Mohon tunggu...
Gregorius Nyaming
Gregorius Nyaming Mohon Tunggu... Pemuka Agama - Hanya seorang anak peladang

Seorang Pastor Katolik yang mengabdikan hidupnya untuk Keuskupan Sintang. Sedang menempuh studi di Universitas Katolik St. Yohanes Paulus II Lublin, Polandia.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Tradisi "Beduruk" dalam Suku Dayak Desa

27 Juli 2020   17:20 Diperbarui: 13 Agustus 2020   03:20 1605
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ibu-ibu sedang beduruk menyiangi rumput (ngemabau). Sumber: dokpri.

Dalam tulisan ini saya kembali mengangkat topik seputar subsuku Dayak Desa. Mengenai siapa itu subsuku Dayak Desa, silakan baca; Mengenal Beberapa Seni dan Budaya dalam Suku Dayak Desa.

Topik yang akan saya angkat dalam artikel ini ialah Tradisi Beduruk. Beduruk diartikan sebagai sistem kerja gotong royong dalam mengerjakan ladang.

Bentuk gotong royong ini hampir dijumpai dalam sub-sub suku Dayak yang hidup di bumi Kalimantan. Mereka menyebutnya seturut bahasa masing-masing. Hanya dalam pelaksanaannya sedikit agak berbeda dari subsuku yang satu ke subsuku yang lainnya.

Tradisi, dalam Kamus Bahasa Indonesia, diterjemahkan sebagai adat kebiasaan turun-temurun (dari nenek moyang) yang masih dijalankan dalam masyarakat. Tradisi Beduruk merupakan warisan nenek moyang yang masih lestari hingga hari ini.

Alasan Kemunculan
Tradisi beduruk muncul bukan tanpa alasan. Bagi masyarakat subsuku Dayak Desa yang mayoritas hidup sebagai petani, ladang merupakan salah satu sumber penghidupan yang sangat penting. Dari ladanglah mereka dapat memperoleh padi yang kemudian diolah menjadi nasi sebagai sumber makanan utama. 

Melihat proses pengerjaan ladang yang cukup panjang dan melelahkan ini, rasanya tidak mungkin bila semuanya dikerjakan seorang diri saja. Beduruk, kemudian, dipandang oleh warga sebagai jalan keluar yang efektif dan efisien dalam mengerjakan ladang. 

Alasan lain yang mendukung munculnya tradisi ini ialah jumlah anggota keluarga. Setiap keluarga pastilah memiliki jumlah anggota keluarga yang berbeda. Ada keluarga yang memiliki anggota yang banyak. 

Namun, tidak sedikit juga yang jumlah anggota keluarganya sedikit. Jumlah anggota keluarga ini mempengaruhi pekerjaan sehari-hari terutama dalam kaitannya dengan berladang. Keluarga yang memiliki anggota yang cukup banyak tentulah akan bisa menyelesaikan pekerjaan ladang dengan cepat. Namun, tidaklah demikian dengan keluarga yang berjumlah sedikit.

Luas ladang menjadi alasan lain dari munculnya beduruk. Luas ladang yang akan digarap biasanya berkisar antara 1-2 hektar. Dengan luas ladang yang demikian dapat dibayangkan bila dikerjakan seorang diri saja. Aktivitas berladang memerlukan tenaga yang ekstra, selain juga menghabiskan banyak waktu dan juga biaya. 

Bisa dibayangkan bila aktivitas berladang hanya dikerjakan seorang diri saja. Selain karena kemampuan dan keterampilan manusia terbatas, bekerja seorang diri akan membuat yang bersangkutan jauh tertinggal dari yang lainnya. Bisa jadi dia masih pada tahap menebas sementara yang lain sudah mulai membakar ladang. Beduruk menjadi sarana yang ampuh untuk meringankan beban dalam mengolah ladang pertanian.

Pelaksanaan 
Pelaksanaan beduruk selalu dikaitkan dengan kedelapan tahap dalam pengerjaan ladang. Kedelapan tahap tersebut ialah: Memilih Lokasi (Mangul), Menebas (Nebas), Menebang (Nebang), Membakar Ladang (Nunu), Mengumpulkan dan membakar kayu-kayu sisa pembakaran (Nayak), Menanam (Nugal), Menyiangi (Mabau/Ngemabau) dan Memanen (Ngetau).

Dari kedelapan tahap tersebut, ada beberapa tahap yang harus dikerjakan lewat beduruk, yaitu, nebas, nebang, nugal, mabau dan ngetau. Sedangkan nunu memang memerlukan banyak tenaga, tapi pada tahap ini lebih ditonjolkan kerelaan dan kesediaan warga lain untuk membantu keluarga yang sedang nunu.

Dalam pelaksanaannya, sekurang-kurangnya ada dua jenis beduruk. Pertama, beduruk setengah hari. Beduruk jenis pertama ini dilaksnakan setelah jam makan siang.

Dilaksanakan mulai pada siang hari dengan pertimbangan pada pagi harinya para anggotanya masih pergi menyadap karet (noreh), atau masih mengurus urusan rumah tangga lainnya. Aktivitas beduruk ini berakhir sekitar pukul 16.30. Untuk anggotanya sendiri berkisar antara 5-10 orang.

Kedua, beduruk satu hari penuh. Warga  menyebut beduruk jenis ini dengan arisan. Arisan dilaksanakan dua kali dalam seminggu. Sejauh yang penulis amati arisan dilaksanakan pada hari Rabu dan Jumat. Jumlah anggota dalam beduruk jenis kedua ini lebih banyak dari anggota beduruk yang pertama. 

Anggotanya bisa berkisar antara 15-20 orang. Arisan biasanya dimulai pada pukul 09.00 dan berakhir pada pukul 16.30. Dalam pelaksanaan arisan, setiap anggota akan membawa bekal dari rumah masing-masing. 

Sementara anggota yang nampil (kata ini dipakai untuk merujuk kepada anggota yang ladangnya mendapat giliran sedang dikerjakan), bertanggung jawab penuh untuk menyediakan lauk-pauk dan sayur-mayur. Baik beduruk jenis pertama maupun beduruk jenis kedua sama-sama melibatkan kaum laki-laki dan perempun.

Dalam praktiknya, beduruk dilaksanakan secara bergiliran dari ladang yang satu ke ladang yang lain. Aturannya satu ladang untuk satu hari. Penentuan siapa pertama yang akan nampil merupakan kesepakatan dari para anggota beduruk sendiri. 

Jadwal yang mereka buat dapat dikategorikan sangat fleksibel. Fleksibilitas itu dapat dilihat dimana dalam perjalanan waktu anggota yang satu dapat bertukar jadwal nampil dengan anggota yang lain. Pertukaran jadwal ini dilakukan biasanya dengan anggota yang ladangnya masih memerlukan banyak perhatian.

Fungsi
Beduruk bukan hanya sekadar rutinitas harian. Lebih dari itu, beduruk memiliki fungsi yang sangat penting bagi warga yang terlibat di dalamnya. Menurut saya, ada dua fungsi yang menonjol dari beduruk, yakni meringankan beban pekerjaan dan mengeratkan tali persaudaraan.

Fungsi pertama yang langsung terlihat dari kegiatan beduruk ialah meringankan beban pekerjaan. Berladang adalah pekerjaan yang berat dan melelahkan. Meskipun menjadi pekerjaan utama, perhatian warga tentu juga terbagi dengan urusan lain yang tak kalah penting.

Karena itu, beduruk dapat menjadi salah satu cara yang ampuh untuk meringankan pekerjaan tersebut. Dengan mengadakan beduruk tidak hanya menjadikan pekerjaan menjadi lebih ringan, tapi juga membuat proses pengerjaan ladang bisa selesai pada waktunya.

Bahwa beduruk memiliki fungsi untuk mengeratkan tali persaudaraan antarwarga dapat dilihat dari sistem keanggotaan beduruk itu sendiri. Mereka yang membentuk sebuah kelompok beduruk datang dari beberapa keluarga. Beberapa masih memiliki hubungan darah, namun beberapa dari mereka tidak memiliki hubungan keluarga sama sekali.

Hal ini hendak menunjukkan bahwa beduruk terbuka untuk siapa saja. Dengan sifat keterbukaan seperti ini, beduruk menyadarkan warga untuk menghargai martabat sesama serta memandang orang lain bukan sebagai lawan atau musuh, melainkan sebagai saudara dan keluarga sendiri.

Selain beduruk, di kalangan subsuku Dayak Desa juga dikenal istilah besaup. Besaup juga merupakan bentuk kerja gotong-royong. Namun berbeda dari beduruk. Besaup lebih menonjolkan keikhlasan atau ketulusan dari warga lain untuk membantu mereka yang sungguh memerlukan pertolongan. 

Jadi, tidak ada kewajiban bagi yang ditolong untuk di kemudian hari membalas bantuan yang ia terima sebagaimana dijumpai dalam aturan beduruk. Besaup biasa dilakukan saat musim panen.

Di atas telah disebutkan bahwa setiap keluarga mempunyai jumlah dan luas ladang yang berbeda-beda. Hal inilah yang kadang menjadi penyebab ketidakseragaman berakhirnya kegiatan memanen di antara warga. Dalam situasi demikian, keluarga atau anggota yang telah selesai memanen akan dengan suka rela membantu keluarga yang lain untuk menyelesaikan panenannya.

Contoh lain dari besaup ialah ketika salah satu warga hendak membangun rumah yang baru. Didorong semata-mata oleh rasa kekeluargaan, warga yang lain akan berbondong-bondong datang membantu. 

Bagaimana dengan daerah Anda? Apakah masih terdapat tradisi gotong royong? Kalau masih ada apa namanya?
Semoga bermanfaat. Salam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun