Cara pandang ini meyakini ketakterpisahannya antara realitas kosmos (manusia dan dunianya) serta realitas transenden. Dengan menghidupi pandangan ini, manusia Dayak menaruh hormat yang tinggi kepada kekuatan-kekuatan gaib dan roh leluhur.
Orang Dayak yakin bahwa alam punya "roh", "jiwa" tertentu yang memberikan kehidupan kepada manusia. Maka dari itu harus dihormati. Oleh karena itu pula perilaku manusia harus baik dan sopan dalam memanfaatkan alam atau ketika harus bersentuhan dengan alam.
Pohon-pohon besar, sungai, batu-batu besar, dan tempat-tempat tertentu dikeramatkan karena "pengalaman" perjumpaan dengannya "membuktikan" bahwa di situ hadir Yang Ilahi atau menjadi perpanjangan tangan kehadiran yang Ilahi itu. Rasa hormat diungkapkan dengan sikap dan tutur kata yang sopan dan santun, serta lewat upacara atau ritual adat.
Dari pemahaman di atas, terlukanya tanah makam tentu saja dapat mendatangkan malapetaka. Malapetaka tersebut tidak hanya bisa menimpa si pemilik ladang beserta seluruh anggota keluarganya, tapi juga seluruh warga kampung. Guna mencegah terjadinya malapetaka tersebut, ritual adat wajib dilakukan.
Memulihkan Relasi dengan Petara, Sesama dan Alam
Terbakarnya hutan, terlebih lagi hutan adat tempat di mana roh para leluhur bersemayam, tentu saja telah merusak keharmonisan dengan Sang Pencipta (Petara), dengan sesama dan dengan alam.
Relasi dengan alam memang yang nampaknya terganggu. Namun, sejak ketiga relasi ini saling terkait erat, maka relasi dengan Petara dan dengan sesama dengan sendirinya ikut terganggu.
Relasi harmonis yang sudah sedikit agak terganggu itu harus segera dipulihkan. Pemulihan tersebut harus dilakukan agar ke depannya segala usaha dan jerih payah dalam seluruh proses perladangan diberkati oleh Petara dan alam semesta. Dengan demikian, kehidupan mereka akan sejahtera baik secara jasmani maupun rohani.
Masih eksisnya adat pati dalam kehidupan para peladang secara tidak langsung hendak menunjukkan kepada mereka yang tanpa alasan menuduh peladang sebagai penyebab kebakaran hutan dan lahan. Yang menyamakan peladang dengan penjahat.
Peladang bukanlah penjahat. Umumnya mereka menggarap alam semata-mata untuk hidup, tidak mengeksploitasinya untuk mencari keuntungan pribadi. Maka, terbatas dan terukur.
Dan, di tengah dominasi paradigma teknologis yang telah merusak bumi dan manusia, keberadaan adat pati merupakan budaya alternatif atau budaya tandingan. Dengan budaya alternatif dimaksudkan suatu pola pandang dan perilaku yang menjadi tandingan terhadap pola pandang dan perilaku yang berlaku umum dalam masyarakat.
Mengembangkan budaya alternatif dipandang perlu apalagi di tengah kerusakan hutan dan lingkungan yang semakin parah. Tujuannya tiada lain supaya akar-akar yang menyebabkan kerusakan lingkungan diharapkan dapat diatasi.