Kita mungkin sering mendengar orang mengatakan kalau kebikjasanaan tertinggi itu ialah saat kita mampu menertawakan kebodohan diri sendiri. Saya sama sekali tidak melihat ada kebijaksanaan di balik aksi-aksi mereka. Yang nampak jelas justru kebodohan diri mereka sendiri.
Lalu sekarang, di mana letak kaitan kasus nge-prank sampah ini dengan ketakjuban yang katanya adalah awal dari filsafat? Mungkin terkesan mengada-ada ketika saya mengaitkan aksi Edo Putra ini dengan filsafat.
Saya mengaitkannya dengan filsafat, karena di mata saya aksi Edo Putra ini sungguh bertentangan dengan diktum: "Ketakjuban itu adalah awal dari filsafat"."Tidak ada awal lain dari filsafat kecuali dalam hal ini: rasa kagum", begitu kata Plato.
Bagaimana bisa rasa takjub atau kagum menjadi awal bagi filsafat? Saya yakin setiap kita pernah mengalami ketakjuban atau kekaguman. Jikalau memang ada yang tidak pernah mengalaminya, orang tersebut patut merasa khawatir karena bisa jadi ada yang kurang beres dalam dirinya.
Banyak hal atau peristiwa yang membuat orang menjadi takjub. Orang menjadi takjub ketika melihat indahnya pemandangan dari atas gunung. Pada malam hari, orang takjub saat memandangi indahnya bulan dan bintang di angkasa. Orang merasa takjub saat berjalan di taman bunga...dst. Singkatnya, keindahan itu selalu mengundang rasa takjub.
Ketakjuban itu mengundang orang untuk bertanya. Itulah sebabnya mengapa dikatakan sebagai awal dari filsafat. Bertanya dan filsafat itu tak bisa dipisahkan. Berfilsafat hanya akan menjadi mungkin bila orang mengajukan pertanyaan. Dari mana manusia berasal? Apa makna hidup kita di dunia ini? Ke mana kita pergi setelah pengembaraan hidup di dunia ini selesai? Apakah Allah itu ada? Mengapa ada penderitaan?...dst, merupakan contoh sederet pertanyaan yang diajukan oleh manusia.
Di Kompasiana ini sendiri kita bisa menemukan sobat-sobat Kompasianer yang melahirkan elaborasi-elaborasi filosofis yang menggetarkan akal budi dengan berangkat dari peristiwa dan pengalaman hidup sehari-hari.
Tanpa bermaksud mengabaikan yang lain, saya harus jujur mengakui kalau saya merasa takjub dan kagum dengan sobat Kompasianer, Reba Lomeh, yang ada di Manggarai. Sobat kita ini menjadi salah satu contoh di mana dari pergaulan sehari-hari dengan cengkeh, dia bisa melahirkan permenungan-permenungan filosofis yang fascinosum (mengagumkan, memesonakan).
Saya merasa yakin, permenungan filosofis itu lahir salah satunya berkat ketakjubannya memandangi kebun cengkeh miliknya.
Kemudian, apa yang salah dengan aksi Edo Putra sehingga begitu mengusik nalar dan nurani saya? Bahwa aksi Edo Putra bertentangan dengan diktum di atas itu benar adanya bila  kita sampai pada kebenaran bahwa manusia adalah keindahan yang paling menakjubkan.
Manusia itu menakjubkan karena ia satu-satunya makhluk ciptaan Tuhan yang dianugerahi dengan akal budi, kehendak bebas dan nurani. Dengan semua anugerah yang ia terima ini, manusia seharusnya mampu membedakan mana yang baik atau tidak baik, mana yang pantas atau tidak pantas untuk dilakukan.