Mohon tunggu...
Gregorius Nyaming
Gregorius Nyaming Mohon Tunggu... Pemuka Agama - Hanya seorang anak peladang

Seorang Pastor Katolik yang mengabdikan hidupnya untuk Keuskupan Sintang. Sedang menempuh studi di Universitas Katolik St. Yohanes Paulus II Lublin, Polandia.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Alasan Saya Menulis tentang Suku Dayak

10 September 2020   05:48 Diperbarui: 10 September 2020   05:46 629
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: soundcloud.com

Sebanyak 29 artikel sudah saya tulis di Kompasiana ini. 10 di antara berbicara tentang kebudayaan suku Dayak, terutama sub suku Dayak Desa, dengan segala kekayaan tradisi dan budayanya. Termasuk juga di dalamnya soal kearifan berladang. Puji Tuhan dari ke-10 artikel tersebut, 6 di antaranya pernah mendapat label Artikel Utama.

Tentu saja ada rasa senang. Di atas segalanya, hal yang membuat saya lebih senang ialah para Kompasianer menjadi tahu bahwa di muka bumi ini ada hidup sebuah rumpun suku bangsa yang namanya suku bangsa Dayak. Juga, Kompasianer sekalian bisa mengenal sedikit banyak kebudayaan Dayak, merupakan hal lain yang membuat saya senang.

Mengapa saya begitu menggandrungi tema-tema seputaran suku Dayak? Bahwa saya adalah ANDAS (Anak Dayak Asli) merupakan salah satu alasannya. Namun, alasan yang paling utama ketertarikan tersebut tak bisa dilepaskan dari status saya sekarang ini, yakni sebagai seorang gembala umat dalam Gereja Katolik (pastor).

Sebagai seorang gembala umat, mewartakan sabda Tuhan serta mengajarkan harta kekayaan  iman Kristiani (depositum fidei) kepada jemaat merupakan salah satu tugas, dari sekian banyak tugas, yang harus saya kerjakan. Dan, berhasil atau tidaknya pewartaan atau pengajaran tersebut sangat bergantung pada metode atau model pendekatan seperti apa yang saya gunakan. 

Katekese (pengajaran agama) yang efektif dan tepat sasaran, dengan demikian, haruslah katekese yang kontekstual, baik dalam metode, sarana, juga dalam isinya. Katekese yang kontekstual ialah katekese yang menggunakan sarana, metode dan isi atau bahan yang disesuaikan dengan keadaan dan kebutuhan subjek katekese, disesuaikan dengan konteks aktual, yang beradaptasi dengan keadaan dan kebutuhan yang ada.

Katekese yang kontekstual tersebut tidak ada tujuan lain selain terjadinya transmisi iman yang diwariskan turun temurun oleh Gereja, serta terjadinya transformasi hidup dalam diri jemaat beriman.

***

Pentingnya penggunaan katekese yang kontekstual sejalan dengan sikap Gereja Katolik sendiri yang sungguh menghargai dan menekankan pentingnya ragam tradisi dan budaya manusia dalam tugasnya mewartakan Injil (Kabar Gembira) kepada seluruh umat manusia.

Dalam Konstitusi Dogmatis tentang Gereja (Lumen Gentium) artikel 58, Konsili Vatikan Kedua menandaskan: "Sebab Allah, yang mewahyukan diri-Nya sepenuhnya dalam Putra-Nya yang menjelma, telah bersabda menurut kebudayaan yang khas bagi pelbagai zaman. Aneka ragam budaya manusia sungguh dapat menjadi medan pewartaan Gereja menyebarluaskan dan menguraikan pewartaan tentang Kristus, untuk menggali dan semakin menyelaminya, serta untuk mengungkapkannya secara lebih baik dalam perayaan liturgi dan dalam kehidupan jemaat beriman yang beraneka ragam."

Pentingnya ragam tradisi dan budaya manusia dalam karya misi perutusan Gereja, juga ditandaskan dengan indah oleh mendiang Paus Yohanes Paulus II dalam ensikliknya Penebus Umat Manusia (Redemptor Hominis). Bapa Suci mengajarkan: "Sikap misioner selalu mulai dengan cita rasa menghargai secara mendalam "apa yang ada pada manusia" (Bdk. Yoh. 2:25),  apa yang oleh manusia sendiri telah dikaji dalam lubuk jiwanya mengenai persoalan apa yang paling penting dan mendalam. Misi, dengan demikian, tidak pernah berupa penghancuran, melainkan mengangkat dan membangun secara segar."

***

Dalam terang kedua ajaran di atas, saya melihat bahwa kekayaan tradisi dan budaya yang hidup dalam suku Dayak sungguh dapat menjadi medan pewartaan Gereja menyebarluaskan dan menguraikan pewartaan tentang Yesus Kristus.

Keseharian hidup manusia Dayak sungguh menampilkan kebijaksanaan akan kehidupan. Hal ini dapat dilihat dari kearifan lokal yang tersembunyo dalam tradisi hidup sehari-hari, dalam mitologi, dalam bentuk ritual penghormatan dan upacara adat.

Saat kelahiran, mandi pertama kali di sungai, saat menanjak dewasa, saat ada orang sakit, menikah, kematian, kegiatan terkait perladangan, pesta-pesta adat, pembangunan rumah, masuk rumah baru, dst selalu ada ritual-ritual khusus yang dilakukan.

Dalam ritual-ritual itu, tersimpan harta kekayaan yang telah diwariskan oleh para leluhur dalam upaya menjalani dan memaknai seluruh rangkaian peristiwa kehidupan. Manusia Dayak meyakini bahwa hidup dan alam semesta beserta isinya adalah anugerah dari Sang Pencipta (Petara ).

Ritual, dengan demikian, menjadi bentuk konkret dari pengungkapan atau pementasan iman manusia Dayak. Sekaligus juga sebagai perbuatan penyuci peristiwa penting dalam kehidupan mereka menurut tata cara tertentu dan secara berskala.

***

Lalu, model pendekatan seperti apa yang harus digunakan agar baik pewartaan maupun pengajaran saya tersebut sungguh mengena dengan realitas kehidupan umat?

Model pendekatan antropologi kiranya dipandang menjadi model yang cocok untuk digunakan. Alasannya, karena model ini menjadikan  ragam tradisi dan budaya manusia sebagai locus-nya. Budaya manusia dijadikan sebagai titik berangkat. Model ini memusatkan diri pada nilai dan kebaikan dari anthropos (pribadi manusia). Dalam model ini kodrat manusia, dan konteks manusia itu sendiri, dipandang baik, kudus dan bernilai (Stephen B. Bevans)

Model pendekatan antropologi menaruh hormat yang tinggi terhadap kebudayaan lokal. Akan tetapi, model ini tidak berhenti hanya sampai pada rasa hormat. Ia akan berusaha memahami kebudayaan lokal, lalu berusaha menilai kekayaan budaya itu dalam cahaya Injil. Hal ini harus dilakukan mengingat dalam setiap kebudayaan manusia terkandung harta kekayaan yang harus digali dan diselami.

Dialog yang jujur dan sabar dengan kebudayaan lokal kiranya menjadi sangat penting dalam upaya penggalian kekayaan budaya tersebut.

Setelah harta kekayaan budaya lokal digali dan diselami, maka selanjutnya Gereja lokal dalam merumuskan kebijakan-kebijakan pastoral harus juga bertolak dari dalam dunia simbol dan adat masyarakat setempat.

Berkaitan dengan hal tersebut, Paus Fransiskus dalam ensiklik Laudato Si, menegasakn: "Pengembangan kelompok sosial mengandaikan suatu proses sejarah yang berlangsung dalam suatu konteks budaya, dan membutuhkan keterlibatan terus-menerus, terutama dari pelaku masyarakat lokal, dengan bertolak dari budaya mereak sendiri. hal tersebut hendak menegaskan bahwa gagasan tentang kualitas hidup tidak dapat dipaksakan, tetapi harus dipahami dari dalam dunia simbol dan adat yang menjadi milik masing-masing kelompok manusia."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun