembiraan yang telah mereka alami tidak mereka simpan untuk diri mereka sendiri, tapi mereka bagikan juga kepada orang lain.
Begitulah kira-kira salah satu pesan yang bisa dipetik dari kunjungan tiga raja dari Timur ini. Sebuah pesan yang sungguh aktual dan relevan dengan kondisi zaman sekarang.Â
Terlebih lagi dengan situasi benua Eropa di mana sekularisme perlahan-lahan menggerus cita rasa akan Yang Ilahi (sense of God). Orang tidak peduli lagi akan kehadiran Yang Ilahi.Â
Apalagi berdoa kepada-Nya dipandang sebagai kesia-siaan. Tidak heran kemudian di beberapa negara Eropa, bangunan gereja ditutup dan dialihfungsikan.
Otoritas Gereja Polandia tentu menyadari betul ancaman sekularisme ini. Diadakannya Prosesi Tiga Raja ini tiada lain bertujuan untuk mengajak umat beriman bersuka cita menyambut Sang Juruselamat yang telah lahir ke dunia. Dan setelah mengalami suka cita itu, mereka kemudian bisa berbagi kepada sesama untuk saling meneguhkan dan menguatkan.
Prosesi yang ditutup dengan perayaan Ekaristi bersama ini juga ingin menanamkan dalam hati umat beriman bahwa Tuhanlah satu-satunya sumber kebahagiaan dan keselamatan hidup mereka.
Lihatlah. Betapa kaya dan dalam makna yang terkandung di balik tradisi ini. Siapa yang tidak merasa bahagia bisa turut ambil bagian di dalamnya. Apalagi bisa mengambil bagian terpenting dari tradisi tersebut, yakni dengan menjadi seorang raja.
Namun bukan itu poin yang utama. Seperti sudah saya katakan di atas, pengalaman ini semakin mempertebal rasa cinta saya kepada Indonesia. Saya berterima kasih kepada otoritas Gereja lokal yang telah memberikan kepercayaan kepada saya. Sebuah kepercayaan yang tidak boleh saya sia-siakan.
Saya berpikir ini menjadi kesempatan yang baik untuk mewartakan kepada masyarakat Polandia bahwa di muka bumi ini ada sebuah negara berdaulat yang bernama INDONESIA. Negara yang indah dengan kekayaan alamnya yang mempesoan. Negara yang indah dengan keragaman suku, agama, bahasa dan budaya.
Salam
GN, Polandia, 13 Oktober 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H