Indonesia adalah negara yang berasaskan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. Sistem pemerintahan yang dijalankan adalah sistem demokrasi dimana semua warga negaranya memiliki hak yang sama dalam pengambilan keputusan. Sistem demokrasi juga memberikan izin kepada warga negaranya untuk berpartisipasi secara langsung ataupun tidak langsung melalui perwakilan dalam perumusan, pengembangan, dan pembuatan hukum.[1] Ini juga pernah dikatakan bung Karno dalam pidatonya pada lahirnya pancasila 1 juni 1945 bahwa setiap warga negara memiliki hak yang sama, hak politik yang sama. Setiap warga negara berhak memilih dan berhak masuk kedalam parlemen. Rumusan tersebut yang sekarang kita kenal sebagai pancasila sila ke-5 "keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia".Â
Keadilan sosial tidak hanya berbicara mengenai materiil saja tapi lebih daripada itu karena mencakup semua aspek kehidupan. Meski bangsa ini dibangun diatas dasar negara dan ideologi yang begitu luhur dan mulia pada kenyataannya masih banyak terjadi ketidakadilan bagi warga negaranya. Zaman ini kita sering mendengar istilah bahwa hukum itu cenderung tajam kebawah dan tumpul keatas. Namun kali ini saya tidak ingin membahas soal tajam tidaknya hukum negara kita tapi apakah hukum kita sudah cukup adil bagi semua warga negara Indonesia? serta bagaimana negara mampu memberikan rasa adil bagi semua warga negaranya?. Salah satu peristiwa yang akhir-akhir ini sedang ramai di media sosial yang juga akhirnya cukup menyita perhatian saya adalah bagaimana hukum kita mengatur tata hidup sosial masyarakat kita namun tidak mengedepankan asas keadilan dalam sila ke-5 pancasila.Â
Ujian keadilan itu datang dari bidang kesehatan, dan peristiwa itu adalah terbatasnya hak seorang warga negara Indonesia untuk mengakses/mendapat pengobatan bagi anaknya. Zhatira El qisya, ibu dari Yasmin anak penderita Lennox-Gastaut Syndrome adalah salah satunya. Lennox Gastaut Syndrome adalah salah satu tipe epilepsi langka yang penderitanya jauh lebih sering mengalami kejang bahkan hingga ratusan kali, dan dalam tipe yang berbeda-beda pula, khususnya tipe kejang tonic-clonic, atonic, dan kejang atypical absence. Â Hingga usianya yang menuju 4 tahun ini Yasmin masih terdiagnosa Lennox-Gaustaut Syndrome dan belum menemukan kesembuhannya, berbagai pengobatan medis telah ditempuh oleh kedua orangtuanya namun tidak menunjukkan hasil yang positif. Operasi epilepsi, terapi herbal dan terapi alternatif dan segala jenis obat-obatan konvensional dari rumah sakit sudah didapatkannya tapi tidak satupun yang memberikan ketenangan dan hasil yang diharapkan. Yasmin tetap saja masih sering mengalami kejang-kejang dan itu sangat menyiksanya maupun orangtuanya yang merawat dan menyaksikannya langsung.Â
Bahkan karena Yasmin masih mengalami kejang setiap hari ia mengalami keterlambatan pada pertumbuhan dan perkembangannya. Epilepsinya juga membuat Yasmin mendapat diagnosa lain seperti Cerebral Palsy, ARFID, dan Hyperlaxity Syndrome. Zhatira pun akhirnya mau tidak mau menjadi rajin mencaritau banyak hal demi kesembuhan sang anak hingga ia menemukan sebuah  fakta bahwa kandungan dalam tanaman ganja yang disebut CBD (Canabidiol) dapat membantu menghentikan kejang yang dialami yasmin. Dari berbagai sumber dan literatur-literatur yang berhasil didapat dan dikumpulkannya Zhatira seperti menemukan sebuah harta karun terpendam yang tidak pernah ia bayangkan.Â
Tanaman yang selama ini dimasukkan kedalam golongan narkotika golongan 1 dan dianggap berbahaya bagi manusia itu ternyata menyimpan sejuta manfaat bagi manusia, tidak hanya bagi kebutuhan sandang dan papan saja tapi juga terutama bagi dunia kesehatan. Ekstrak dari tanaman yang oleh pemerintah digolongkan kedalam narkotika golongan 1 sejak konvensi PBB tahun 1961 itu ternyata dapat menjadi salah satu alternatif kesembuhan bagi anaknya. Sayangnya karena hukum di Indonesia yang belum ramah terhadap tanaman ganja membuat Zhatira harus menahan sabar lebih lama lagi.
 Pemerintah dalam hal ini harusnya lebih terbuka, apalagi ini menyangkut ilmu pengetahuan dan kesehatan serta kembali pada asas-asas demokrasi yang telah disebutkan diatas seharusnya pemerintah memberikan izin untuk penelitian terhadap tanaman ganja. Selama ini pemerintah hanya berpegang teguh pada UU narkotika no.35 yang lahir pada konvensi PBB tahun 1961 tanpa pernah mau melakukan riset terhadap tanaman ini. Pemerintah hanya menelan mentah-mentah undang-undang atau peraturan yang dikeluarkan PBB pada saat itu padahal pada saat itu dibalik keputusan memasukan tanaman ganja kedalam golongan narkotika golongan 1 ada muatan politik didalamnya sehingga fakta-fakta yang ada tentang tanaman ini disembunyikan dan diubah citranya. Pemerintah juga seolah menutup mata bahwa di eropa dan amerika telah banyak negara yang melegalkan ganja medis setelah mereka melakukan riset selama puluhan tahun. Bahkan banyak rumah sakit di berbagai negara bagian amerika telah membuat bahan obat-obatan untuk berbagai penyakit dari ekstrak tanaman ini, inggris contohnya telah memiliki hak paten ganja medis.Â
Bila melihat negara-negara kawasan Asia tenggara ada thailand dan malaysia yang  telah melegalkan ganja medis. Jika indonesia tidak mau tertinggal oleh negara-negara lain dan jika indonesia benar-benar negara yang berideologi pancasila bukankah seharusnya indonesia melakukan izin riset terhadap tanaman ini agar masyarakat kita yang mungkin bernasib sama dengan yasmin memiliki kesempatan mendapatkan obat bagi penyakit yang dideritanya dan dapat tumbuh menjadi anak yang normal dan sehat. Negara kita berpotensi menjadi negara yang besar jika kita mau membuka mata kita terhadap tanaman ini karena dunia mengetahui bagaimana kualitas ganja indonesia.
Kasus Yasmin mungkin hanya sedikit dari sekian banyak yang tidak terungkap di negeri kita ini namun karena keteguhan dan kepercayaan yang tinggi, Zhatira yang akhirnya didampingi LGN(Lingkar Ganja Nusantara) melalui RUMAH CEMARA dan para saksi ahli dapat setidaknya 'memaksa' pemerintah untuk melakukan riset terhadap tanaman ganja. Ini terwujud dengan diselenggarakannya sidang di Mahkamah Konstitusi RI dengan tujuan pembuktian apakah ganja dapat bermanfaat di bidang medis atau tidak.Â
Sidang tersebut dituntut oleh RUMAH CEMARA dan sedang memasuki sidang judicial review di Mahkamah Konstitusi RI. Sidang kelima telah dilakukan 30 Agustus 2021 yang lalu dengan menghadirkan  saksi ahli dari pemohon yaitu Dr. iur. Asmin Fransiska, S.H., L.L.M., Dekan Fakultas Hukum Universitas Atmajaya Jakarta, Professor David Nutt DM, FRCP, FRCPsych, FSB, FMedSc., dan Prof. Dr. H. Musri Musman, M.Sc. dengan agenda pembacaan fakta-fakta dari para saksi ahli terkait tanaman ini.
Banyak hal menarik dan baru yang dapat kita pahami dari proses sidang tersebut diantaranya dari bidang hukum Dr Asmin Fransiska menyatakan bahwa kita dalam hal ini pemerintah Indonesia telah salah menginterpretasikan konvensi tunggal PBB tahun 1961 tersebut karena disana jelas dikatakan bahwa pemerintah atau dalam hal ini negara peserta harus memastikan ketersediaan narkotika untuk tujuan ilmu pengetahuan dan kesehatan. Negara peserta juga harus memastikan ketersediaan narkotika untuk mereka yang membutuhkan sebagai penghilang rasa sakit dan lain-lain. Kesalahan interpretasi lainnya yang telah dilakukan Indonesia adalah tentang pasal 36 konvensi tunggal PBB tahun1961 tersebut bahwa tidak adanya pelarangan penggunaan narkotika untuk layanan kesehatan juga tidak adanya pemberian hukuman kepada para penggunanya.Â
Dalam pemaparan dan dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepadanya Dr Asmin Fransiska menyimpulkan bahwa pemerintah seharusnya melakukan regulasi pada UU no 35 tahun 2009 ini dan juga mengontrol peredaran narkotika golongan 1 khususnya tanaman ganja karena konvensi tunggal PBB tahun 1961 dan UU no 35 tahun 2009 ini seharusnya didasari pada aspek kesehatan dan ilmu pengetahuan yang bertujuan untuk menjamin kesehatan warga negara dan warga dunia. Pemerintah dalam hal ini kementrian kesehatan dapat belajar dari bagaimana cara mereka melakukan kontrol terhadap alkohol dan tembakau yang sebagaimana kita tahu memiliki dampak negatif bagi manusia. Namun demikian sebelum melakukan itu semua pemerintah sangat perlu untuk melakukan riset terhadap tanaman ganja karena faktanya hingga saat ini Indonesia tidak pernah melakukan riset yang tuntas terhadap tanaman ganja, sebagai penutup beliau mengatakan bahwa tidak boleh ada UU tanpa riset.
Ahli kedua yang dihadirkan pemohon pada sidang kali ini  yaitu prof David Nutt mengatakan bahwa canabis medis telah digunakan didunia lebih dari 5000tahun yang lalu di China dan menyebar ke seluruh dunia hingga akhirnya 1961 dilarang oleh karena alasan geopolitik. Di Inggris ganja medis telah dilegalkan tiga tahun lalu karena banyak obat-obatan yang tidak mampu menyembuhkan juga banyaknya pasien yang terbantu atau bahkan sembuh oleh karenanya dan para dokter disana juga sudah diberikan izin untuk membuat resep obat dari tanaman ganja. Bahkan di tahun 2019 organisasi NICE merekomendasikan canabis sebagai obat untuk epilepsi dan terbukti dari 10 anak yang diberikan ganja medis frekuensi kejang yang mereka alami menurun hingga 80%.Â
Lebih lanjut Prof David mengatakan bahwa kandungan dalam ganja yaitu THC dan CBD sangat kuat dan aman  bagi neuropathic pain dibandingkan dengan obat-obatan konvensional selain itu ganja medis juga memiliki resiko adiksi yang sangat rendah dan memiliki efek yang terus meningkat bagi penyembuhan. Ketakutan-ketakutan yang muncul bila ganja dilegalkan adalah semakin bertambahnya pasar gelap ganja, namun kita dapat belajar dari Uruguay, disana pasca ganja medis dilegalkan pasar gelap ganja justru mengalami penurunan, yang artinya itu senada dengan yang disampaikan ibu Dr Asmin fransiska bahwa apabila pemerintah mampu meregulasi dengan tepat dan mampu mengontrol peredaran tanaman ini maka ketakutan-ketakitan itu dapat sangat diminimalkan.
Prof. H. Musri Musman dari UNSYIAH Banda Aceh yang menjadi saksi ketiga dalam persidangan kali ini dan lebih berbicara tentang teknis dari kandungan yang ada dalam ganja, selama ini pemerintah selalu mengatakan bahwa ganja indonesia lebih banyak kandungan THC nya dibanding CBD nya dan itulah yang menyebabkan penggunanya mabuk dan ketergantungan dan hal itulah yang serta merta menyebar di benak seluruh warga negara indonesia sehingga masyarakat menjadi takut terhadap tanaman ini. Pendapat pemerintah ini dibantah oleh Prof Musri dengan mengatakan bahwa pertama-tama ganja indonesia memiliki kualitas yang paling bagus di seluruh dunia, kedua kadar THC yang terkandung dalam ganja tidak ditentukan berdasarkan jenis tanamannya tapi lebih kepada faktor-faktor lain seperti suhu, cara memotong, cara menggantung, nutrisi dalam tanah, cara pendistribusian, waktu pemanenan, iklim dan lain sebagainya, itu artinya kandungan THC dalam ganja dapat menurun seiring dengan faktor-fkator tersebut. Sehingga beliau mengatakan kita tidak seharusnya takut dengan THC.
Prof. Musri adalah seorang ilmuwan dan sebagai seorang ilmuwan beliau merasa gerak beliau sangat dibatasi oleh regulasi yang kurang jelas. Beliau pada 2015 pernah meminta izin kepada kementrian kesehatan untuk melakukan riset CBD untuk penyembuhan diabetes melitus yang ditanggapi oleh kemenkes bahwa untuk melakukan hal tersebut harus ada surat rekomendasi dari Badan Narkotika Nasional namun sayangnya hingga saat ini tidak ada tanggapan dari BNN. Ini mensyaratkan bahwa regulasi kita yang tidak jelas dan adanya keraguan terhadap manfaat CBD itu sendiri padahal telah banyak jurnal-jurnal internasional yang mempublikasikan manfaat CBD bagi dunia kesehatan dan setidaknya menurut catatan beliau ada 73-76 penyakit yang dapat dutangani oleh canabis dan salah satunya adalah epilepsi.Â
Lagi-lagi karena hukum kita yang tidak jelas banyak obat-obatan yang mengandung CBD yang telah disetujui oleh FDA seperti Nabilone, Marinol, Sativex, dan Epidiolex sejak 1985 tidak dapat kita gunakan. Epidiolex misalnya, mengandung CBD murni tumbuhan sebanyak 100mg/ml dan sangat aman untuk digunakan tapi tidak dapat kita peroleh karena hukum yang berlaku. Padahal jika saja hukum kita teregulasi dengan baik dan pemerintah mampu mengontrol CBD seperti halnya kontrol terhadap alkohol dan tembakau, Yasmin dan anak-anak indonesia lainnya yang mengalami epilepsi dapat sangat terbantu dan mereka dapat tumbuh normal. Efek-efek negatif yang ditakutkan dari konsumsi CBD dapat diminimalkan dengan penggunaan terukur, terstruktur dan regulasi yang jelas. Menutup pemaparannya beliau menyampaikan bahwa pengembangan ilmu pengetahuan yang dilakukan oleh para ilmuwan akan menjadi sia-sia apabila tanpa pengaplikasiannya.
 Melihat dari pemaparan-pemaparan para saksi pada sidang pengujian UU narkotika yang berlangsung 30 agustus 2021 ini pemerintah sudah seharusnya tidak lagi menutup mata tentang kegunaan ganja medis ini. Kini manfaat-manfaat tanaman ganja yang selama ini digalakkan dan dipublikasikan oleh LGN(Lingkar Ganja Nusantara) dan para pejuangnya tidak lagi dapat dipandang sebagai sebuah opini tanpa dasar yang kuat lagi karena para ahli yang dihadirkan dalam persidangan ini merupakan para ahli dibidangnya masing-masing dan memiliki curiculum vitae yang mumpuni dan telah diambil sumpahnya sebelum persidangan dimulai untuk memberikan pendapat ataupun hasil-hasil penelitian dengan yang sebenar-benarnya sesuai agama dan kepercayaan masing-masing ahli. Semoga saja titik cerah dapat segera kita lihat dan Yasmin serta anak-anak indonesia lainnya yang bernasib sama seperti yasmin dapat merasakan keadilan dari negaranya dan dapat tumbuh normal seperti anak-anak indonesia pada umumnya.
Â
Â
Â
Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H