"Benteng paling kuat dalam menangkal segala godaan adalah pertolongan Tuhan YME. Banyak orang jatuh ke dalam jerat perselingkuhan karena telah lama melupakan Tuhan."
Begitulah petuah nan bijaksana yang disampaikan oleh Romo Bobby (Ruang Berbagi) dalam artikelnya 7 Cara Praktis Hindari Perselingkuhan dengan Rekan Kerja.
Seperti biasa, saya kembali akan menyibukkan diri dengan tema tentang adat dan budaya dalam suku Dayak Desa. Tema ini berkaitan erat dengan hidup berkeluarga. Romo Bobby sangat tepat mengatakan bahwa pertolongan Tuhan menjadi kekuatan bagi kita agar tidak jatuh ke dalam pencobaan.
Upacara adat yang akan saya suguhkan kali ini menampakkan dengan jelas ketulusan hati umat manusia untuk memohon berkat, penyertaan dan perlindungan Tuhan YME (Petara Yang Agung), para leluhur dan alam semesta dalam mengarungi bahtera rumah tangga.
Mereka menyadari akan ada banyak rintangan dan tantangan yang menghadang dalam membangun rumah tangga yang bahagia. Diadakannya upacara adat ini, selain sebagai bentuk peresmian secara adat atas sebuah rumah sehingga layak untuk didiami, juga hendak menanamkan di dalam hati sanubari pasangan suami-istri agar selalu setia dalam untung dan malang, dalam sehat dan sakit, dalam suka dan duka.
Seperti apa bentuk upacara adat memasuki rumah baru ini? Rangkaian upacara akan dimulai dengan proses mengelilingi rumah sebanyak tujuh (7) kali. Urut-urutan prosesinya ialah sebagai berikut:
- Orang tua atau orang yang dituakan. Dia membawa mangkok berisi garam atau abu. Garam atau Abu tersebut akan ditaburkan selama prosesi berjalan. Tujuannya untuk menghalau segala yang jahat yang dapat merintangi kelancaran upacara.
- Pembawa sedung, yang di dalamnya terdapat tempayan berisi beras (Sedung merupakan anyaman yang terbuat dari rotan. Biasa digunakan oleh warga untuk membawa segala perlengkapan masak memasak ketika pergi ke ladang).
- Suami (kepala keluarga dari yang empunya rumah baru).
- Istri.
- Anak-anak.
- Sanak keluarga yang lain (Optional)
Setelah proses mengelilingi rumah selesai, saatnya bagi anggota keluarga memasuki rumah baru mereka. Namun, sebelum mereka masuk ke dalam rumah masih ada serangkaian upacara adat yang akan dilakukan. Di depan pintu sudah disediakan seekor hewan kurban (babi) dan sebuah talam yang di atasnya terdapat batu asah, telur ayam dan beras.
Upacara adat yang berlangsung di depan pintu ini ialah pembasuhan kaki semua anggota keluarga yang akan menempati rumah baru tersebut. Upacara ini akan dipimpin oleh salah seorang tetua adat.
Pembasuhan kaki dimulai suami, lalu istri dan terakhir anak-anak. Mereka semua harus menginjakkan kakinya di atas batu asah sambil dibasuh oleh pemimpin upacara.
Namun terkhusus untuk sang suami, pembasuhan kaki akan disertai dengan pembacaan mantra. Sedangkan sang istri, dia mempunyai tugas untuk menginjak telur ayam sampai pecah.
***
Upacara adat ini kaya akan simbol-simbol. Kita menjumpai ada angka 7. Lalu ada tempayan berisi beras yang disimpan di dalam sedung. Ada juga batu asah dan telur ayam.
Mengapa harus 7 kali? Angka 7, dalam Suku Dayak, mempunyai keistimewaan. Angka 7 merupakan angka yang sakral.
Mantra-mantra yang dilafalkan dalam ritual-ritual adat selalu diawali dengan berhitung sampai pada angka 7. Perhatikan contoh mantra/doa yang dihunjukkan kepada Petara Yang Agung pada saat warga hendak mulai membuka lahan untuk perladangan.
"Sak, dua, tiga, empat, limak, enam, tujuh,... Kami tuk kak kerja, nebas-nebang di tok. Kami suruh berkat, kami suruh selamat...dst ". (Artinya: "Satu, dua, tiga, empat, lima, enam, tujuh,... Kami ini mau bekerja, menebas-menebang di sini. Kami mohon berkat, kami minta selamat.")
Lalu tempayan berisi beras apa maknanya? Sudah menjadi kebiasaan bagi orang Dayak menyimpan beras di dalam tempayan. Beras, bagi masyarakat Dayak, tidak hanya sebagai kebutuhan pokok.
Dalam banyak upacara adat, beras selalu digunakan. Ada, misalnya, beras kuning. Adalah beras yang telah dicampur dengan kunyit dalam suatu upacara dan disakralkan dengan mantra-mantra gaib seturut keperluan upacara adat.
Valentinus Saeng, dalam salah satu artikelnya, menyebutkan beberapa macam fungsi dari beras kuning: untuk meneguhkan hidup batiniah seseorang yang baru sembuh dari sakit atau terlepas dari kecelakaan, untuk menyumpahi orang yang tertangkap basah melakukan tindakan asusila dan kriminal tetapi tidak mengaku, menyucikan ladang dan tempat keramat, dll.
Sementara itu, batu melambangkan kerasnya niat dan usaha manusia untuk meraih suatu kebaikan serta tujuan hidup. Sedangkan telur ayam kampung yang berisi kehidupan, dia akan diinjak lalu tercurah ke bumi. Ini mengandung harapan agar bumi (tanah) Â selalu subur. Dengan demikian, mendatangkan kesejahteraan bagi manusia.
Juga yang tak boleh dilupakan ialah pegelak (sesajen). Pegelak ini terdiri atas nasi, daging, sayur-sayuran, dll. Pegelak ini akan disimpan di atas sebuah piring, dan harus dibuat menggunung. Tujuan dibuat demikian dengan harapan bahwa rejeki keluarga ini nanti kan menggunung, berlimpah ruah.
Prosesi pengelilingan rumah juga sarat dengan makna. Pertama, berkaitan dengan urut-urutan. Dikutsertakannya orang tua atau orang yang dituakan dalam prosesi bukan tanpa maksud.
Posisi mereka yang berada di bagian depan hendak mengingatkan, khususnya keluarga yang akan pindah rumah, untuk selalu mendengarkan petuah dan nasihat orang tua/mertua dalam membina hidup berumah tangga.
Begitu juga posisi kepala keluarga (suami) yang berada di depan istri dan anak-anaknya. Sebagai kepala kelaurga, dia menjadi nakhoda bagi biduk rumah tangga dalam mengarungi samudera kehidupan. Dengan segenap jiwa raganya, dia bertanggung jawab menjaga, melindungi, menuntun istri dan anak-anak yang Tuhan percayakan kepadanya.
Posisi istri yang berada di belakang suami tentu juga mengandung maksud tersendiri. Posisi ini tentu tidak hendak memandang rendah kaum perempuan. Seolah-olah perempuan hanyalah sebagai pembantu bagi suami. Hanya mengikut saja pada apa yang dikatakan oleh suami.Â
Pandangan demikian tentu tidak sejalan dengan sistem kekerabatan bilateral yang dianut oleh suku Dayak. Berada di belakang suami hendak menempatkan istri sebagai teman sejalan yang akan selalu siap sedia mendukung serta melengkapi kekurangan suaminya.
Sedangkan posisi anak-anak yang berada di belakang orang tua mereka hendak mengingatkan anak-anak agar patuh dan taat pada kedua orang tua.
Kedua, berkaitan dengan pantangan. Prosesi pengelilingan rumah harus berjalan dengan lancar dan mulus. Bila ada terjadi sesuatu yang tidak beres selama prosesi berlangsung diyakini sebagai pertanda buruk bagi masa depan rumah tangga yang akan mendiami rumah baru tersebut. Karena itu, ada satu pantangan yang harus diperhatikan segenap anggota keluarga, yakni: TIDAK BOLEH JATUH!
Upacara pembasuhan kaki mengandung makna, yakni membuang segala hal yang tidak baik, aura-aura negatif agar tidak turut masuk bersama para penghuni ke dalam rumah baru mereka. Dengan begitu, rumah yang akan mereka diami selalu aman tentram, dan hidup mereka sehat dan sejahtera.
Puncak dari upacara adat ini ialah syukuran keluarga atas rumah yang baru saja mereka tempati. Syukuran ini akan dilangsungkan pada malam hari. Berdasarkan adat dan kepercayaan masyarakat Dayak Desa, pesta syukuran ini harus dilakukan semalam suntuk.
Kana adalah syarat utama yang harus ada untuk mengisi acara syukuran ini. Kana sendiri adalah tradisi lisan Dayak Desa yang berbentuk cerita lirik, semacam syair panjang yang dituturkan oleh orang-orang tertentu, yang telah memiliki syarat-syarat tertentu (misalnya usia, keturunan, dan tentu juga keahlian). Cara menceritakannya disebut bekana.
Kana memiliki lagu dan birama tersendiri sehingga menghasilkan bunyi yang indah. Kana bercerita tentang kehidupan manusia di langit dan terkadang mereka juga turun ke bumi. Isi ceritanya adalah tentang percintaan dan kehidupan.
Dalam suku Dayak Desa, kana akan selalu ditampilkan pada fase atau peristiwa khusus dan penting dalam hidup perseorangan maupun komunitas. Sebagai contoh pada saat pesta syukur atas hasil panen (Gawai), pesta perkawinan dan dalam kesempatan-kesempatan khusus lainnya.
***
Begitulah upacara adat dalam suku Dayak Desa ketika memasuki rumah baru. Semoga bermanfaat dan bisa sedikit menjadi sumber inspirasi, khususnya dalam membina hidup berumah tangga.
Salam Budaya.
GN, Polandia, 15 September 2020
***
Catatan: Upacara adat yang saya jadikan contoh dalam tulisan ini ialah upacara pindah rumah Abang saya yang tertua. Keluarganya pindah ke rumah baru mereka pada pertengahan 2019 yang lalu. Kebetulan waktu itu saya sedang liburan jadi bisa turut meramaikan acara tersebut.
Dan untuk melengkapi suka cita serta untuk meneguhkan iman, harapan dan kasih keluarga Abang, saya memimpin langsung doa pemberkatan rumah seturut ritus Katolik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H