Tulisan ini berangkat dari sebuah kegelisahan. Saya gelisah dengan apa yang dilakukan oleh youtuber Edo Putra yang membagikan daging kurban isi sampah kepada emak-emak. Setelah kasus Ferdian Paleka kita pastinya berharap hal serupa tidak akan pernah terjadi lagi. Namun, pengalaman rupanya belum menjadi guru yang terbaik bagi beberapa orang.
Sebelum Ferdian Paleka dan Edo Putra muncul, sesungguhnya sudah ada juga aksi yang membuat saya gelisah. Kita barangkali masih ingat aksi dua orang gadis di Mojokerto yang keramas di atas motor. Silakan baca di sini jika memang sudah lupa (kompas.com)
Aksi mereka yang katanya hanya demi mencari sensasi dan membuat konten lucu di Youtube, sungguh sangat memprihatinkan. Di mana letak lucunya?
Tak masuk akal rasanya memasukkan ke dalam kategori lucu sebuah aksi yang jelas-jelas tidak hanya melanggar aturan, tapi juga membahayakan nyawa sendiri dan orang lain.
Kembali ke kasus Edo. Edo Putra memang telah membela diri, bukan malah memberi klarifikasi, dengan menyatakan bahwa konten videonya tidak salah.
"Kalau kalian menonton video itu sampai habis, kalian akan mendapat manfaat. Tapi kalau kalian tidak melihat sampai habis itu penyebab kalian yang menghujat saya guys. Di video itu saya tidak melukai orang, malah saya memberikan uang pada mereka. Kalian salah sangka guys," begitu pembelaan yang ia berikan (detik.com).
Uang memang telah diberikan untuk menggantikan sampah. Bagi saya, sekalipun emas yang diberikan kepada emak-emak untuk menggantikan sampah itu, tidak akan bisa mengubah pandangan bahwa memberikan sampah kepada orang lain sebagai sembako, kurban, kado dan sejenisnya, merupakan bentuk perendahan yang paling menyedihkan atas martabat manusia.
Di tambah lagi aksi prank ini dilakukan masih dalam suasana Idul Adha. Hari Raya yang tentu saja mengandung banyak makna yang indah dan mulia bagi saudara-saudari  yang muslim.
Saya kutip saja renungan indah yang pernah ditulis oleh sobat Kompasianer Ozy V. Alandika tentang Hari Raya Idul Adha: "...kita merayakan Idul Adha yang mengingatkan kisah tentang sebuah keluarga mulia yang diabadikan oleh Allah Swt. untuk peradaban manusia. Yaitu kisah keluarga Nabi Ibrahim alaihissalam. Adalah tentang Kurban, tentang bagaimana Kurban mampu menjadi jalan takwa kita, mampu menjadi jalan untuk memperbaiki akidah kita, juga, tentang solidaritas dan persaudaraan" (K. 30 Juli 2020).
Pertanyaannya, apakah aksi nge-prank seperti ini sungguh menjadi jalan takwa, menjadi jalan untuk memperbaiki akidah, serta sungguh menunjukkan aksi solidaritas dan persaudaraan?
Kita mungkin sering mendengar orang mengatakan kalau kebikjasanaan tertinggi itu ialah saat kita mampu menertawakan kebodohan diri sendiri. Saya sama sekali tidak melihat ada kebijaksanaan di balik aksi-aksi mereka. Yang nampak jelas justru kebodohan diri mereka sendiri.
Lalu sekarang, di mana letak kaitan kasus nge-prank sampah ini dengan ketakjuban yang katanya adalah awal dari filsafat? Mungkin terkesan mengada-ada ketika saya mengaitkan aksi Edo Putra ini dengan filsafat.
Saya mengaitkannya dengan filsafat, karena di mata saya aksi Edo Putra ini sungguh bertentangan dengan diktum: "Ketakjuban itu adalah awal dari filsafat"."Tidak ada awal lain dari filsafat kecuali dalam hal ini: rasa kagum", begitu kata Plato.
Bagaimana bisa rasa takjub atau kagum menjadi awal bagi filsafat? Saya yakin setiap kita pernah mengalami ketakjuban atau kekaguman. Jikalau memang ada yang tidak pernah mengalaminya, orang tersebut patut merasa khawatir karena bisa jadi ada yang kurang beres dalam dirinya.
Banyak hal atau peristiwa yang membuat orang menjadi takjub. Orang menjadi takjub ketika melihat indahnya pemandangan dari atas gunung. Pada malam hari, orang takjub saat memandangi indahnya bulan dan bintang di angkasa. Orang merasa takjub saat berjalan di taman bunga...dst. Singkatnya, keindahan itu selalu mengundang rasa takjub.
Ketakjuban itu mengundang orang untuk bertanya. Itulah sebabnya mengapa dikatakan sebagai awal dari filsafat. Bertanya dan filsafat itu tak bisa dipisahkan. Berfilsafat hanya akan menjadi mungkin bila orang mengajukan pertanyaan. Dari mana manusia berasal? Apa makna hidup kita di dunia ini? Ke mana kita pergi setelah pengembaraan hidup di dunia ini selesai? Apakah Allah itu ada? Mengapa ada penderitaan?...dst, merupakan contoh sederet pertanyaan yang diajukan oleh manusia.
Di Kompasiana ini sendiri kita bisa menemukan sobat-sobat Kompasianer yang melahirkan elaborasi-elaborasi filosofis yang menggetarkan akal budi dengan berangkat dari peristiwa dan pengalaman hidup sehari-hari.
Tanpa bermaksud mengabaikan yang lain, saya harus jujur mengakui kalau saya merasa takjub dan kagum dengan sobat Kompasianer, Reba Lomeh, yang ada di Manggarai. Sobat kita ini menjadi salah satu contoh di mana dari pergaulan sehari-hari dengan cengkeh, dia bisa melahirkan permenungan-permenungan filosofis yang fascinosum (mengagumkan, memesonakan).
Saya merasa yakin, permenungan filosofis itu lahir salah satunya berkat ketakjubannya memandangi kebun cengkeh miliknya.
Kemudian, apa yang salah dengan aksi Edo Putra sehingga begitu mengusik nalar dan nurani saya? Bahwa aksi Edo Putra bertentangan dengan diktum di atas itu benar adanya bila  kita sampai pada kebenaran bahwa manusia adalah keindahan yang paling menakjubkan.
Manusia itu menakjubkan karena ia satu-satunya makhluk ciptaan Tuhan yang dianugerahi dengan akal budi, kehendak bebas dan nurani. Dengan semua anugerah yang ia terima ini, manusia seharusnya mampu membedakan mana yang baik atau tidak baik, mana yang pantas atau tidak pantas untuk dilakukan.
Sungguh memprihatinkan memang hanya demi menambah yang like atau subscriber menggunakan konten yang melecehkan martabat sesama manusia. Maksud saudara Edo Putra tentu sangat baik karena berniat memberi sedekah kepada sesama. Jika saja dia menggunakan cara yang lebih kreatif dan manusiawi tentu saja pujian akan didapatkan dan juga orang akan senang berkunjung ke channel Youtubenya. Namun begitulah jadinya ketika sudah termakan nafsu untuk menjadi tenar atau viral.
Takjub itu dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) diartikan sebagai: kagum; heran (akan kehebatan, keindahan, keelokan seseorang atau sesuatu). Rasanya agak sulit untuk menemukan di mana letak kehebatan atau keindahan dari aksi nge-prank Edo Putra yang bisa membuat kita takjub atau kagum kepadanya. Belum lagi bila kita melihat banyaknya hujatan dan kata-kata kasar dari para Netizen.
Tulisan ini berkisar pada soal ketakjuban dan filsafat. Maka dari itu, Â sebagai manusia selalulah berusaha untuk merasa takjub agar kita bisa melahirkan permenungan-permenungan filosofis yang indah dan mendalam, dan juga karya-karya indah lainnya sesuai dengan talenta yang telah Tuhan berikan kepada kita.
Dan sebagai manusia yang dianugerahi akal budi, kehendak bebas dan hati nurani, berusalah  menggunakan semuanya itu untuk berbuat kebaikan serta untuk memanusiakan manusia.
Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H