Mohon tunggu...
Gregorius Nyaming
Gregorius Nyaming Mohon Tunggu... Pemuka Agama - Hanya seorang anak peladang

Seorang Pastor Katolik yang mengabdikan hidupnya untuk Keuskupan Sintang. Sedang menempuh studi di Universitas Katolik St. Yohanes Paulus II Lublin, Polandia.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Mengenal Adat Pati dalam Kearifan Berladang Suku Dayak

25 Agustus 2020   05:14 Diperbarui: 28 Agustus 2020   14:20 2766
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sesajen ditempatkan didekat pohon ara. Sumber: Idem.

Alam dan manusia Dayak untuk selamanya tak akan pernah dapat dipisahkan. Karena itu, alam sebagai bagian dari seluruh kehidupan mereka harus diperlakukan dan dimanfaatkan secara hormat dan beradat.

Perlakuan dan pemanfaatan alam secara hormat dan beradat diperlukan mengingat, pertama, karena manusia Dayak menyatu dengannya, tergantung darinya dan hidup dalam kebersamaan dengannya. Kedua, Yang Ilahi hadir dalam dan melalui alam.

Alam kadang kala dialami sebagai suatu yang memiliki kekuatan "magis", yang selain menciptakan rasa hormat dari pihak manusia tetapi juga ketakutan.

Perlakuan dan pemanfaatan yang bijaksana, hormat dan beradat terhadap alam tidak ada tujuan lain selain terbangun dan terpeliharanya relasi yang harmonis dengan alam itu sendiri.

Namun, upaya membangun dan memelihara keharmonisan tersebut bukan berarti tanpa tantangan dan hambatan. Sistem berladang dengan cara membakar merupakan tantangan nyata yang dihadapi oleh para peladang. Kebakaran hutan dan lahan menjadi ancaman utama jika mereka tidak bijak dan hati-hati dalam mengolah lahan pertanian.

Karena itu, untuk menghindari terjadinya kebakaran hutan dan lahan sudah ada aturan yang harus ditaati oleh semua warga. Dalam aturan tersebut setiap warga dilarang keras membakar lahan miliknya hanya seorang diri saja. Tak peduli berapa pun luas lahan yang mereka miliki, warga harus menginformasikan kepada orang sekampung jika hendak membakar ladang.

Memperhatikan kecepatan angin merupakan aturan lain yang tak boleh diabaikan. Warga tidak akan mulai membakar ladang bila dirasa angin masih terlalu kencang bertiup. Jika dipaksakan, ada kemungkinan api bisa menjalar keluar lokasi perladangan.

Aturan memang sudah ada dan ditaati. Namun, yang namanya musibah kadang berada di luar kendali manusia. Musibah itulah yang menimpa paman saya pada pertengahan tahun 2019 yang lalu. Tepatnya pada bulan Agustus. Bagi para peladang, bulan Agustus, jika tidak sering turun hujan, biasanya menjadi kesempatan yang baik untuk membakar lahan.

Paman saya ini kebetulan membuka ladang berdekatan dengan tanah makam leluhur kami. Tanah makam (kami menyeputnya gupung) merupakan hutan adat. Di kampung kami sendiri ada cukup banyak gupung. Sebagai hutan adat tentu saja harus dijaga dan dilindungi oleh segenap warga.

Seluruh warga kampung, tanpa terkecuali, dilarang keras membuka ladang atau kebun di gupung-gupung tersebut. Gupung merupakan tanah pamali. Akan ada bahaya yang mengancam keselamatan penduduk bila larangan tersebut diabaikan.

Di setiap gupung biasanya tumbuh pohon ara liar (kiarak dalam bahasa daerahnya) yang besar dan rindang. Oleh warga, pohon ini diyakini sebagai tempat tinggal roh-roh leluhur. Karena itu, tidak boleh diganggu gugat. Apalagi ditebang.

Paman saya tahu dengan baik kalau tanah makam merupakan tanah pamali. Ini bukan pertama kalinya dia berladang di situ. Dia pun tentu selalu ingat pesan bahwa siapapun yang berladang dekat gupung harus ekstra hati-hati, terutama saat membakar ladang miliknya.

Sadar akan hal tersebut, paman saya pun melibatkan banyak orang saat membakar ladang miliknya guna mengantisipasi api agar tidak menjalar ke tanah makam. Namun, nasib malang tak dapat dielakkan. Kencangnya tiupan angin nampaknya menjadi faktor utama yang menyebabkan kobaran api menjalar keluar.

Peristiwa ini tentu saja membuat paman saya sangat sedih dan terpukul. Memang tidak ada unsur kesengajaan maupun kelalaian dalam peristiwa itu. Namun, hal tersebut bukanlah menjadi alasan bagi paman terlepas dari jerat hukum adat.

Hukum adat tersebutlah yang dinamakan dengan Adat Pati. Adat pati bisa diartikan sebagai denda adat terhadap orang yang telah menyebabkan sesama manusia atau alam terluka.

Bagaimana upacara adat pati itu dilaksanakan? Upacara atau ritual adat ini dipusatkan pada pohon ara yang telah termakan api. Dalam ritual ini warga harus menyediakan sesajen (pegelak). Sesajen ini nantinya akan disimpan ditempat khusus yang terbuat dari anyaman bambu (ranccak). Nantinya, rancak ini akan digantung di dekat pohon ara.

Setelah semua sesajen siap, maka ritual adat pun di mulai. Ritual ini biasanya dipimpin oleh satu dan/atau dua orang yang dituakan dengan syarat mereka paham betul akan mantra-mantra terkait dengan adat pati tersebut.  

Sesajen (Pegelak) yang digunakan untuk upacara adat pati. Sumber: Idem.
Sesajen (Pegelak) yang digunakan untuk upacara adat pati. Sumber: Idem.
Dalam hemat saya, ada beberapa makna yang terkandung dalam upacara adat pati ini:

Tanda Penyesalan dan Permohonan Ampun
Warga menyadari bahwa mereka telah mengusik ketenangan roh leluhur dengan membiarkan rumah kediaman mereka termakan api. Meski, sekali lagi, sama sekali tidak ada unsur kesengajaan, warga yang masih hidup harus dengan rendah hati menyesali perbuatan mereka dan memohon ampun atas perbuatan mereka itu.

Penyesalan dan permohonan ampun lahir dari rasa hormat yang sangat tinggi terhadap para leluhur. Rasa hormat itu ditunjukkan dengan selalu menjaga hubungan baik dengan mereka. 

Hubungan baik ini harus terus dipelihara, sebab para leluhur seringkali menyampaikan pesan-pesan penting lewat mimpi dan tanda-tanda alam bagi kebaikan dan keselamatan hidup para keturunannya yang masih menapaki hidup di bumi ini. Akan tetapi, roh leluhur juga bisa menunjukkan kemarahan jika keberadaan mereka tidak dihormati.

Mencegah terjadinya Malapetaka
Apakah terbakarnya tanah makam bisa mendatangkan celaka atau malapetaka? Kalau memang bisa, siapa saja yang bisa tertimpa malapetaka tersebut? Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini bisa dipahami dalam cara pandang kosmis yang dianut oleh orang Dayak.

Cara pandang ini meyakini ketakterpisahannya antara realitas kosmos (manusia dan dunianya) serta realitas transenden. Dengan menghidupi pandangan ini, manusia Dayak menaruh hormat yang tinggi kepada kekuatan-kekuatan gaib dan roh leluhur.

Orang Dayak yakin bahwa alam punya "roh", "jiwa" tertentu yang memberikan kehidupan kepada manusia. Maka dari itu harus dihormati. Oleh karena itu pula perilaku manusia harus baik dan sopan dalam memanfaatkan alam atau ketika harus bersentuhan dengan alam.

Pohon-pohon besar, sungai, batu-batu besar, dan tempat-tempat tertentu dikeramatkan karena "pengalaman" perjumpaan dengannya "membuktikan" bahwa di situ hadir Yang Ilahi atau menjadi perpanjangan tangan kehadiran yang Ilahi itu. Rasa hormat diungkapkan dengan sikap dan tutur kata yang sopan dan santun, serta lewat upacara atau ritual adat.

Dari pemahaman di atas, terlukanya tanah makam tentu saja dapat mendatangkan malapetaka. Malapetaka tersebut tidak hanya bisa menimpa si pemilik ladang beserta seluruh anggota keluarganya, tapi juga seluruh warga kampung. Guna mencegah terjadinya malapetaka tersebut, ritual adat wajib dilakukan.

Memulihkan Relasi dengan Petara, Sesama dan Alam
Terbakarnya hutan, terlebih lagi hutan adat tempat di mana roh para leluhur bersemayam, tentu saja telah merusak keharmonisan dengan Sang Pencipta (Petara), dengan sesama dan dengan alam.

Relasi dengan alam memang yang nampaknya terganggu. Namun, sejak ketiga relasi ini saling terkait erat, maka relasi dengan Petara dan dengan sesama dengan sendirinya ikut terganggu.

Relasi harmonis yang sudah sedikit agak terganggu itu harus segera dipulihkan. Pemulihan tersebut harus dilakukan agar ke depannya segala usaha dan jerih payah dalam seluruh proses perladangan diberkati oleh Petara dan alam semesta. Dengan demikian, kehidupan mereka akan sejahtera baik secara jasmani maupun rohani.

Sesajen ditempatkan didekat pohon ara. Sumber: Idem.
Sesajen ditempatkan didekat pohon ara. Sumber: Idem.
* * *
Masih eksisnya adat pati dalam kehidupan para peladang secara tidak langsung hendak menunjukkan kepada mereka yang tanpa alasan menuduh peladang sebagai penyebab kebakaran hutan dan lahan. Yang menyamakan peladang dengan penjahat.

Peladang bukanlah penjahat. Umumnya mereka menggarap alam semata-mata untuk hidup, tidak mengeksploitasinya untuk mencari keuntungan pribadi. Maka, terbatas dan terukur.

Dan, di tengah dominasi paradigma teknologis yang telah merusak bumi dan manusia, keberadaan adat pati merupakan budaya alternatif atau budaya tandingan. Dengan budaya alternatif dimaksudkan suatu pola pandang dan perilaku yang menjadi tandingan terhadap pola pandang dan perilaku yang berlaku umum dalam masyarakat.

Mengembangkan budaya alternatif dipandang perlu apalagi di tengah kerusakan hutan dan lingkungan yang semakin parah. Tujuannya tiada lain supaya akar-akar yang menyebabkan kerusakan lingkungan diharapkan dapat diatasi.

Semoga bermanfaat dan menginspirasi.
Salam Anak Peladang

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun