Ini adalah cerita tentangmu. Dirimu yang sudah sekian lama tak kujumpai. Dirimu yang tak pernah bicara lagi denganku.
Untuk apa aku bercerita tentangmu? Itu sudah lama berlalu. Entahlah, aku tak tahu apa alasan sebenarnya hingga aku mulai merangkai kata-kata ini. Aku hanya berpikir, mungkin ini kulakukan agar dirimu tak pernah benar-benar hilang..Â
Aku masih ingat saat pertama kali kita bertemu. Hari itu adalah hari Sabtu malam. Aku juga masih ingat waktunya, kira-kira jam sembilan malam. Ya.. malam Minggu. Biasanya kebanyakan orang seperti kita akan berada di luar rumah pada jam-jam seperti ini. Menghabiskan waktu akhir pekannya untuk bersenang-senang bersama dengan teman-teman atau hanya berduaan dengan sang kekasih hati, tapi kita malah bertemu untuk suatu hal yang bisa dikatakan lumayan serius, paling tidak bukan hanya untuk main-main. Sebuah pekerjaan untukku.
Sebelumnya dirimu mengatakan ingin bertemu denganku lebih dahulu agar kita bisa mengenal satu sama lain sebelum memulai kerja sama ini.
Kita tak bertemu secara fisik. Tentu saja, karena kita berada di dua tempat berbeda yang terpisah oleh jarak ribuan mil jauhnya. Teknologilah yang membantu kita untuk dapat bertemu saat itu. Inilah yang kusukai dari teknologi, mampu menembus batas ruang dan waktu.
Pertama kali melihatmu, dirimu biasa saja. Kamu menyapaku, memperkenalkan diri, lalu bicara dengan cukup santai. Kamu juga cukup ramah.
Aliran bicara kita sangat lancar, tak ada kata tersendat, tak ada jeda.Â
Aku masih ingat, di sela-sela pembicaraan kita waktu itu dirimu sempat memujiku dalam hal kecakapan menggunakan bahasa ibumu. Â Ya, memang sepanjang pertemuan itu kita hanya bicara menggunakan bahasa ibumu, selain saat aku memintamu untuk memperkenalkan diri dalam bahasa ibuku. Dan itu hanya beberapa potong kalimat saja. Aku memang cukup sering berlatih menggunakan bahasa ibumu. Jadi, bicaraku lancar-lancar saja saat bertemu denganmu.
Aku memperhatikan dirimu sangat menikmati bincang-bincang kita yang semakin lama semakin terasa nyaman.
Dirimu seperti sedang bernostalgia dengan kenanganmu saat berada di Indonesia sebelumnya. Tentang tempat di mana dirimu pernah tinggal, apa yang dirimu lakukan di waktu senggang, makanan Indonesia kesukaanmu, tempat-tempat di mana kamu sering nongkrong. Terpancar rasa antusias di raut wajahmu kala berbicara tentang itu semua.
Saat itu dirimu juga sempat bertanya tentang daerah tempat tinggalku. Hmm.. seolah-olah dirimu tahu semua tempat di kotaku, begitu reaksiku dalam hati.
Waktu yang kita miliki malam itu tak terlalu banyak, tapi itu cukup bagi kita untuk mengenal satu sama lain. Dan agaknya kamu merasa cocok denganku. "Kita mulai minggu depan ya.." begitu katamu kemudian. Dan aku menyetujuinya.
Tidak ada yang istimewa dari pertemuan itu, semuanya biasa saja bagiku. Hanya satu yang selalu kuingat hingga kini. Pandangan matamu yang begitu tajam saat itu.Â
Aku tak tahu bagaimana mendeskripsikan secara tepat apa yang ada dalam pandangan mata itu. Aku hanya dapat mengatakan, aku sempat merasa sedikit ngeri dibuatnya. Pandangan mata yang seakan menusuk ke dalam hati.Â
Namun, tatapan mata itu berkurang tajamnya saat dirimu tersenyum di akhir perbincangan, dan kamu terlihat lebih rileks. Itu di saat aku mengucapkan terima kasih kepadamu dalam bahasa ibuku.
Mungkinkah sebenarnya ada perasaan gugup dalam dirimu saat pertemuan itu, dan kamu tak tahu bagaimana harus menutup pembicaraan?
Senyummu itu membuat diriku merasa lega, menghapus sedikit kengerian yang ada sebelumnya.
Tak ada yang istimewa dari pertemuan pertama kita. Hanya tatapan mata itu ...
Bersambung
Oleh: Francisca S
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H