Ada sesuatu yang masih mengganjal nalar dan nurani mengapa saya menuangkan tulisan ini. Seperti biasa, sebagai seorang asing yang tinggal di luar negeri, salah satu dokumen yang harus dimiliki ialah asuransi kesehatan.
Suatu kali saya pergi ke kantor asuransi untuk membelinya. Saya dilayani oleh seorang ibu yang sudah cukup berumur, yang dengan ramah melayani saya. Sambil mengisi data-data yang diperlukan, kami pun terlibat dalam percakapan meski beberapa pertanyaan yang dia ajukan tidak bisa saya tangkap karena dalam bahasa Polandia.
Pembicaraan kami pun sampai pada soal makanan. Si ibu itu dengan riang mengatakan kalau kentang merupakan salah satu makanan kesukaannya. Saya pun mengiyakannya sambil mengatakan kalau saya juga suka makan kentang meskipun tidak setiap hari. Namun, ketika saya mengatakan kalau makanan kesukaan dan utama saya ialah nasi, si ibu langsung menunjukkan reaksi yang sedikit kurang simpatik. Saya pun hanya tersenyum karena menyadari kentang dan roti adalah makanan utama mereka, bukan nasi.
Sedikitpun saya tidak merasa tersinggung. Setiap suku bangsa memiliki keunikannya masing-masing. Lidah kita memang sama bentuknya, tapi soal makanan lidah kita juga tergantung pada suku atau lingkungan di mana kita hidup dan dibesarkan. Saya berasal dari Sintang, Kalimantan Barat. Ada salah satu makanan khas di bumi Kalimantan, yakni tempoyak (makanan yang terbuat dari durian yang sudah matang, dan mengeluarkan aroma yang cukup menyengat).
Saya pribadi sangat menyukai makanan ini. Apalagi kalau masak ikan asam pedas lalu dicampur dengan tempoyak maka akan menimbulkan aroma dan rasa tersendiri, yang tentu saja bagi sebagian orang akan menggugah selera makan. Saya mengatakan bagi sebagian orang karena tentu saja tidak semua orang menyukai makanan ini. Sekalipun bagi saya tempoyak itu sangat nikmat, saya tidak bisa memaksa orang lain untuk menyukainya.
Kembali ke percakapan saya dengan ibu di atas. Bagi saya, percakapan tersebut bukan hanya soal makanan semata. Bukan hanya sebatas soal nasi dan kentang. Lebih dari itu, persoalan ini menyangkut pola pikir dan pola sikap terhadap orang lain. Untuk hendak mengatakan sebuah cara pandang yang menjadikan budaya, pola pikir, agama kelompok atau golongan sendiri sebagai tolak ukur dalam memandang orang lain.
Saya membayangkan seandainya semua orang punya cara berpikir seperti si ibu tersebut (meski di mata saya ibu tersebut tidak bermaksud merendahkan) betapa dunia kita akan selalu berada dalam ketegangan.
Kita akan selalu bersitegang memperdebatkan pola pikir atau pola sikap mana yang paling penar. Sebagai hasil, kalau salah satu pihak sudah menganggap diri sebagai yang paling benar, lalu memandang rendah pihak lain, maka konflik pun sering tak dapat dihindarkan. Gesekan ini akan selalu membawa korban karena pihak yang merasa diri paling benar akan memandang pihak lain yang berbeda dengannya sebagai musuh atau lawan. Karena itu, sah-sah saja untuk dimusnahkan.
Sebuah Pelajaran dari Thailand
Ada satu peristiwa menarik yang terjadi di Thailand yang telah menyita perhatian dunia. Tepatnya pada Juni 2018 bertepatan dengan keriuhan Piala Dunia di Rusia. Peristiwa tersebut terjadi di sebuah gua yang bernama Tham Luang, Provinsi Chiang Rai.
Di dalam gua tersebut terjebak sekelompok remaja klub sepakbola bersama pelatih mereka. Kabar tersebut seketika saja menggerakkan hati banyak orang untuk turut membantu mereka keluar dari gua tersebut. Bahkan seorang dokter asal Australia yang memiliki keahlian cave-diving, Dr. Richard Harris, membatalkan liburannya di Thailand ketika mendengar kabar ada 13 orang terjebak dalam gua Tham Luang. Ia datang menawarkan diri untuk membantu. Akhirnya, berkat bantuan dan kerja sama berbagai pihak, setelah selama 17 hari terjebak di dalam gua, ketigabelas remaja tersebut dapat dikeluarkan dengan selamat.